Organisasi mahasiswa hadir layaknya barang yang selalu ditawarkan dalam setiap kampus untuk diikuti oleh mahasiswanya. Baik organisasi intra ataupun ekstra seringkali berlomba pada masa orientasi untuk mendaku sebagai yang terbaik dengan tujuan memperbanyak kuantitas dari mahasiswa baru yang akan bergabung. Banyak ditemui aktivitas ini kian ekstrem dan radikal dengan beradu narasi hingga fisik ketika masa orientasi. Mungkin cara itu relevan pada masa 2000-an yang tentu tak lagi sejalan dengan prinsip dan cara pandang mahasiswa masa kini memandang kehidupan. Sebagian besar mahasiswa kini dibantu adanya internet dan media sosial yang membuka realitas kehidupan organisasi yang tidak sejalan antara yang ditawarkan dan didapatkan ketika bergabung didalamnya. Memang harus diakui, bahwa hari ini sebagain besar mahasiswa memandang kuliah adalah sarana memperoleh pekerjaan bukan malah mencoba merubah nasib rakyat atau negara. Suatu fakta yang ditolak oleh organisasi mahasiswa, yang menyatakan bahwasanya mahasiswa harus memiliki beban menjadi agen perubahan dan mewujudkan kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang ada. Seakan terjebak dalam imajinasi yang dibuatnya sendiri, organisasi mahasiswa kini menjual Sejarah dan catatan yang telah berlalu kepada mahasiswa baru.
Dulu Jaman Abang Dek?
Romantisme masa lalu menjadi komoditas paling dijual oleh organisasi mahasiswa, saling adu digdaya peran seniornya dalam reformasi dan yang katanya "menggulingkan" presiden kala itu. Nampaknya dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi dan informasi tak berdampak dengan narasi-narasi yang kian kolot dan tidak inovatif itu. Sejengkal inovasi nampak tidak pernah dihadirkan oleh organisasi tersebut sehingga semakin minimnya mahasiswa yang percaya bahwa organisasi mampu merubah hidup mereka. Apalagi mahasiswa baru kian lebih condong memikirkan bagaimana dia akan hidup kedepan, cenderung pragmatis memang tapi itulah kenyataan hidup di era saat ini.
Kehidupan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kian merosot nilainya, kian hilang kharismanya. Sehingga tak lagi menarik bagi kaum hawa, yang menunjukan adanya sikap kolot yang tak pernah disadari mereka. Sikap semacam itu kian menjadi-jadi ketika ada salah seorang mahasiswa kerap menanyakan hal-hal fundamental yang memang tak bisa dijawab oleh para penghuni organisasi itu, semacam pertanyaan mengenai apa yang akan didapatkan dan untuk apa bergabung. Sedikit dari mereka yang mampu menjawab secara komperhensif feedback dan tujuan mereka bergabung dalam organisasi itu, kebanyakan diberikan jawaban materi filsafat epistimologis, ontologis dan aksiologis yang sebenarnya tak dibutuhkan oleh mahasiswa baru.
Sudah Keluar Duit Makin Ketinggalan Materi Kuliah Setiap Hari!
Menjadi bagian dari organisasi kini semakin berat beban yang dirasakan hidupnya, beban baik secara fisik maupun materi. Bayangkan saja seminggu bisa 7 kali bertemu untuk mengikuti agenda baik persiapan maupun pelaksanaan, semakin diperparah dengan ketidakpedulian organisasi jika bertabrakan dengan keperluan akademik sendiri. Sebagian besar aktivitas yang dilakukan mahasiswa kini malah digelar di warung kopi, sudahlah capek badan setiap hari harus ditambah biaya untuk beli kopi setiap hari. Agaknya memang baiknya anggota organisasi ini adalah para kalangan borjuasi saja yag tidak perlu mempertimbangkan kehidupan sehari-hari karena sudah pasti tercukupi. Belum lagi program dan agenda yang dilaksanakan sering kali tak tepat analisis dan perancanganya, yang akhirnya anggota sendiri yang harus nombok kekurangan dana organisasi. Sudah jatuh diinjak pula mungkin memang tepat disematkan pada nasib anggota organisasi mahasiswa saat ini.
Bentuk ketidaksukaan mahasiswa kepada organisasi kian menjadi tajam ketika ada bentuk perilaku penyimpangan dan demoralisasi dari pengurus organisasi yang menjadi representasi dalam khalayak umum. Praktik-Praktik bejat kian marak terjadi dari korupsi hingga terlena nafsu sendiri. praktik itu seakan bertolak belakang dengan narasi awal yang ditawarkan dan dijual pada mahasiswa, dengan menjadi oposisi penguasa yang dianggap dzalim karena melakukan praktik yang tak sesuai norma. Dengan hal itu, layak saja organisasi mahasiswa kini semakin sepi yang mengikuti, bahkan cenderung dianggap lembaga yang tidak ada dampaknya lagi. Dalam sekala kecil saja tidak dirasaka oleh mahasiswa apa keuntungan yang didapatkan dengan adanya organisasi ini. Semakin jauh, organisasi kini hanya dimaknai pelengkap administrasi kampus-kampus untuk membantu akreditasi. Memang layak mati, bagi organisasi yang masih kolot dan minim inovasi hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H