Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Rumput Tetangga Tampak Lebih Hijau, Periksa Dulu Tagihan Airnya

6 November 2020   16:24 Diperbarui: 6 November 2020   16:26 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah konten youtube, di sebuah kota Filipina ditampilkan orang-orang yang mengolah makanan bekas menjadi makanan siap santap, tak dijelaskan bagaimana rasanya, namun yang pasti terlihat jelas orang yang memakan santapan yang diberi nama "pag pag" tersebut, tampak riang tak kurang suatu apa.  

Kendatipun mereka termasuk ke dalam golongan kaum marjinal yang hidup di pemukiman kumuh, tampak tubuh luarnya sehat walafiat belaka, entahlah bagian tubuh dalamnya.

Masih dari tayangan youtube, di bumi pertiwi beberapa waktu terakhir ini kerap dipertontonkan jalinan kehidupan mewah para selebritas, bertolak belakang dengan tayangan kehidupan melata warga marjinal di Filipina.  

Jika warga pemakan pag pag yang ditampilkan tampak tak kurang suatu apa, serta satu dua juga terlihat bergembira ria, maka dapat dipastikan kaum selebritas manja yang menampilkan tetek bengek kehidupan pribadinya jauh lebih bergembira ria, begitu gembiranya hingga bagaikan orang sakit jiwa yang baru sembuh dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit tempatnya dirawat sebelas tahun terakhir.

Di sebuah komunitas pemukiman buruh, di sekitar areal kawasan industry kota Tangerang, sekelompok buruh tampak asyik memamerkan gawai telepon pintar miliknya. 

Kebanyakan gawai yang dimiliki merupakan edisi terbaru, dengan harga yang lumayan mahal serta dibeli dengan cara cicilan enam bulanan.  Tatkala penggiat SDM setempat bertanya, mengapa mesti membeli gawai terbaru sambil menunjukkan gawai miliknya produksi lima tahun lalu, itu pun HP bekas milik putrinya oleh sebab sang putri dibelikan HP baru oleh ibunya, mereka menjawab ringan.

"Yah hiburan kami hanya ini pak, kalau bapak kan sudah punya segalanya, jadi nggak perlu hiburan lewat HP lagi.".  

Sang penggiat SDM mati angin dan tersenyum kecut, terbersit segores rasa ngilu jauh di lubuk hatinya.  Serta merta ia ingin bergegas pulang dan memeluk anak-anaknya.

Dalam suasana lain, di sebuah pemukiman mewah, sekira jam delapan malam, sekelompok penghuni yang rata-rata berprofesi sebagai pengusaha, pegawai papan atas serta kaum profesional tampak sedang bersenda gurau, di balai warga yang disediakan khusus untuk itu.  

Pakaian yang mereka kenakan tampak sederhana, seadanya bahkan kaum wanitanya yang kebanyakan cantik dan berusia muda berpakaian seolah-olah bajunya dibuat dengan bahan kain yang kurang.  

Khusus untuk bagian paha bawah, perut dan dada, tidak bisa ditutupi dengan sempurna, kasihan sekali.  Tampak sekali celana pendek, rok atau baju yang dipakai ukurannya kekecilan, namun entah kenapa para suami terlihat tidak prihatin atas kekurangan para istrinya.

Yang dibicarakan oleh kaum yang tampak kekurangan dalam hal pakaian tersebut, sederhana pula adanya, seturut dengan pakaian yang dikenakan, mereka hanya bertukar cerita seputar urusan dapur, rumah dan remeh temeh lainnya, padahal semua orang maklum, sehari-harinya mereka berurusan dengan perputaran uang yang lumayan besarnya.  Penghasilan mereka pun di atas rata-rata kaum kebanyakan.

Di tempat terpisah, tepatnya di sebuah kafe dengan konsep kekinian, sekelompok kaum milenial, yang rata-rata muda usia sibuk berdiskusi tentang sebuah proyek pekerjaan, dengan marjin keuntungan ratusan juta rupiah.  

Pakaian dan asesories yang mereka kenakan pun sesuai dengan bahan obrolan yang menyangkut uang ratusan hingga milyaran rupiah.  

Entah bagaimana cara mereka memperoleh dan mengelola uang tersebut, yang pasti tak tampak urat-urat tangan serta wajah-wajah keras penuh derita, pertanda sehari-harinya mereka bekerja tidak dengan menggunakan tenaga fisik, maupun pikiran.

Sawang Sinawang

Dalam kehidupan nyata, bisa kita temui beraneka jenis cara orang menjalani kehidupan, dari tingkat yang terendah hingga tingkat yang tertinggi, dari yang sengsara hingga yang penuh kesejahteraan, bergelimang kemewahan.  Namun jika kita telaah lebih lanjut, semua yang menjalani senantiasa dalam keadaan baik-baik saja.

Senyum sumringah, senyum kecut, dan senyum-senyum lainnya senantiasa dipertunjukkan di segala situasi dan tempat yang diceritakan dalam kisah di atas. 

Boleh jadi dalam seminggu tiga atau empat kali kaum marjinal di Filipina mengkonsumsi pag pag, namun mereka masih bisa bercanda dan tertawa riang seperti orang-orang lainnya, yang bahkan tak pernah menyentuh pag pag sekalipun seumur hidupnya.  

Masalah mereka kadangkala didera cobaan hidup yang membuat sebagian orang merasa terpuruk, dan meratapi nasib, itu adalah hal yang jamak dalam kehidupan.  

Oleh karena orang-orang yang terlahir dan senantiasa berada dalam keadaan berkecukupan pun, tidak sedikit yang merasa terpuruk dan mengutuki nasibnya. 

Sebagai contoh, di masa pandemic covid ini, berapa banyak pengusaha yang biasanya tersenyum-senyum riang gembira, sekarang berperilaku sebaliknya, nyaris setiap saat perutnya merasa mulas karena harus memikirkan bagaimana menutupi biaya operasional perusahaannya yang produksinya menurun drastic.  

Satu atau dua, ada juga pengusaha yang menjadi senewen, atau setidaknya merasa menyesal mengapa dulunya dilahirkan sebagai pengusaha, bukan dilahirkan sebagai virus corona, yang sekarang ditakuti oleh orang sedunia.

Kebiasaan manusia saling melihat dan menilai kehidupan orang lainnya, biasa disebut "sawang sinawang" pada hakekatnya memiliki dua sisi, negative dan positif.  Bagi kaum berpunya yang menyaksikan kaum marjinal yang tidak seberuntung dirinya, kemudian mensyukuri hidupnya dan selanjutnya berempati dan berupaya membantu semaksimal mungkin kaum marjinal tadi, itu merupakan sisi positif.

Namun sebaliknya, bagi kaum yang merasa kurang beruntung, kemudian menyaksikan kaum berpunya yang berkelebihan hidupnya, untuk selanjutnya mengutuki nasibnya, menyalahkan Tuhan seru sekalian alam yang pada akhirnya membuat dirinya sakit jiwa serta raga, itu merupakan efek negative dari kebiasaan saling melihat kehidupan orang lain.

Jadi alangkah baiknya, bagi kaum berpunya, yang jika tak mampu membantu kaum yang kurang beruntung, hentikanlah pamer kemewahan hidup melalui konten-konten youtube dan sejenisnya.  

Apalagi dengan pamer kemewahan yang kemudian diunggah sedemikian rupa dengan embel-embel pemasangan iklan, akan menghasilkan uang yang sangat besar.  

Sementara kemewahan yang dipertontonkan disaksikan jutaan orang yang tidak semuanya kaya, dan boleh jadi semakin menderita melihat kemewahan yang sulit untuk dijangkau oleh dirinya. 

Bagi kita yang kurang beruntung, hentikanlah melihat kehidupan orang yang lebih baik dari kita jika hanya akan menimbulkan rasa tak enak hati yang berlebihan.  

Lihatlah kehidupan orang sukses hanya semata-mata untuk dicontoh bagaimana mereka mencapai kesuksesan tersebut.  Jangan ikuti perasaan hati pada umumnya, yang senantiasa melihat apa yang dimiliki oleh orang lain pasti lebih baik dari kita.  

Contohnya, banyak orang yang melihat istri tetangganya lebih cantik dari istrinya sendiri, padahal tetangga tersebut sudah bosan bukan buatan dengan istrinya yang dianggap cantik oleh tetangganya tersebut.  

Banyak orang yang melihat dengan silau dan rasa iri terhadap tetangganya yang lebih kaya, padahal tetangga tersebut justru sedang merana nasibnya oleh karena sesuatu dan lain hal yang tidak elok disebut di sini. 

Alangkah baiknya, jika kita melihat tetangga beristri cantik, cari tahu juga bagaimana cara mereka mendapatkan dan merawat istrinya tersebut agar betah hidup dengannya.  Agar kita paham, berapa besar dana yang dibutuhkan untuk itu.

Jadi jika ada yang mengatakan rumput tetangga tampak lebih hijau, jangan langsung diiyakan, tapi periksa dulu tagihan airnya, pasti jauh lebih mahal.

Tangerang, 06 Nopember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun