Dengan demikian sang istri menjadi tergantung secara ekonomi kepada suaminya. Â Akibat dari ketergantungan ekonomi inilah, banyak para istri di negeri ini menerima dengan pasrah apapun yang dilakukan oleh suami. Â Tak sedikit para wanita yang terpaksa menerima "dimadu" karena beralasan, kasihan anak-anak jika harus bercerai sebab dirinya tidak mampu membiayai kehidupan anak-anak yang akan ikut kepadanya jika bercerai dari sang suami.Â
Jadi pada dasarnya, undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, jika disosialisasikan dan ditaati oleh segenap rakyat Indonesia, sesungguhnya sudah lebih dari cukup dalam hal memberikan perlindungan terhadap kekerasan yang dilakukan pasangannya.
Namun demikian, karena pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang sangat rendah serta penegakan hukum yang juga sangat lemah, maka undang-undang sebagus apapun tak akan banyak berarti dan mampu mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seperti kata pepatah Belanda, "Lebih baik aturan hukum yang tidak terlalu baik, namun dijalankan oleh penegak hukum yang kuat, dibandingkan aturan hukum yang baik, namun dijalankan oleh penegak hukum yang lemah.".
Berangkat dari hal di atas seorang ayah yang memiliki dua putri, menasehati kepada kedua anak gadisnya tersebut. Â "Nak, kalian berdua sama-sama wanita, tak memiliki adik atau kakak laki-laki. Â Jika ayah sudah meninggal, maka tak ada lagi lelaki yang akan menjaga diri kalian. Â Jangan terlalu berharap kepada suamimu, sebab siapa yang tahu kalian akan mendapatkan suami yang baik, atau bajingan seperti buaya.
Oleh karena itu, di samping nanti kalian mencari ilmu untuk kehidupan di masa depan, jangan lupa belajar juga ilmu hukum, agar kalian bisa menjaga diri dari kekerasan yang bukan tak mungkin akan menimpa jika kalian menikahi pria yang ringan tangan.". Â Sang anak mengangguk-angguk, dan ternyata di kemudian hari menuruti nasehat sang ayah. Â Anak yang pertama kuliah hukum untuk jadi corporate lawyer atau notaris, putri kedua kuliah hukum untuk mejadi pembela hak asasi kaum tertindas.
Dan setelah si bungsu, di kegiatan ekstra kurikulernya menjadi pendamping kaum tertindas di Kebun Sayur Ciracas, Jakarta Timur, menjadi penggerak kesetaraan wanita, giliran sang ayah menjadi was-was. Â Khawatir di masa depannya kegiatan sang anak akan bersinggungan dengan jaringan kekuasaan, akibatnya bisa lebih fatal dari pada menikahi lelaki buaya.
Tangerang, 15 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H