Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kala Memeluk Kebaikan Tradisi: Keberagaman Cara Pandang dalam Perayaan Maulid Nabi

8 Oktober 2022   21:15 Diperbarui: 8 Oktober 2022   21:17 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Nilai Moderasi

Moderasi  amat erat dengan kata moderat, yang menurut Kementerian Agama RI dapat didefinisikan sebagai sikap mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. Istilah ini belakangan juga berdampingan dengan kata "agama", maknanya tentu berada pada kontekstual keagamaan. Gaung moderasi beragama sejatinya ialah respons dari keberagaman di Indonesia. Jika mau melihat ke belakang, Islamisasi di negara ini melibatkan prinsip sosio-kultural. Islam hadir saat Hindu dan animisme lebih dulu mengakar di Nusantara. Antropolog Koentjaraningrat bilang kalau Islam ialah modal integrasi nasional terbentuknya kebudayaan Indonesia. Bisa ditafsirkan antara agama dan kebudayaan yang berkembang merupakan gugusan yang saling terhubung.

Keberagaman sebagai ihwal yang tak terpisahkan kemungkinan besar akan terus dipandang dengan beragam perspektif pula, dan itu normal. Konflik tentu amat mungkin terjadi melalui berbagai dorongan. Faktor ini dapat timbul melalui bias sadar ataupun bawah sadar manusia. Ketidakselarasan antara pengalaman, pengetahuan, dan masalah yang dihadapi menentukan respons tiap orang saat menghadapi konflik di ranah keberagaman. Konsep moderasi tadi seyogianya terlibat dalam situasi tersebut dan dimiliki oleh tiap individu. Jika agak sulit diterjemahkan dalam istilah tersebut, kita bisa jabarkan bahwa amat penting untuk berempati, punya pengetahuan dan pengalaman hidup dengan lingkungan yang beragam, toleran, berpikir kritis, dan komunikasi asertif barang kali jadi butir-butir keterampilan yang mendukung terwujudnya konsep tersebut. Cara pandang ini lebih dari sekadar entitas, perlu bertransformasi sebagai identitas.

Kesadaran manusia untuk merespons tiap perspektif agaknya perlu didorong dengan sekelumit pertimbangan, termasuk ke dalam konteks perbedaan perspektif soal perayaan panjang mulud. Menimbang untuk mencapai moderasi adalah bagian penting bagaimana perwujudan keberagaman itu berlangsung. Lebih dari sekadar sepakat ataupun tidak, merawat modal gotong royong, serta sikap empati dan toleran tadi yang perlu diperkuat. Melihat kembali dan merefleksikannya pada tokoh di awal, begitu praktik baik yang Surti turut lakukan.

Pengalaman Surti pun menyiratkan bahwa, saat melihat esensi karya dalam tradisi, manusia perlu memainkan indera dan pikiran, agar rasa saling menghargai bukan sekadar besar benda yang terlihat oleh mata, tetapi juga kebaikan yang dirasa oleh hati dan pikiran. Bak moderasi beragama yang ramai digaungkan, diri manusia perlu dipupuk rasa saling menghargai sesama dan menghindari keekstreman, sebab paham moderasi beragama tidak mengajarkan untuk menolak perbedaan  dan tidak menegasikan antara agama dan tradisi yang menjadi kekayaan bangsa.

*Surti bukanlah nama sebenarnya, yang digunakan untuk melindungi identitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun