Hingga kini, berarti sudah hampir sepuluh tahun sang ayah melakukan pekerjaan rumah tangga seorang diri, sejak dua kakak beradik asisten rumah tangga yang kadang ikut membantu di sela-sela mengurusi kebutuhan kedua putri kecilnya, berhenti bekerja karena menikah. Â
Berbarengan dengan sang anak memasuki bangku SMP dan tak menginginkan adanya pembantu, namun sayangnya juga tak ingin membantu melakukan pekerjaan rumah tangga.
Konon awalnya sang pria merasa berat, namun setelah dijalani beberapa bulan, akhirnya mampu berdamai dengan keadaan dan berusaha menikmati kesengsaraan. Â
Hingga pada suatu titik, didapatlah kedamaian hati tersebut, setelah menganggap menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sebagai rekreasi. Â Dengan alasan, setelah seharian bekerja menggunakan pikiran dan perasaan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sama sekali tidak menggunakan otak dan perasaan, cukup dengan tenaga dan dapat dikompensasikan sebagai olah raga. Â Selesai persoalan, dan kerja badan menjadi indah serta menyenangkan.
Pekerjaan Rumah Tangga
Pada hakekatnya, sedetik setelah janji pernikahan diikrarkan di depan pejabat yang berwenang, detik itu pulalah segala tanggung jawab rumah tangga beralih ke pundak suami.Â
 Mengapa demikian?  Karena pada umumnya budaya pernikahan di negeri ini masih menganut asas "patriarki", di mana yang mengajak menikah secara tersurat adalah laki-laki.Â
Kendatipun bukan tak jarang dalam prakteknya dua atau tiga kali orang tua calon istri bertanya kepada calon suami, tentang bilamana kiranya akan mempersunting anak gadisnya. Â Jangan kelamaan pacaran, akan rugi waktu si wanita jika akhirnya batal menikah.
Sebagai penanggung jawab, sudah barang tentu segala urusan rumah tangga, dari mulai mencari nafkah, hingga mengurus segala tetek bengek dan remeh temeh urusan lainnya menjadi tanggung jawab suami. Â
Sang istri hanya membantu, jika bersedia. Â Jika tidak, itu terserah kepada sang suami. Â Jika rasa cinta di atas segalanya, mengalah dan menerima nasib mengabdi kepada istri dan anak, seperti pria kurang beruntung di atas. Â
Jika tidak ikhlas dan tidak mau menerima nasib, silahkan dibina istri yang masih baru dan belum terlanjur punya anak tersebut, jika gagal dibina, yah terpaksa "dibinasakan", tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.