Izinkan saya menyampaikan tiga keprihatinan saya.
Saya prihatin dengan keadaan lalu-lintas di jalan-jalan di Jakarta belakangan ini. Bagaimana bisa menghentikan kendaraan ketika lampu lalu-lintas berwarna merah malah menjadi sasaran bunyi klakson dari pengemudi lain? Bagaimana bisa para pengendara mengabaikan warna merah tersebut dan terus saja berjalan menerobos lampu lalu lintas?
Saya prihatin dengan manusia-manusia perokok egois yang melakukan aksinya di dalam angkutan umum. Bagaimana bisa mereka membahayakan kesehatan orang lain—bahkan kesehatannya sendiri? Bagaimana bisa mereka tidak acuh pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 75 tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok?
Saya prihatin dengan kelakuan buang sampah sembarangan yang tampaknya sudah menjalar ke generasi muda belia. Apa mereka tidak pernah diajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya? (seperti diungkap dalam salah satu tulisan di kompasiana yang pernah saya baca)
Analisa tidak teoretis saya begini. Sebetulnya, tidak semua manusia Indonesia—Jakarta khususnya—adalah pelanggar peraturan. Hanya beberapa dari mereka yang membandel. Tapi, orang-orang di sekitar pembandel itu tampaknya tidak mau kalah. Mereka malah ingin bertindak seperti orang lain. Kenapa mereka punya keinginan seperti itu? Karena (biasanya) tidak akan terjadi apa-apa pada orang yang melanggar peraturan, berbuat salah, atau bertingkah seenaknya. “Kalau orang lain bisa berbuat sedemikian rupa tetapi tidak menanggung konsekuensi apa pun, mengapa saya tidak berbuat hal yang sama?” mungkin kira-kira begitu pikir banyak orang.
Sekarang begini. Kenapa kita harus sama dengan orang lain? Kenapa kita tidak berani tampil beda? Kenapa kita harus mengekor orang-orang yang membandel? Bukankah kita punya pilihan untuk menjadi orang yang tidak bandel? Tunjukkan kepada para pembandel kalau kita bisa mengacuhkan warna merah lampu lalu lintas. Tunjukkan kalau kita bisa menahan diri untuk tidak merokok di dalam angkutan umum dan tempat-tempat umum lainnya. Tunjukkan pula kalau kita bisa menyimpan sampah untuk sementara di dalam tas—jika perlu, sediakan selalu kantong plastik di dalam tas kita. Kalau setiap orang bisa melakukannya, pasti keprihatinan saya akan segera pupus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H