Seorang gadis kecil berusia 6 tahunan bertanya kepada ayahnya, tentang cerita yang melegenda dari Sumatera Barat, Malin Kundang. Si kecil lucu yang cerdas tersebut, mempertanyakan apakah si ibu tidak sayang kepada anaknya, hingga tega mengutuk anak kandungnya sendiri menjadi batu.Â
Sementara sang adik, yang tak kalah menggemaskannya mendengarkan sambil berkedip-kedip matanya, menahan genangan air yang mengaca di matanya.Â
Mungkin dalam hatinya ia membayangkan bunda yang sangat menyayanginya jika suatu saat murka akan mengutuknya menjadi batu juga, paling sedikit jadi kodok, hewan yang sangat tidak disukainya.
Sebagai seorang ayah konvensional, yang menganggap dongeng di atas segala-galanya, begitu terobsesinya sampai membelikan buku pertama untuk anak pertamanya saat baru berusia 3 bulan, yang untuk tengkurap pun sang anak belum mampu, memutar otak untuk menjawab. Salah menjawab akibatnya bisa teramat fatal untuk tumbuh kembang si anak di kemudian hari.
Sang ayah menjelaskan, bahwa dongeng hanyalah cerita legenda, yang diciptakan oleh orang tua zaman dahulu kala untuk mengajarkan kebaikan kepada anak-anaknya. Karena dibuat oleh orang, sudah barang tentu akan terdapat kekurang sempurnaan di sana sini.
Namun demikian tujuannya hanya satu, dongeng Malin Kundang tersebut mengajarkan kepada anak-anaknya, agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.
"Jadi sebenarnya tidak ada ya Yah ibu yang jahat, sampai mengutuk anaknya jadi batu?", sang anak penasaran. "Tidak nak, semua orang tua di muka bumi ini sangat sayang kepada anak-anaknya, mereka ingin anaknya menjadi orang yang sukses di kemudian hari.Â
Jika sampai ada orang tua yang memarahi atau memukul anaknya, itu semata-mata karena ingin mendidik agar anaknya menjadi orang yang baik, hanya saja caranya kadang agak kasar.".Â
Sang ayah menjawab was-was, karena terlihat adiknya yang lugu namun cerdas, mulai terang matanya, bersih dari genangan air mata, dan tampak membulat. Suatu pertanda pertanyaan yang mengerikan akan dilemparkan. "Kalau anaknya nakal, terus mengutuk ibunya jadi batu boleh nggak Ayah?".Â
Sang ayah mati angin. Namun bukan seorang Ayah namanya jika tak bisa melayani, keceriwisan anak-anaknya yang karena salahnya sendiri sedari kecil sudah dididik dengan beraneka dongeng yang tak ada habisnya dari pelosok negeri dan dunia.
"Sebetulnya boleh saja nak, karena kalau seorang anak sampai nakal dan mengutuk ayah atau ibunya jadi batu, sebetulnya yang salah bukan anaknya, melainkan orang tuanya yang tak bisa mendidik anaknya dengan baik.Â
Akhirnya si anak menjadi nakal dan ibunya dikutuk jadi batu. Jadi nanti saat kalian sudah dewasa, harus menjadi ibu yang baik, agar tidak mempunyai anak yang nakal yang pada akhirnya akan mengutuk kalian berdua menjadi batu.Â
Nah, kalau kalian sekarang menjadi anak nakal, kemudian mengutuk ayah dan bunda menjadi batu, boleh saja, tapi nanti siapa yang akan menceritakan dongeng sebelum tidur setiap malam? Siapa yang akan mengantar jemput kalian ke sekolah?". Serta merta sang adik memeluk erat sang ayah. Sekarang giliran mata sang ayah yang berkaca-kaca.
Berangkat dari percakapan di atas, sesungguhnya tak ada hak orang tua untuk mengutuk anaknya menjadi batu, atau memaksa anak berbakti kepada orang tuanya. Kendatipun sebenarnya dalam hukum perdata barat memang diatur, bahwa anak bertanggung jawab terhadap kehidupan orang tuanya yang miskin, dan demikian juga sebaliknya, orang tua bertanggung jawab terhadap kehidupan anaknya yang miskin.Â
Dan dalam agama apapun, diterangkan berulang-ulang bahwa seorang anak berkewajiban mengabdi kepada kedua orang tuannya saat mereka sudah tua renta dan tidak produktif lagi.
Pamrih
Bahwa seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya, itu tak bisa dipungkiri, namun kita sebagai orang tua juga tidak bijak jika secara serta merta merasa berhak menuntut balas jasa (pamrih) kepada anak yang telah kita besarkan agar berbakti kepada kita. Bahkan dalam sebuah pendapat, pamrih diartikan sebagai "maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan".Â
Jadi jika orang tua menuntut balas jasa, itu sudah bukan maksud yang tersembunyi, melainkan sudah terang-terangan, itu namanya bukan pamrih lagi melainkan investasi. Sebab anak sengaja kita lahirkan, kita didik agar sukses, kemudian di hari tua kita menyandarkan kehidupan kita kepada anak kita.
Mengapa kita tak boleh menyandarkan kehidupan hari tua kita kepada anak? Jawabnya bisa banyak dan rentan perdebatan. Pertama, anak tak minta dilahirkan oleh kita, namun kitalah yang iseng membuat mereka dilahirkan ke muka bumi. Jika bisa memilih, bukan tak mungkin anak kita memilih untuk dilahirkan sebagai anak konglomerat misalnya.Â
Kedua, jika kehidupan anak kita di kemudian hari juga ternyata tidak terlalu sejahtera, dan anak kita juga harus menanggung hidup keluarganya, maka keberadaan kita malah akan menambah beban anak kita.Â
Ketiga, merawat orang tua yang mulai sakit-sakitan dan merawat anak yang sedang tumbuh kembang adalah dua hal yang berbeda. Saat kita merawat anak kita, mereka dimulai dari bayi yang lucu, wangi dan menggemaskan. Siang malam kita melihat mereka tumbuh dan menjadi hiburan tersendiri.Â
Kemudian, anak kita merawat kita yang makin hari makin layu, sudah pasti jauh berbeda rasanya saat kita merawat dia di masa kecilnya. Keempat, kita harus menerima dengan lapang dada apa yang akan terjadi dengan kehidupan kita dan anak kita di kemudian hari, sebab jika di kemudian hari kita sengsara dan anak kita tak mengindahkan kita, yang salah adalah kita sendiri.Â
Kenapa dulu bikin anak jika tak bisa membuatnya menjadi orang yang baik dan sukses, serta kenapa pula kita tak mampu menanggung hidup kita sendiri?
Jadi, melalui tulisan yang agak sensitive ini, marilah kita para orang tua yang terlanjur memiliki anak, persiapkanlah hidup di hari tua sebaik mungkin. Investasikan kesehatan dan materi demi hari tua. Hindari menjadi beban anak kita di masa yang akan datang. Biarlah mereka membangun kehidupan keluarganya dengan nyaman, tanpa gangguan yang berarti dari kita.Â
Sebab, tantangan dan beban hidup pada masa mendatang, yang akan menjadi zamannya anak-anak kita membangun keluarga, akan jauh lebih berat dari tantangan dan beban hidup pada zaman kita dahulu.Â
(Tulisan ini bukan untuk konsumsi para anak, melainkan para orang tua yang punya anak, berbahagialah para orang tua yang memutuskan tidak memiliki anak dengan alasan; merasa takut tak mampu memenuhi kebutuhan dan mendidik anak dengan sempurna).
Tangerang, 17 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H