Pementasan teater konvensional turut mengubah arah ke pertunjukan virtual sebagai dampak dari pandemi. Identitas teater sebagai pertunjukan langsung agaknya goyah, namun keterjangkauan terhadap seni dapat semakin luas.Â
Pandemi telah melanda bumi 2020, paling tidak hampir setahun lamanya. Perubahan yang berarti datang dari berbagai lini, baik ekonomi, sosial, pendidikan, hingga budaya.
Keadaan ini juga turut mengubah pola pekerjaan tatap muka menjadi serba daring, termasuk dalam penyelenggaraan teater. Jika biasanya para penonton memenuhi bangku studio, kali ini tim produksi harus berpikir keras merumuskan pementasan yang tidak menghilangkan unsur teater, tidak juga menyalahi aturan di tengah wabah, dan teater virtual jadi pilihannya. Â Â
Sejak September, Galeri Indonesia Kaya melalui kanal YouTube-nya berupaya menyelenggarakan teater virtual, dengan tajuk Nonton Teater di Rumah Aja. Salah satu pertunjukan yang digelar ialah pentas Srintil: Tembang Duka Seorang Ronggeng, sebuah teater monolog yang diadaptasi oleh ArtSwara Production dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.Â
Pentas musikal ini digelar selama dua hari, dengan konsep live streaming berbasis video yang telah direkam. Tayangan ini ditonton lebih dari 400 orang di kanal penyedia. Kemudian, timbul pertanyaan apakah esensi teater tetap sampai kepada penikmat?
Nano Riantiarno, seorang dramawan pendiri Teater Koma berpendapat dalam Kitab Teater bahwa terdapat tiga kekuatan, yang melatarbelakangi hingga seseorang dapat menyebutnya "sebuah peristiwa teater", yakni pekerja teater (seniman), tempat (ruang terbuka atau tertutup), dan komunitas penikmat (penonton). Kekuatan ini saling bersinergi dalam sebuah peristiwa teater.Â
Umumnya, makna pementasan selain dinikmati dari laga para pemain di atas panggung, dekorasi dan suasana aktual pementasan juga berpengaruh. Penonton akan dapat melihat detail, hingga memainkan pengetahuan semiotik, untuk membaca tanda-tanda dari berbagai sisi panggung, yang mendukung dalam memahami pesan pementasan.Â
Selanjutnya, pada teater konvensional, tempat pementasan juga tak jarang seperti ruang jelajah imaji bagi penonton, terasa sebuah sekat suasana antara ruang pementasan dan saat berada di luar. Itulah mengapa di bangku penonton, banyak bahagia berubah tangis di pementasan tragedi, pun ada luka berubah tawa di teater komedi. Â Â Â
Kehadiran teater sebagai sebuah karya seni juga masih belum dapat dinikmati secara menyeluruh atau inklusif. Penyelenggaraan teater yang memakan biaya banyak, tidak dapat dipungkiri diproduksi oleh mereka yang berkemungkinan menjadikan seni teater sebagai sebuah profesi.Â
Kebutuhan penjualan tiket, hingga harapan agar banyak penonton yang hadir, selain sebagai kekuatan pentas, juga menjadi acuan pemenuhan hidup yang layak bagi para pekerja seni. Dulu, hanya mereka yang mampu membeli tiket, yang dapat menikmat (dan tahu) tentang sebuah jalannya pertunjukan.