Sambil membaca buku seorang ayah mengawasi dua putri kecilnya yang sedang sibuk menggambar, mereka berbagi tugas masing-masing menggambar ayah dan bundanya.Â
Dengan  otoriter sang kakak memilih menggambar potret diri ayahnya sementara si adik diperintahkan menggambar bundanya.  Selesai menggambar, sang kakak bersegera menghampiri ayahnya, sambil dengan bangga menunjukkan hasil karyanya. Â
Beruntung sang ayah sempat mendengar bahwa yang sedang dilukis adalah potret dirinya, sehingga dengan wajah dibuat seolah-olah takjub, memuji gambar si anak dengan mengatakan gambarnya sangat bagus dan mirip dirinya, walaupun sebenarnya gambar si anak jauh lebih mirip gambar kadal daripada gambar sosok seorang ayah di manapun di muka bumi. Â Si anak sulung girang bukan buatan.
Melihat kakaknya meloncat-loncat kegirangan, sang adik tak mau kalah, langsung melesat ke bundanya yang sedang menyibukkan diri di dapur. Â Dengan jujur karena tak paham duduk perkaranya, sang bunda memuji,
 "Woow, gambar kelelawarnya bagus banget.  Adek memang pintar.".  Kontan sang adik murka bukan kepalang, sambil membanting-banting kaki mungilnya ia kembali ke arena bermainnya. Â
Bibir mungilnya maju semaju majunya, kalau di sekitarnya ada karet gelang, bisa dipastikan bibir tersebut dapat dikuncir, menggenapkan kunciran yang sebelumnya telah terpasang satu di kepalanya. Â
Bayangkan, maksud hati ingin menggambar bundanya dengan mengenakan daster hitam favoritnya, malah dianggap sebagai gambar kelelawar, walaupun memang secara jujur gambar sang bunda sangat mirip hewan yang belakangan dituduh sebagai penyebar virus maut Corona tersebut. Â
Hati anak kecil mana yang tidak akan kecewa tidak mendapat pujian atas jerih payahnya, masih untung jika sang anak tak sampai depresi karenanya dan trauma untuk menggambar seumur hidupnya. Â Terutama jika nantinya disuruh menggambar kelelawar atau potret diri bundanya.
Masih tentang seorang anak. Â Di bumi pertiwi ini, banyak orang tua yang sangat menyayangi anak-anaknya. Â Demikian sayangnya para orang tua tadi, sehingga tak tega atau tak akan pernah sanggup membiarkan anaknya menangis, apapun alasannya. Â Tak peduli sebagian dokter mengatakan, biarkan saja anak menangis menjerit-jerit karena itu berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan jantungnya. Â Memang sebagian besar orang percaya saja apa kata sang dokter, tanpa bertanya lebih jauh alasannya, namun walau bagaimanapun jika anaknya menangis, jangankan meraung-raung, terisak-isak atau menangis sesenggukan saja hati orang tua terasa seperti teriris sembilu.Â
 Berdasarkan alasan tersebutlah, maka jika orang tua mendapatkan si kecil kesayangannya jatuh tersungkur oleh karena alasan yang tak jelas, maka orang tua tersebut tak peduli apakah ayah atau ibunya, akan bersicepat menyambar sang anak yang sedang terkaget-kaget dan bersiap-siap mau menangis menjerit-jerit tersebut, lalu bertanya, "Mau menangkap kodok ya? Kodoknya nakal terus lari ya?  Biar nanti kodoknya bunda pukul.". Â
Sang anak yang hendak menangis tersebut, sempat kebingunan semenit dua, lalu membayangkan betapa lucunya seekor kodok jika sedang dipukuli ibunya, lalu tersenyum dan tertawa kegirangan. Â Sang orang tua ikut bahagia dan mendekap erat-erat buah hatinya. Â
Demikian juga jika sang anak didapati sedang menangis oleh sebab terjatuh dari kursi, yang coba dinaikinya. Â Maka sang kursi yang tahu apa-apa langsung dipukuli, serta dituduh sebagai kursi yang nakal. Â Sang anak berhenti menangis, dan seakan tak percaya segera berganti dengan tertawa terpingkal-pingkal melihat sang kursi kebingungan. Â
Orang tua juga menyesal, karena tangannya pegal-pegal akibat terlalu keras memukul kursi yang menjadi penyebab tangis belahan jantungnya.
Perilaku tak sadar orang tua tersebut, pada dasarnya memang mampu mendiamkan jerit tangis sang anak, yang tak bisa diramalkan kapan berhentinya. Â Namun acapkali menimbulkan dampak yang sangat berbahaya bagi tumbuh kembang si anak di kemudian hari, sebab dengan cara demikian sang anak diajari untuk tidak bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri. Â
Segala kesalahan yang diperbuat oleh dirinya, dianggap kesalahan pihak lain. Â Dirinya jatuh karena berjalan terlalu tergesa, yang disalahkan kodok yang tak tahu apa-apa. Â Saat dirinya terlempar dari kursi, akibat ketidakmampuannya menggapai ketinggian kursi, yang dipukuli dan disalahkan kursi yang tak berdosa. Â
Akhirnya, jangan heran jika dua anak bangsa negeri ini berselisih atau berkelahi, maka perlu menunggu hingga hari raya Idul Fitri tiba untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Â Karena kedua-duanya merasa tidak bersalah. Â
Lain halnya jika seseorang diajarkan mengakui dan bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukannya, maka semenit dua setelah selesai berkelahi, keduanya segera menyadari kesalahan masing-masing dan serta merta berebut saling minta maaf. Â Tak perlu menunggu hari raya tiba.Â
Seorang pria lokal, yang berteman dengan ekspatriat dari Korea, pernah terheran-heran. Â Karena dua orang pria Korea yang sedang berbincang tiba-tiba bertengkar dengan hebat dan adu jotos beberapa menit kemudian. Â
Setelah masing-masing kebagian satu pukulan, yang satu pecah bibir atasnya, yang satu lagi merah mata kanannya, dapat dipastikan keesokan harinya mata yang memerah akan membiru, mereka berdua segera berhenti saling pukul karena dilerai, atau juga karena sama-sama takut, hanya mereka yang paham alasannya. Â
Selanjutnya mereka berdua berbicara dengan nada tenang, tidak meledak-ledak lagi dan bersalaman. Â Karena sang pria lokal tak paham bahasa ibu kedua petinju dadakan tersebut, ia bertanya apa yang mereka bicarakan sehingga kemudian bersalaman kepada rekan Koreanya. Â Jawabannya sungguh mengejutkan, ternyata pihak pertama mengatakan dirinya salah, dan minta segera minta maaf, sedangkan pihak kedua mengatakan dirinyalah yang salah.Â
Bayangkan, dua-duanya berebut mengakui kesalahan. Â Rasanya bagi mereka perkataan Shakespeare ada benarnya, bahwa kesalahan bukanlah pada bintang-bintang, melainkan pada diri kita sendiri.
Dukungan dan Pujian
Dalam mendidik anak, memang ada baiknya dengan memberikan dukungan dan pujian, agar mereka mempunyai rasa percaya diri sehingga segala tindakannya yang baik dan benar tersebut akan dilakukannya lagi demi memperoleh pujian dan seterusnya. Â
Namun demikian, untuk membuat sang anak bersedia bertanggung jawab, kita juga tak boleh segan untuk mengatakan dirinya salah, sehingga ia akan tahu di mana letak kesalahan dan jangan sampai lupa juga harus diajarkan dengan baik bagaimana cara memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya tadi. Â
Hanya saja, perlu diketahui untuk menunjukkan kesalahan usahakan dengan cara yang lembut atau dengan cara yang tidak menggurui, apalagi mencerca. Â
Sebab pepatah mengatakan, didiklah seseorang dengan cara apapun, namun jangan sampai memaki. Â Misalnya untuk mengatakan "salah", gunakanlah kata pengganti lain yang lebih halus misalnya "keliru" atau "kurang tepat". Â Untuk mengatakan "Jangan diulangi lagi perbuatan seperti kemarin", perhaluslah dengan, "Yah sudah, yang sudah berlalu tak apa-apa, untuk ke depannya kita coba menghindari agar tidak terjadi lagi".Â
Sebuah keluarga di Tangerang, menghindari penggunaan kata ganti "kamu", kepada siapapun di dalam rumah, termasuk di luar rumah. Â Karena menurut sang ayah kata "kamu" terkesan merendahkan lawan bicara. Â
Maka jadilah di rumah tersebut tak pernah terdengar kata-kata "kamu" tadi, kecuali jika sekali dua sang ibu sedang kumat menyaksikan sinema elektronik kegemarannya yang berhamburan kata-kata "kamu" dalam pembicaraan para pemainnya dengan segala jenis intonasi baik dari yang melengking, menguat, maupun bergemuruh. Â Â
Selain kata-kata "kamu", juga kata-kata seperti "bodoh", "salah" dan segala jenis nama hewan yang sering dipakai untuk memaki juga diubah sedemikian rupa, agar tak terkesan lawan bicara sedang dimaki-maki dengan lemah lembut. Â Â Â
Jika sebuah perbuatan sudah didukung, sesungguhnya pujian sudah tidak perlu dilakukan lagi, namun agar lebih sempurna dan meyakinkan tak berlebihan jika pujian ikut dilontarkan, dengan syarat sampaikanlah pujian, namun tidak dengan sambil tersenyum.Â
 Sebab konon, pujian yang disampaikan sambil tersenyum acapkali dianggap sebagai olok-olok, dan berpotensi menyebabkan salah paham yang kadangkala akibatnya tak bisa diperkirakan oleh manusia. Â
Sementara itu, pujian yang disampaikan terhadap suatu perbuatan yang baik tanpa didahului dengan dukungan, dapat dianggap sebagai pengakuan serta sudah dianggap juga sebagai pemberian dukungan.
Jadi didiklah anak dengan dukungan, atau dengan cara apapun yang akan menghasilkan akibat yang baik-baik saja adanya. Â Berikut ini dikutipkan sajak yang mudah-mudahan dapat dianggap sebagai petunjuk yang ditulis Dorothy Law Nolte:
Anak Belajar Dari Kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.Â
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Tangerang, 02 Maret 2020 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H