Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bola Kristal Para Ayah

20 Oktober 2020   10:18 Diperbarui: 20 Oktober 2020   10:23 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alkisah hiduplah sebuah keluarga di kota Tangerang, yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan dua putri yang kini sudah dewasa, namun belum mandiri, akibat belum lulus dari bangku perguruan tinggi. 

Kehidupan keluarga kecil tersebut lumayan bahagia dan harmonis, sepanjang tidak bersinggungan dalam hal cara mendidik kedua putri kesayangan mereka. 

Sebab jika sudah bertengkar akibat berbeda pendapat tentang cara menyelesaikan masalah kedua putrinya, tak jarang sang ayah untuk dua atau tiga malam terpaksa harus tidur di sofa. 

Masih untung keluarga tersebut memiliki sofa, jika tidak, tidur di atas gelaran tikar di lantai akan menjadi hal yang tak dapat dihindari. Itulah arti penting kepemilikan sofa atau tikar di sebuah keluarga yang para petingginya sering berselisih paham.

Akibat terlalu banyak membaca buku-buku terbitan luar, khususnya Amerika, tatkala menginjak usia SMP, kedua anak tak mau lagi memiliki asisten rumah tangga yang sehari-hari melayani kebutuhan mereka. 

Sang ayah mengiyakan, walaupun sadar malapetaka akan menimpa dirinya, mengingat selama ini kendatipun memiliki asisten rumah tangga, sang ayah tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, terutama dalam hal mencuci pakaian dalam sekeluarga, yang sangat dilarang oleh sang ayah untuk diserahkan kepada orang lain. Sang ayah berpendapat, untuk hal-hal yang kotor dan menjijikkan, tanggulangi sendiri. 

Di sinilah salah satu bibit pertengkaran dari sekian banyak bibit pertengkaran lain yang terkait dengan metode mendidik anak. Sang ibu sangat tidak setuju membiarkan sang ayah memanjakan para anak sedemikian rupa, sambil sekali dua ada juga pakaian dalamnya terselip, luput dari dicuci sendiri sehabis mandi.

Selanjutnya, selepas asisten rumah tangga meninggalkan rumah, tugas menyapu dan membersihkan rumah ditanggung sang ayah, termasuk mencuci piring bahkan peralatan masak memasak jika sang istri yang kebagian tugas memasak sedang datang "mood" malasnya. 

Para anak putri, hidup bagaikan putri raja minyak jelantah, hanya memiliki kewajiban untuk belajar dan bekerja sekeras mungkin pada bidangnya masing-masing, sesuai kodrat seorang anak. Jadilah akhirnya mereka hanya tekun belajar ilmu dan agama, membaca dan bermain. 

Jika mereka berniat membantu meringankan pekerjaan rumah tangga, sang ayah berkata, "Biarkan saja, nanti ayah yang membereskan. Toh dulu yang mengajak bunda kalian menikah adalah ayah, jadi tugas ayahlah seluruh kewajiban membereskan rumah ini, bunda hanya membantu. Dan karena yang ingin melahirkan kalian adalah bunda dan ayah, berarti kalian tak punya kewajiban apa-apa dalam membantu urusan rumah tangga ayah dan bunda.". 

Untuk kasus ini sang istri murka bukan buatan, setelah menuduh sang ayah ingin menjerumuskan anak-anaknya, melarang sang ayah untuk tiga hari ke depan tidur di kamar. Sang ayah menerima dengan lapang dada, dan berdoa semoga apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan ajaran dalam salah satu ilmu psikologi yang pernah dibacanya, entah siapa pengarangnya.

Manakala seorang rekan bertanya, karena pada suatu kesempatan memergoki sang ayah mengajak kedua anaknya ke kelab malam, dan tentunya memperkenalkan kehidupan di sana tanpa diketahui sang istri yang kebetulan sedang bertugas ke luar kota. 

Sang pria hanya menjawab, "Kedua anakku perempuan, jika kami berdua sudah tak ada, tak akan ada lagi orang yang menjaga dan menyayangi mereka sepenuh hati. 

Oleh karena itu, untuk menghadapi kerasnya hidup di luar sana, segala sesuatu kemungkinan terburuk harus diperkenalkan kepada mereka."

Sang ayah berpendapat, untuk tahu bahayanya kehidupan malam, harus melihat dan jika perlu, harus tahu bagaimana pahit dan mahalnya minuman keras. Untuk merokok, sang ayah melarang sama sekali

Dengan anggapan merokok adalah pintu untuk masuk ke dunia narkoba jika kehidupan mulai mencapai titik jenuh, tak punya tantangan, merasa hampa dan jauh dari Tuhan. Meski demikian, para anak dipersilahkan mencoba, membuat si bungsu tersedak hebat dan sang kakak trauma sebelum mencoba.

Tetaplah Menjadi Ayah Terbaik

Meleleh hati sang ayah, pada saat ulang tahunnya yang ke lima puluh sang anak sulung menulis, "Terima kasih, telah menjadi ayah terbaik bagi kami, tak ada lagi yang harus engkau lakukan, karena apa yang telah kau lakukan sudah lebih dari cukup.". Si bungsu yang khawatir ayahnya berubah menambahkan, "Tetaplah menjadi ayah terbaik, karena sebesar apapun kami, tetaplah putri kecil ayah.". Si bungsu ini memang malas dan manja bukan buatan, persis seperti ibunya jika sedang datang bulan, tentunya dikurangi perilaku uring-uringan yang bikin sang suami jengkel bukan kepalang.

Meski sering berbeda pendapat dalam cara mendidik anak, sang ayah tetap pada pendiriannya, dan juga tetap menghargai cara istrinya mendidik mereka. Jika sang anak mengadu akan perilaku ibunya yang tidak sesuai dengan hati mereka, pada saat itulah sang ayah menjelaskan kepada kedua anaknya, bahwa itu semua demi kebaikan mereka juga, hanya saja caranya yang agak keras atau memaksakan kehendak. 

Bagaimanapun, sang ayah berpendapat, kecerdasan dan kemandirian anak diturunkan dari sang ibu, sementara sang ayah hanya mewariskan ketegasan dan kerja keras belaka. Kombinasi keempat sifat tersebut akan menghasilkan anak yang baik. 

Kesamaan sifat yang dimiliki kedua orang tua, sebaiknya jangan sering dipertontonkan di hadapan anak, kecuali untuk hal yang sangat prinsip, sebab berpotensi membuat para anak menganggap hidup hanya hitam putih. Di samping itu, kesamaan pendapat membuat anak miskin kreatifitas di kemudian hari.

Sang ayah nyaris tak pernah memarahi kedua putrinya, oleh sebab dirinya paham belaka itu tugas sang ibu. Entah untuk alasan apa, dalam hal memarahi anak acapkali para ibu lebih merasa tega memarahi dengan kalimat-kalimat sarkastis yang membuat hati anak-anak terluka dua atau tiga hari ke depan. Pada saat itulah tugas para ayah melindungi dan menghibur hati sang anak, tanpa perlu sedikitpun menyalahkan sang ibu.

Dan sepanjang seorang anak berjenis kelamin perempuan, maka tugas para ayah pulalah memanjakan dan melindunginnya sepenuh hati, agar jika hati sang anak terpatah atau retak, bahkan terpecah belah oleh karena sesuatu dan lain hal ia tahu kemana harus berkeluh kesah. Sebab jika salah buatan, ia akan mengadu kepada pria di luar rumah. 

Mereka cenderung segan mengadu kepada sang ibu, sebab kecenderungan sang ibu pada saat anak melakukan kekeliruan yang mengakibatkan sesuatu musibah, yang dilakukan bukannya justru menyelesaikan musibah, melainkan justru menyalahkan penyebabnya terlebih dahulu. 

Misalnya, suatu hari seorang anak gadis mengeluh sakit perut, akibat makan rujak yang terlalu pedas, maka serta merta sang ibu akan sibuk menyalahkan kenapa makan rujaknya pedas, ketimbang bersegera mencarikan obat untuk mengatasi sakit perut putrinya. 

Padahal setan pun tahu, bahwa melarang anak perempuan makan rujak yang pedas, sama susahnya seperti melarang hujan turun di bulan Desember.

Perlakukanlah anak perempuan bagaikan sebuah bola kristal yang rapuh, terlalu keras digenggam ia akan remuk, terlalu longgar dipegang ia akan jatuh dan pecah berderai. 

Itulah sebabnya, banyak para ayah yang khawatir terhadap masa depan anak perempuannya di luar sana, karena ia tahu belaka, bahwa tak ada lelaki di luar sana yang akan mencintai dan menyayangi putrinya melebihi cinta dan sayang yang dimilikinya terhadap sang anak.

Akhir kata, dalam mendidik anak perempuan, akan sangat jauh berbeda dengan mendidik anak laki-laki. Anak laki-laki jauh lebih tegar, pendekatan pendidikannya lebih kepada bagaimana menjalankan hidup yang keras dengan penuh kerja keras tanpa syarat. 

Anak perempuan jauh lebih lembut, ajarilah juga kerja keras namun di atas segalanya pertunjukkanlah kasih sayang kepada mereka. 

Jangan terjebak bahwa mendidik anak perempuan dengan melakukan rutinitas kerja sehari-hari seperti mengurus pekerjaan rumah tangga, sebab bagi kaum milenial itu sangat "seksisme" dan membuat mereka merasa dipojokkan dan memberontak. 

Percayalah, jaman sudah jauh berubah. Namun demikian, rasa kasih sayang selamanya tak akan pernah berubah. Sebab dengan modal utama itulah umat manusia menjalankan kehidupannya di muka bumi.

Tangerang, 20 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun