Baru-baru ini, muncul berita mengenai video kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Tidak hanya sekali ini saja, berita mengenai peristiwa kekerasan di sekolah sudah berkali-kali terdengar.
Militerisme, secara langsung maupun tidak langsung, harus diakui tidak hanya masuk kedalam instansi-instansi pemerintahan, namun mengakar hingga ke masyarakat. Lebih buruk lagi, unsur militerisme telah masuk ke sekolah-sekolah, yang seharusnya menjadi tempat mengembangkan semua quotient peserta didik tanpa adanya pengekangan, kekerasan dan tekanan.
Masuknya militerisme ke sekolah-sekolah merupakan warisan dari zaman orde baru. Kaum militer sangat berpengaruh pada masa itu, dan mendapat berbagai jabatan. Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto akhirnya lengser. Era reformasi telah tiba. Meskipun terjadi revolusi besar, dampak militerisasi masih kental di Indonesia. Kuatnya pengaruh militer pada masa Orde Baru telah menyebabkan masuknya militerisme ke sekolah-sekolah.
Militerisasi sekolah merubah gaya, kebiasaan dan cara "atasan" dalam memerintah. Atasan dalam konteks ini berarti orang yang berkuasa atau mendapat kekuasaan.
Di sekolah-sekolah (tidak semua), kepala sekolah berhak menentukan apa saja. Semua pihak yang "dekat" dengan sang penguasa akan diperhatikan, sedangkan kaum "oposisi" akan dibenci, bahkan berusaha disingkirkan. Gaya kepemimpinan seperti ini sangat mirip dengan gaya Presiden Soeharto, bahkan bisa dikatakan sebagai diktatorisme, dan dalam beberapa kasus mengarah ke despotisme karena kesewenang-wenangan sang penguasa.
Tidak hanya kepala sekolah, budaya militerisme bahkan melekat para guru-guru. Meskipun tidak semua, namun guru dianggap sebagai "makhluk paling sempurna yang tidak pernah salah", sehingga murid yang mencoba berpendapat atau mengoreksi akan dianggap sebagai "pembangkang". Akibatnya , kebebasan mereka untuk berpikir menjadi terkekang.
Militerisasi tidak hanya terjadi pada "atasan", namun juga pada peserta didik. Hal ini diakibatkan karena peserta didik meniru gaya militerisme pada "atasan" mereka. Setiap tahun, berita ospek yang berdarah selalu mewarnai media massa. Kegiatan ekstrakurikuler seperti paskibra pun menjadi seperti latihan militer, contohnya push up ala militer yang berlebihan.
Sekolah adalah tempat untuk belajar dan berekspresi. Kelas bisa digambarkan sebagai masyarakat kecil. Perilaku militerisme "atasan", di satu sisi meningkatkan kedisiplinan, namun di sisi lain mengekang kebebasan berpikir murid. Peserta didikdipaksa untuk mengikuti arus saja dan tidak boleh memberikan gagasan-gagasan baru. Akibatnya, mereka tidak mampu berpikir kritis, dan hanya berkembang dalam IQ (intelligence quotient) saja.
Indahnya sekolah tanpa militerisme dapat kita lihat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, murid mereka sangat ekspresif di dalam kelas. Hal ini disebabkan karena demokrasi mereka yang sudah matang, membuat hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi dijunjung tinggi, sehingga hak dan kebebasan berekspresi murid juga dijunjung tinggi.
Seyogyanya militerisme pada institusi pendidikan nasional dikikis habis, maka murid tidak hanya mengembangkan kompetensi saja, tetapi juga unsur penting lainnya seperti emotional quotient. Hal itulah yang harus ditumbuhkan agar peserta didik mampu berpikir kritis dan tidak menurut saja seperti robot.
Seiring dengan proses demokratisasi di Indonesia, unsur militerisme pelan-pelan akan luntur. Orang mulai menjadi terbuka, dan sadar akan buruknya pengekangan dalam pendidikan. Sayangnya, unsur militerisme masih banyak melekat di sekolah-sekolah, dan diperlukan reformasi sistem pendidikan untuk merubah itu semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H