Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Remaja yang Tak Tahu Mesti Bagaimana

12 Oktober 2020   14:02 Diperbarui: 12 Oktober 2020   14:06 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sepulang sekolah, seorang remaja putri dari keluarga bahagia, menangis sesenggukan di samping ayahnya, membuat kaget sang ayah yang senantiasa riang gembira oleh sebab merasa bahagia bisa menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk mengantar jemput sang buah hati, sejak TK hingga saat itu.

Sang ayah, sebagai penggiat sumber daya manusia, merangkap pengacara serta dosen, yang anak PAUD pun paham pasti memiliki rasa percaya diri meluap-luap dan acapkali merasa dirinya hebat, cerdas dan sejenisnya, hanya bisa tercengang-cengang seperti peternak habis kehilangan kambing kesayangan.

Bagaimana sang ayah tak bingung tujuh keliling, putri bungsunya sedari kecil merupakan seorang anak yang riang gembira, humoris tingkat dewa, gemar membaca dan pintar menulis.  Memiliki teman-teman yang juga satu spesies dengannya, di mana tiada hari dilewati tanpa canda ria semata, seolah mereka diciptakan hanya untuk tertawa-tawa, tiada lain dari tertawa-tawa.

Nyaris setiap hari sang anak bertukar cerita dengan sang ayah tentang kegiatannya sepanjang hari, dan menjelang tidur si bungsu tak pernah alpa menulis pengalaman kesehariaannya di buku harian.  Di lain waktu cerpen-cerpen atau puisi khas kanak-kanak hingga remaja berhasil dibuatnya dengan cukup baik.

Bahkan dari sang anak pulalah ayahnya tahu bagaimana perasaan seorang anak kecil. Kala itu si anak berkisah, pada saat belum sekolah hingga taman kanak-kanak, dirinya beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi, dari mulai kedua orang tuanya, guru-gurunya dan teman-temannya sekalian diciptakan khusus untuk melayani dan menghibur dirinya.

Namun begitu ia duduk di kelas satu SD, pada saat perayaan ulang tahunnya yang ketujuh dan mulai paham bahwa ada orang-orang yang mulai menua, ada yang sakit serta meninggal, sadarlah ia bahwa Tuhan tidak menciptakan mereka untuk dirinya sendiri.

Sebab, jika untuk dirinya tak dibiarkan olehnya ada yang menua, sakit ataupun meninggal.  Seumur hidup saja mereka menjadi anak TK yang senantiasa tertawa-tawa tak kurang suatu apa.  Dan sejak saat itu pulalah ia memahami arti duka nestapa.

Dengan perasaan perih di lubuk hati, sang ayah bertanya ada apa gerangan yang mebuat risau hatinya.  Sang anak menjawab, "Ingin menemui psikolog, karena merasa hidupnya hampa.  Acapkali merasa sedih tanpa bisa dihibur dan ingin mati saja rasanya.". 

Bayangkan, bagaimana gundahnya hati sang ayah, mendapati kenyataan yang demikian bertolak belakang dengan apa yang selama ini dilihat dan diperkirakannya.  Putrinya yang senantiasa terlihat bahagia, tercukupi segala kebutuhannya ternyata memiliki duka lara tiada terperi.

Namun karena menghargai sang putri, ia tidak bertanya apa penyebab sang putri merasa sedih, karena dirinya paham belaka bahwa kesedihan putrinya bukannya terobati malah akan semakin menjadi-jadi.

Apalagi jika saja sang putri menjawab alasan sedihnya, bukan tak mungkin nasehat panjang lebar akan berjejalan keluar dari mulut sok tahu sang ayah.  Jadi sebagai ayah yang mencoba bijak, dirinya mengiyakan saja kehendak putrinya.

Dan oleh sebab "berobat ke psikolog" bagi sebagian orang dianggap sebagai aib, karena dikategorikan satu level menuju gila, minimal hilang ingatan, sang ayah menyimpan erat-erat rahasia permintaan sang anak dari penciuman sang ibu.

Khawatir jika sang ibu sampai tahu, bukannya sang anak ke psikolog ditemani kedua orang tuanya, melainkan perang bubat dalam keluarga tersebut berpotensi terjadi, akibat timbulnya peristiwa saling menyalahkan antara kedua mahluk yang mengaku paling bertanggung jawab dalam mengurus anak tersebut.

Dan kedua-duanya saling menganggap bahwa bukan dirinyalah yang bersalah dan telah membuat sang anak OTW menjadi orang yang kehilangan akal.

Singkat kata, pada suatu hari, dengan penuh kasih sayang sepulang sekolah berangkatlah anak beranak tersebut menemui psikolog setelah dua tiga hari sebelumnya membuat janji bertemu.

Setelah sang ayah menunggu selama dua jam lebih dengan penuh rasa khawatir, sang anak keluar dengan wajah sedikit riang.  Demi menjaga privasi sang anak, dengan hati-hati  sang ayah bertanya bagaimana tanggapan psikolog.

Sang putri mengatakan, sesuai anjuran psikolog, untuk tenang dulu dua atau tiga hari mendatang. Perbanyak kegiatan di luar rumah dan dekatkan diri kepada Tuhan, jika rasa gundah gulana tanpa sebab masih melanda, datang lagi untuk dilakukan test.

Jika hasil testnya positif dan perlu bantuan psikolog, maka akan dilanjutkan dengan terapi untuk beberapa kali, sesuai perkembangan di kemudian hari.  Sang psikolog juga berkisah, bahwa dirinya waktu masih kuliah di Australia dulu juga mengalami hal yang sama, namun mau pergi ke psikolog tak punya uang, akhirnya perbanyak beribadah dan berdoa di malam hari saja.

Apakah psikolog tersebut hanya berkisah demi mengobati sang anak atau betul bercerita tentang pengalaman pribadi, hanya dirinya dan Tuhan yang maklum.

Sejak kunjungan ke psikolog saat itu, sang anak tak pernah merasa gundah lagi, tetapi entah untuk keinginan bunuh dirinya.  Mencermati keadaan sang anak saat ini, yang telah duduk di bangku kuliah semester tiga serta aktif sebagai anggota BEM, sang ayah kadang berseloroh, "Masih mau mati nak?", sang anak menjawab santai, "Masih, tapi ayah yang kasih contoh ya?".  Sang ayah tersenyum kecut.  Sang anak tersenyum penuh sayang kepada ayahnya.

Pergi Ke Psikolog Tak Berarti Sakit Jiwa

Menurut teori psikoanalisa Sigmund Freud, pikiran bawah sadar didefinisikan sebagai kumpulan perasaan, pikiran, dorongan, dan ingatan yang berada di luar kesadaran.  Freud mengatakan, banyak perasaan, keinginan, dan emosi kita ditekan atau ditahan karena kesadaran bawah sadar mereka terlalu mengancam.  Tak jarang keinginan-keinginan yang tersembunyi dan ditekan ini bisa muncul melalui mimpi.

Insting seperti keinginan seksual, trauma, bahaya, hidup serta mati juga dapat ditemukan di alam bawah sadar.  Untuk itulah kita harus mempunyai pertahanan diri agar dorongan alam bawah sadar ini tidak naik ke tingkat kesadaran.

Jika hal tersebut terjadi, maka dorongan untuk mati yang terjadi pada si anak akan diikuti, oleh karena dirinya merasa hampa yang penyebabnya pun tak diketahui bahkan oleh dirinya sendiri.  Itulah konon pengalaman yang tidak disadari dan ditekan ke dalam alam bawah sadar, kemudian menyebabkan insting bawah sadar muncul ke permukaan, yaitu ingin mati tak peduli dengan cara apapun.

Seorang psikolog, memiliki keahlian untuk membangkitkan penyebab dorongan untuk mati yang tak diketahui oleh pasiennya tadi, sebab di samping pasien merasa berani lebih terbuka kepada psikolognya, mereka juga memiliki metode hipnoterapi untuk membangkitkan pikiran yang sudah masuk ke alam bawah sadar.

Namun demikian seorang psikolog, lazimnya tak akan memberikan obat ataupun mengobati kejiwaan para pasiennya, karena mereka berbeda dengan psikiater.  Psikiater berada di bawah naungan ilmu kedokteran yang khusus menangani penyakit yang berhubungan dengan gangguan kejiwaan, dari tingkat rendah, sedang hingga tingkat lanjut.

Namun demikian, jika orang-orang yang memiliki kegelisahan, depresi, atau gundah gulana berkepanjangan tidak mendapat penanganan psikolog sebagai orang yang ahli di bidangnya, bukan tak mungkin orang-orang tersebut pada akhirnya juga akan terganggu kejiwaannya.

Yang lebih celaka, orang-orang depresi tersebut, jika salah buatan dalam menangani depresi yang melanda jiwanya, bukan mustahil pula dapat terjerumus ke perbuatan-perbuatan negative yang mengancam kelangsungan hidup normal.

Contohnya, seorang gadis remaja yang sedang depresi, mengadukan nasibnya kepada temannya yang suka mabuk-mabukan, yah sudah pasti diajak ikut mabuk-mabukan.  Bayangkan jika sang remaja menceritakan deritanya kepada pengedar narkoba.

Jadi alangkah bijaknya, bagi para orang tua yang memiliki anak remaja, untuk tidak pernah putus dalam menjalin komunikasi.  Pantau mereka setiap hari, dan biasakan untuk bertukar cerita.

Jika mereka enggan berkisah, atau terlihat tertekan dan gelisah, jangan segan-segan untuk menemui psikolog, karena dalam hal memberi solusi bagi remaja acapkali seorang psikolog bisa lebih baik dan terarah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh si remaja.

Buang jauh-jauh anggapan bahwa hanya orang yang menderita gangguan jiwa saja yang bertandang ke psikolog, sebab psikolog pada hakekatnya justru mencegah agar orang yang mengalami depresi dan sebangsanya agar tidak sampai terganggu jiwanya.

Tangerang, 12 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun