Manusia, Tak Ada Yang Mampu Mandiri
Dalam dunia olah raga, terutama olah raga permainan, ada banyak cabang yang harus menggunakan minimal dua orang atau lebih dalam memainkannya. Â Bahkan untuk olah raga yang sifatnya individual pun, agar tampak menarik dan sedap ditonton adalah pada saat mereka berkompetisi. Â
Seorang pelari cepat, dalam nomor lari seratus meter akan tampak indah dipandang mata dan menegangkan jika mereka berlari bersamaan yang terdiri dari beberapa penari setelah sebelumnya diawali dengan suara ledakan pistol, sebagai penanda mereka boleh berlari seperti orang dikejar setan. Â Sebab jika mereka berlari sendirian, secepat apapun itu di tengah lapangan dan ditonton oleh ratusan pasang mata, boleh jadi tanggapan penonton tak lebih dari orang hilang ingatan. Â Setidaknya seperti orang kurang kerjaan.
Seorang pemain ski air, yang memiliki kemampuan akrobatik di tengah danau, tak akan bisa menunjukkan kemampuannya tanpa ditarik oleh speedboat yang dikemudikan seseorang yang juga ahli dibidangnya.
Segagah apapun mereka, tanpa pengemudi speedboat, yang dapat mereka lakukan hanya termangu-mangu di pinggir danau, tak jauh berbeda dengan tukang pancing biasa.
Dalam dunia kesenian, seorang penyanyi bersuara merdu sekalipun, tanpa diiringi dengan seperangkat musik yang dimainkan oleh pemiliknya, nasibnya tak jauh berbeda dengan mereka yang baru lulus kursus vocal di sebuah tempat les seni suara. Â Demikian juga sebaliknya, sebuah group musik yang siang malam berlatih music tanpa penyanyi, paling juga hanya bisa tampil dalam acara-acara khusus yang para penontonnya hadir sebagai undangan, yang oleh karena sesuatu dan lain hal terpaksa hadir oleh sebab menanggung rasa tak nyaman kepada sang pengundang hingga akhir hayat, jika nekad tak mengindahkan undangan keramat tersebut.
Sekarang, lihatlah dunia kanak-kanak. Â Memang karena kondisi beberapa waktu terakhir ini, kehidupan modern memaksa para keluarga muda khususnya di perkotaan memiliki anak dengan jumlah minimal, tinggal di perumahan yang memiliki ukuran juga minimalis. Â Proteksi terhadap kehidupan anak yang semata wayang, atau dua mata wayang tersebut kadangkala sangat berlebihan. Â Akibatnya, pada saat anak baru satu, besar kemungkinan akan bermain sendirian. Â
Belum lagi, jika sang orang tua mengidap cara berpikir kebarat-baratan, maka anak akan dididik untuk menjadi sangat mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Â Namun acapkali hasilnya bikin hati was-was, sang anak menjadikan benda-benda mati seperti belahan jiwanya. Â
Berjalan kian kemari membawa boneka lusuh yang kadang dalam anggapan orang tua dianggap sebagai mainan favoritnya. Â Siapa yang bisa menduga bahwa dalam hati anak boneka bulukan tersebut sudah menjadi belahan jiwanya, bukan sekedar mainan kesayangan, sampai-sampai tidurpun tak akan nyenyak jika sang boneka dijauhkan dari dekapannya. Â Ini pun sejatinya bentuk ketergantungan.
Bahkan ada keyakinan yang mengatakan, jangankan untuk menjalani kehidupan, untuk menjalani kematianpun seseorang tetap tergantung kepada orang lain. Â Sebab sangat jarang ada orang normal yang tidak was-was terhadap kematian yang akan menjemputnya entah kapan, sehingga tak jarang banyak yang berpesan jika nanti mereka terpaksa memenuhi panggilan sang Pencipta, minta dikuburkan di bawah pohon pete, atau di pinggir sungai, ataupun dikremasi kemudian abunya ditaburkan di laut pantai selatan dengan harapan bisa mempersunting ratu setempat dan lain sebagainya.
Ketergantungan