Di tengah perjalanan, kami sempat berhenti di sebuah tugu Petruk (salah satu tokoh Punakawan dalam pewayangan). Dari dekat tugu itu, pemandangan kota dari ketinggian mulai nampak. Sesaat saya berpikir, rumah yang dari dekat begitu megah dan besar tampak seperti remahan wafer dari atas sana. Bagaimana kalau dilihat dari Mata Tuhan? Tentu kecil sekali. Kecil, seperti debu.Â
Beberapa pemuda pria pun berhenti di tugu itu, berkendaraan Vespa dengan nomor polisi Jakarta.
Rupanya, orang dari jauh-jauh pun telah mendengar keindahan tempat ini,
begitu pikir saya.Â
Tidak lama setelahnya, perjalanan menuju tujuan pertama berlanjut. Perlahan mulai tampak tulisan New Selo berwarna putih di perut Merapi. Si Vario lari sekuat tenaga mengejar letak tulisan itu, hingga pada akhirnya kami sampai. Â
Sayangnya, nasib sedang kurang mujur. Kabut begitu tebal saat itu. Sempat bercakap dengan seorang juru parkir, kata beliau, jika cuaca cerah kita bisa melihat pemandangan Merbabu dari sana. Namun, meski si bintang utama bersembunyi, kami masih bisa melihat indahnya lereng di bawah kaki yang memacak hijau dalam kaguman mata.Â
Di tempat itu, warung-warung kopi berjajar; kopi saset yang saya pikir lumayan untuk mendekap kedinginan. Disediakan pula di warung-warung itu beraneka camilan, seakan mereka tahu hawa dingin selalu menuntut lapar. Lima ribu rupiah untuk secangkir minuman instan, harganya sama dengan yang berderet di depan kampus saya.Â
Sembari minum, kami menentukan ke mana hendak pergi selanjutnya. Setelah menimbang beberapa pilihan, mata pun tertuju pada sebuah tempat yang dalam peta tertulis hanya tiga kilo meter dari New Selo. Embung Manajar, tanpa ba-bi-bu, kami pinang tempat itu.
Benar memang, tiga kilo meter. Tapi saya beri tahu, jalan yang kami tempuh sesungguhnya adalah menuruni Merapi, lalu naik ke Merbabu. Sepanjangnya seolah saya hanya ingin fokus pada peta di tangan, sebab dari layar itu sama sekali tidak tampak tanjakan maupun turunan.
Jalan turun Merapi bisa dibilang tidak begitu ekstrim, bahkan ngirit bengsin karena kami bisa bebas nggelinding di atas mesin mati. Barulah ketika kami masuk ke sebuah gang, kejanggalan terasa.