Dalam masa ini, kita hidup di dunia yang serba digital dengan arus informasi yang deras mengalir melalui beragam teknologi komunikasi. Hal ini pun merubah banyak hal, termasuk cara manusia menjalani hari.
Coba saja kita mundur ke dua puluh tahun yang lalu. Dua puluh tahun lalu, internet hanya diakses kalangan tertentu. Teknologinya pun masih begitu terbatas dan tidak sepraktis sekarang.
Lalu, lihat dunia kita yang sekarang. Internet pada masa ini telah menjadi bagian hidup yang sulit terpisahkan bagi manusia modern. Bangun dari tidur, kita nyalakan ponsel dan membuka media sosial; menyelesaikan tugas sekolah hingga pekerjaan kantor pun dengan berinternet; bahkan ada pula yang menggantungkan hidup di sana, misalnya saja mereka yang berjualan secara daring untuk memenuhi kebutuhan.
Terlepas dari ribuan dampak positif yang mengelilingi kita bukan berarti tidak adanya kemungkinan akan dampak negatif yang mengintai. Salah satunya, perubahan secara mental yang diakibatkan oleh teknologi di sekitar kita. Sebut saja anak kecanduan gim, rasa gelisah dan tidak aman karena terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, hingga yang kali ini akan kita bahas yakni Good Samaritan Syndrome atau Sindrom Orang Samarita yang Baik Hati.
Pernahkah mendengar tentang sindrom ini?
Good Samaritan Syndrome atau Sindrom Orang Samaria yang Baik Hati merupakan suatu kondisi di mana seseorang terus berupaya menciptakan gambaran diri (image) sebagai orang yang baik hati dan penolong bagi mereka yang tak beruntung (seperti halnya orang miskin, anak yatim, disabilitas, dsb).
Uniknya, nama sindrom ini biasanya disematkan pada seorang laki-laki, sedangkan pada perempuan memiliki istilah tersendiri yakni Florence Nightingale Syndrome. Namun, pada dasarnya keduanya memiliki pola atau gejala yang sama.
Mengutip dari Romasety (2019), jika suatu kebaikan menjadi kompulsif (wajib, harus) maka sesungguhnya kebaikan tersebut mengalami degradasi. Sebab, suatu kebaikan yang kompulsif menjadi tindakan yang bersifat mekanis; otomatis; dan tanpa kebebasan. Diibaratkan seseorang berubah menjadi robot kebaikan. Seseorang yang tak memiliki sindrom ini akan memikirkan tiga landasan dalam aksinya, yakni hukum; azas manfaat; dan situasi.
Good Samaritan sendiri adalah sebutan yang merujuk pada suatu kisah dalam Kitab Injil, menceritakan seorang pria Samaria yang menjadi satu-satunya penolong korban perampokan yang luka di sebuah jalanan sepi.
Romasety mengibaratkan, seseorang yang melihat orang lain diserang oleh sekawanan begal. Seseorang yang tak mengalami Good Samaritan Syndrome masih dapat berakal sehat dengan memikirkan risiko apa yang akan dia ambil jika menolong orang tersebut. Maka, yang akan dilakukannya adalah do something (melakukan sesuatu) misalnya saja memanggil polisi. Artinya, orang tersebut menolong tanpa membahayakan dirinya sendiri. Pada peristiwa ini, ada kinerjanya memikirkan ketiga landasan sebelum mengambil tindakan menolong.
Sedangkan seseorang dengan Good Samaritan Syndrome mengabaikan tiga landasan, dia akan memilih do anything atau melakukan segala hal untuk menolong orang lain. Misalnya saja, berkelahi dengan tangan kosong.
Merujur Max Weber, Good Samaritan merupakan suatu tipe ideal dan pada kenyataannya tidak ada manusia yang benar-benar seperti itu. Setiap manusia pasti mengharap sesuatu, bahkan bagi seseorang yang tak meminta imbalan pada yang ditolongnya sekali pun misalnya saja mengharapkan pahala dari Tuhan.
Dalam dunia modern ini, Good Samaritan Syndrome kerap menjadi fenomena yang dapat ditemui di media sosial. Fenomena paling mudah disebutkan adalah konten kreator yang kerap membagikan unggahan bermaterikan menolong orang tidak mampu atau orang yang mengalami nasib buruk dengan memberikan sejumlah uang atau bantuan. Sering melihat, bukan?
Kita tidak sedang menyalahkan perbuatan orang lain, atau menilai kebenaran dan kesalahan. Saat ini, kita tengah membincangkan fenomena ini dari kacamata Sosiologi.
Buat contoh yang lebih spesifik. Sebut saja seseorang bernama Bejo. Suatu ketika, si Bejo berkeliling dengan mobil dan melintasi suatu taman. Di taman tersebut, dia melihat seorang pria lanjut usia duduk termenung dengan dagangan permen yang masih utuh sedari pagi. Bejo turun dari mobil menghampiri pria tersebut dengan kamera tersembunyi, memborong permen-permen dan memberikan beliau jutaan rupiah uang untuk membayarnya (tak sesuai dengan harga sebenarnya). Setelah menyelesaikan misi tersebut Bejo mengunggah hasil berbuat baik yang direkamnya tadi, ditambah dengan narasi memilukan, dan musik latar yang menyayat hati.
Pada fenomena ini, Bejo diposisikan sebagai seorang Good Samaritan. Bejo mengorbankan sejumlah uang yang diberikan kepada sang penjual permen tanpa memikirkan ketiga landasan; mengabaikan hukum berupa privasi dari bapak tua yang diambil gambarnya secara diam-diam; azas manfaat misalnya permen-permen yang dibelinya tadi belum tentu dia butuhkan dan belum tentu dia akan makan semuanya; dan situasi misal saja jika ada orang jahat yang mengena bapak tua melihat unggahannya lalu berniat merampok.
Dalam kasus ini, Bejo berperan ikhlas memberi bantuan kepada bapak tua dengan memberikan uang yang sangat banyak tanpa meminta lebih banyak permen dari yang saat itu bapak tua miliki di tasnya. Namun, jika kita tahu apa yang sebenarnya terjadi, saat itu Bejo memang tidak mengharapkan permen akan tetapi dia berharap hal lain; barangkali jumlah pengikut di media sosial meningkat signifikan atau komentar pujian.
Bedakan dengan fenomena lain. Sebutlah namanya kali ini si Untung. Hampir sama dengan Bejo, si Untung melihat seorang bapak tua penjual permen yang dagangannya belum laku. Muncullah dalam hati Untung perasaan iba sehingga dia menghampiri bapak tua tersebut (kali ini tanpa kamera), membeli dua butir permen untuk dia nikmati, kemudian pergi, dan melupakan kebaikan yang dilakukan.
Dalam fenomena ini, kebaikan berdasarkan Romasety tidak mengalami degradasi atau lebih minim degradasinya dibandingkan dengan si Bejo---tidak ada pelanggaran privasi, tidak ada permen yang tidak dimanfaatkan, dan tidak membiarkan si bapak tua maupun dirinya dalam situasi yang berbahaya.
Mungkin saja, dalam hati Untung masih ada harapan berupa pahala dari kebaikan yang dilakukannya, atau malah sebenarnya dia punya perasaan ingin terlihat pahlawan di mata si bapak tua akan tetapi tentu kadar risiko yang dia timbulkan jauh lebih sedikit dari yang dilakukan oleh Bejo sehingga masih dalam batas kewajaran.
Bukan hanya dari dua fenomena tersebut. Good Samaritan Syndrome juga ditemukan dalam perilaku bermedia sosial lain. Misalnya, seseorang yang berusaha menampakkan diri sebagai sosok orang baik dengan kehidupan yang sempurna di Instagram hingga memalsukan banyak hal demi citra yang tanpa cela.
Saya yakin, rasanya kita pun orang yang tak mau terlihat buruk di media sosial. Misalkan dari hal kecil, saat kita mengambil ratusan foto dan hanya mengunggah satu foto saja yang terlihat paling sempurna. Tapi, hal ini masih bisa dikatakan wajar selama tidak dilakukan secara kompulsif.
Dengan ini, dapat kita ketahui pula cara agar kita terhindar dari Good Samaritan Syndrome yaitu dengan selalu membuat pertimbangan dari apa yang akan kita lakukan. Tiga landasan berupa hukum; azas manfaat; dan situasi dapat menjadi tolok ukur yang mudah kita ingat untuk menimbangnya. Semoga kita senantiasa dibekali kebijaksanaan dalam setiap pengambilan tindakan sehingga terhindar dari berat deritanya nilai pertanggung jawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H