Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untuk Toleran Itu Sulit

5 Oktober 2020   15:48 Diperbarui: 5 Oktober 2020   15:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang anak lelaki berkulit gelap, yang dilahirkan dan tinggal di sebuah daerah yang rata-rata penduduknya berkulit terang, dapat dipastikan akan menjadi bulan-bulanan sepanjang hidupnya.  Demikianlah yang dialami oleh seorang anak di bumi Laskar Pelangi, tak peduli sang anak beserta tiga generasi ke atas merupakan penduduk asli.  

Jadi bukan lantaran sang anak merupakan pendatang, ataupun keturunan dari daerah lain, melainkan hanya karena perbedaan warna kulit saja.  Sebab demikianlah adanya sifat manusia, jika melihat sesuatu yang tidak lazim, sifat isengnya serta merta akan timbul dan meletup-letup. 

Akibatnya, kehidupan sang anak senantiasa dibayangi kecemasan jika sudah bersentuhan dengan segala sesuatu yang bersinggungan dengan warna kulitnya.  Beruntung nasib sang anak, tidak sekelam warna kulitnya, setamat SMA merantau ke Bandung dan hingga kini menetap di Tangerang, memiliki istri cantik berkulit kuning langsat, hingga sering dianggap warga keturunan Cina, padahal hanya seorang putri Solo pedalaman belaka. 

Kendati sudah demikian, dan sudah menjelang uzur, dalam setiap kesempatan bertemu rekan-rekan sebaya, warna kulit yang terlanjur kelam tetap menjadi bahan candaan, dan keberuntungannya mendapat istri cantik, juga jadi bahan gurauan.  Di antaranya, seorang teman berceloteh, "Dulu waktu melamar, sang istri sedang kesurupan ya?", atau yang lain berkata, "Dulu waktu nyari istri pakai dukun dari mana?". 

Sang anak lelaki yang kini telah menua hanya tersenyum-senyum penuh kemenangan, sambil membayangkan istrinya yang cantik lagi pintar, dan telah memberikan dua putri yang kebetulan juga tidak menurunkan warna kulit dan kapasitas otak dirinya yang ala kadar saja.  Jadi singkat kata, teman-temannya beranggapan orang yang berkulit gelap, tidak dibenarkan mendapatkan orang yang berkulit terang. Jika itu terjadi, maka hinaan dengan penuh rasa iri akan sekali dua didapat oleh yang bersangkutan.

Di peristiwa yang lain, masih di bumi pertiwi, hinaan atau makian juga sering menimpa pendatang-pendatang yang menetap di suatu daerah.  Tak peduli pendatang tersebut berasal dari daerah yang ada di Indonesia, maupun pendatang tersebut berasal dari luar negeri.  

Akibatnya julukan-julukan seperti, "bule", "cina", "negro", "arab", "jawa", "sebrang", untuk menunjukkan asal muasal seseorang sudah dianggap lumrah dan biasa-biasa saja.  Dan yang lebih celaka, jika orang yang bersangkutan merupakan orang yang sukses dalam kehidupannya, maka siap-siap saja dari sekedar  julukan, hinaan, bahkan cacian akan menghinggapinya dalam berbagai kesempatan.

Dalam hal minoritas menimpa berdasarkan jenis kelamin, hal sama juga bisa terjadi.  Rasa terintimidasi dan tidak nyaman akan diperoleh pihak minoritas.  Sebagai contoh, bagaimana nasib seorang wanita yang bekerja di antara puluhan teman pria.  Jika tak kuat-kuat mental bisa jadi dua hari sekali sang wanita harus menangis, akibat candaan dari para pria yang kurang ajar.  

Demikian juga sebaliknya, seorang pria yang terpaksa menjadi minoritas di tengah kaum wanita sedikit banyak akan sering merasa tidak nyaman.  Apalagi jika sekumpulan para wanita tersebut sedang tertawa cekikikan, dapat dipastikan sang pria bisa merasa menyesal telah dilahirkan ke muka bumi dan terdampar di kelompok tersebut.

Kemudian, bagaimana halnya jika minoritas terjadi dalam hal kekayaan.  Seorang yang tidak berpunya berada di lingkungan orang-orang yang kaya?  Maka kiamat kecil sedang terjadi bagi individu tersebut, namun sebaliknya jika seorang yang kaya raya menjadi minoritas di antara orang-orang yang tidak berpunya, hanya dirinya dan Tuhanlah yang tahu bagaimana rasanya.

Diskriminasi

Diskriminasi, adalah membeda-bedakan seseorang dengan orang-orang lainnya.  Lazimnya terjadi dalam sebuah kelompok yang jumlah anggotanya tidak seimbang, termasuk juga dalam hal factor pendukung lainnya.  Akibatnya, hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh kelompok mayoritas.  

Seorang yang berkulit gelap, akan sering mendapat perlakuan yang tidak adil jika kelompoknya berkulit terang.  Seorang yang memeluk agama minoritas di suatu tempat, akan mendapat perlakuan tidak adil di antara penganut mayoritas.  Tak peduli apa pun agamanya.  Sebagai contoh, di sebuah pemukiman penduduk di daerah Tangerang, yang mayoritas penduduknya beragama Islam mungkin tak akan mempedulikan penduduk yang beragama lain.  

Contohnya, memilih waktu kerja bakti pada hari Minggu pagi, tak peduli pada saat itu ada sebagian kecil penduduknya harus beribadah di gereja.  Atau masih di belahan lain kota Tangerang, di sebuah pemukiman penduduk yang mayoritas penduduknya beragama non Muslim, dengan tanpa rasa bersalah mengadakan kegiatan senam taichi di Sabtu sore yang dimulai pukul enam sore, tak peduli satu atau dua orang pesertanya ada yang beragama Islam.

Pada hekekatnya, diskriminasi terjadi karena miskinnya rasa toleransi.  Namun demikian kita tak juga bisa serta merta menyalahkan orang yang tidak memiliki toleransi, karena sifat dasar manusia dalam berkelompok adalah secara tak sadar membagi diri menjadi kelompok dirinya dan kelompok lain.  

Dalam hal bertetangga juga, seseorang akan membentengi rumahku dan rumah tetangga.  Keluargaku dan keluarga lain.  Pada saat seseorang melakukan hal tersebut, maka benih-benih intoleransi dan diskriminasi akan lahir yang jika tak disadari menjadi tak terkendali serta berpotensi berujung kepada hinaan-hinaan kepada kelompok lain.  

Sehingga jangan heran jika acapkali kita mendengar perkataan, "Keluarga saya sih, baik-baik dan pembersih, tidak jorok seperti tetangga-tetangga lain.", atau "Anak saya mah pintar-pintar...", secara tanpa sadar menyiratkan anak orang lain kurang pintar.  Salah buatan kita menjadi orang yang tidak toleran kepada orang yang kurang pintar, akibatnya akan muncul hinaan, "Bodoh sih, makanya nggak sukses...".  Gawat kan?

Jadi, kita harus menghindari adanya benih-benih diskriminsasi, karena akan berlanjut kepada intoleransi yang berujung kepada tebaran penghinaan.  Lebih celaka lagi, jaman sekarang kita bisa dengan enteng menghina orang, baik melalui cara manual, tatap muka maupun melalui media social. 

Bagaimana cara kita menghindari timbulnya benih diskriminasi, salah satunya adalah dengan menyadari bahwa kita tidak bisa memilih di mana kita dan sebagai apa kita dilahirkan.  Jika kita dilahirkan sebagai kelompok mayoritas, kaya, pintar dan sebangsanya, syukurilah karena itu anugerah bagi kita.  

Namun demikian jika kita menemukan orang yang terlahir sebagai kelompok minoritas, tidak beruntung hidupnya, hargailah.  Sedapat mungkin bantu agar memiliki rasa percaya diri dan merasa setara hidup dengan orang-orang lainnya, karena sesungguhnya, dia tak bisa memilih untuk dilahirkan di mana dan sebagai apa.  Jika bisa memilih, tentunya ia kan memilih dilahirkan di kelompok mayoritas, agar hidupnya aman sejahtera seperti yang lauinnya.

Namun, bagaimana jika kita dilahirkan sebagai kelompok minoritas? Bekerjalah sekeras mungkin, berdoalah sehabis tenaga, gantungkan cita-cita setinggi gemintang dan gapai.  

Bocah yang dulu sering was-was tatkala berkumpul dengan rekan-rekan sebayanya karena berkulit gelap, kini berkat kerja keras sepanjang hari, tak pernah merasa minder sedikitpun karena berhasil memiliki istri berkulit kuning, pernah merasakan tinggal di pemukiman di mana dirinya menjadi mayoritas dan sekarang tinggal di pemukiman di mana dirinya menjadi minoritas. 

 Namun, dirinya tak pernah minder sedikitpun kendati sekarang menjadi minoritas, oleh sebab sudah terbiasa sejak lahir dan di lingkungannya menjadi orang yang cukup disegani dan dihargai keberadaannya.

Tangerang, 05 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun