Oleh: Tiv Firsta
Sebuah komputer setinggi delapan kaki dan selebar sepuluh kaki berdiri secara elegan di hadapan mata Alan. Jarinya mengetik barisan kode yang panjang, terpampang pada permukaannya yang futuristik. Kemudian, pada bagian akhir dari kode panjang tersebut tertulis sebuah pesan.
"Mencoba menghubungi Alan dari sisi lain," disentuhnya sebuah tombol yang membawanya kepada tampilan tunggu.
Ini adalah percobaannya untuk ke sekian kali. Jemarinya tegang menanti tampilan tunggunya bereaksi. Bermenit-menit lamanya, nihil. Seorang asisten laboratorium menepuk pundak Alan secara mengejutkan. Jemarinya pun mencampakkan tombol komputer yang sedari tadi masih disentuhnya, segera memalingkan muka ke arah sentuhan.
"Prof, baiknya anda beristirahat. Sudah tiga hari tidak pergi tidur," kata lelaki itu.
"Kau benar, tubuhku lelah sekali. Aku tidak bisa bekerja lagi. Aku akan pergi tidur setelah ini, terimakasih."
Belum sempat asisten laboratorium tersebut meninggalkan pintu, Alan terjatuh ke lantai. Seketika ia menghampiri tubuh Alan yang tidak lagi mendengar panggilannya berkali-kali. Ditelponnya ambulan yang dengan segera membawa Alan ke rumah sakit terdekat. Alan terkena serangan jantung, nyaris saja nyawanya melayang. Beruntunglah satu asistennya belum sempat pergi dari ruang kerja mereka.Â
Istri Alan berlari melalui koridor rumah sakit menuju tempat dimana Alan dipulihkan dengan membawa anak perempuan mereka, Kalila yang masih berusia sekitar lima tahun. Anak perempuan itu masih belum terlalu mengerti mengenai apa yang terjadi kepada ayahnya. Sedangkan Magdalena, istri Alan, menangis tersedu-sedu sejak pertama kalinya mendengar kabar.
"Beliau ada di dalam, Nyonya. Sudah ditangani dengan baik dan tepat waktu. Saya pamit untuk kembali ke laboratorium sebab komputer tadi tidak sempat saya matikan." pamit sang asisten.
"Terimakasih banyak Tuan Sullivan. Entah apa jadinya jika anda tidak ada," Magdalena tersenyum.