Lazimnya sebuah keluarga kecil, dengan anak yang masih di bawah dua tahun, bahasa yang dipakai adalah bahasa sang anak. Â Anak menciptakan bahasa dengan lidah cadelnya, dan ditabalkanlah bahasa ciptaan spesies imut-imut tersebut untuk waktu yang tidak jelas. Â Demikianlah yang terjadi di sebuah keluarga di Tangerang.Â
Untuk menamakan uang logam recehan, sang anak menyebutnya "cicing", mengacu kepada bunyinya yang gemerincing; cing...cing...cing. Â Ajaibnya, seturut anak tersebut beranjak besar, dan mengetahui ada alat pembayaran yang sah selain uang logam, yaitu uang kertas, sang anak -- entah siapa yang mengajari -, juga mengatakan uang kertas sebagai "cicing". Â Maka jadilah sejak saat itu kata cicing digunakan sebagai pengganti sebutan uang di keluarga bahagia tersebut, hingga saat ini.
Sejalan dengan ditabukannya kata uang dan diganti dengan kata cicing, beberapa kata yang agak seram didengar, juga diganti tanpa sengaja, contohnya; kata onyet untuk monyet, etan untuk setan, ogeb untuk bodoh, guguk untuk anjing dan biba untuk babi, tak jelas apa salah para mahluk tersebut sampai namanya pun terdengar risih jika disebut dengan nama yang sebenar-benarnya. Â Kelanjutannya, seperti halnya hampir di setiap keluarga lain di bumi pertiwi, kata-kata yang berhubungan dengan perkelaminan juga ditabukan.
Peristiwa di atas, sejatinya merupakan kearifan lokal, yang secara tak sadar digunakan para orang tua, agar generasi di bawahnya dibatasi untuk mengakses hal tertentu yang pada akhirnya diharapkan akan segan melakukan tanpa terkendali sesuatu perbuatan yang bahkan untuk menyebutnya pun harus disamarkan dengan tata krama, yang konon berkonotasi lebih halus.Â
Bayangkan jika sedari kecil para generasi balita dibiarkan mengucapkan dengan bebas kata-kata yang sering digunakan orang dewasa untuk memaki, maka sangat boleh jadi, sebelum tuntas masa remajanya pun kata-kata yang berkonotasi "kasar" tersebut akan bertebaran keluar dari mulut anak-anak belia yang manis dan lucu tersebut.
Berangkat dari cerita di atas, keluarga muda yang menabukan kata uang, pada akhirnya kemungkinan menjadi sebuah keluarga yang tidak mengejar uang dalam kesehariaanya. Â Mereka bekerja keras sepanjang waktu, hanya sekedar untuk bekerja, bukan untuk mencari uang, melainkan semata-mata berpikiran bahwa dalam hidup memang harus bekerja.Â
Seperti seekor kuda, yang sepanjang hidupnya harus berlari kian kemari, tanpa pernah berpikir bahwa dengan berlari tubuhnya akan menjadi kekar dan disukai oleh para kuda betina pilihannya. Â Atau nanti setelah berlari kian kemari akan mendapat hadiah wortel dari seseorang, baik oleh pelatih ataupun oleh orang yang kasihan kepadanya.
Demikianlah keluarga tersebut menjalankan kehidupannya. Â Sebagai keluarga muslim, yang setiap tahun harus menjalankan ibadah puasa, di masa kecil si anak pencipta kata cicing tersebut, seperti anak kecil pada umumnya mencoba menjalankan puasa sebulan penuh, yang acapkali dianggap sebagai prestasi yang membanggakan.Â
Namun yang membedakan, jika keluarga lain si anak yang berprestasi seperti itu, pada hari raya mendapatkan hadiah khusus serta pujian seminggu dua, anak pencipta cicing tadi tak mendapat apa-apa, hanya sekedar pujian sebagai basa-basi. Â Dan lucunya sang anak tidak menuntut. Â Demikian juga seterusnya, saat mereka menjalankan pendidikan hingga masuk di perguruan tinggi negeri ternama, tak ada hadiah khusus selain pujian dan pelukan dari ayah bundanya. Â Selanjutnya, mereka kembali bekerja keras demi prestasi yang lain.
Reward
Reward, acapkali diartikan sebagai penghargaan, yang sejatinya diberikan untuk memotivasi seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan suatu perbuatan.  Memang pada prinsipnya reward atau hadiah yang sudah diumumkan sebelum seseorang melakukan sesuatu tidaklah membahayakan, namun demikian jika dilakukan secara berulang-ulang dan mempengaruhi bawah sadar dampak dan implikasinya tak bisa dianggap remeh, karena mengarah ke mentalitas.