Perilaku ini membawa seseorang untuk mengakar dari pertanyaan dan sikap skeptis, untuk menguji valid atau tidaknya suatu informasi. "Berpikir kritis dan empati memungkinkan kita untuk melihat dunia bukan dengan kacamata ketakutan, tapi dengan kacamata keingintahuan." Tutur Emilia Tiurma, Senior Officer Indika Foundation saat menjadi narasumber kelas berpikir kritis. Â Â Â
Kemampuan berpikir kritis mendorong pengguna media sosial untuk memilih dan memilah informasi. Jika sudah tahu informasi tersebut hoaks, pilihannya hanya dua, mengabaikannya, atau dengan mengajukan laporan ketidaktertarikan pada konten tersebut.Â
Pada Instagram misalnya, ketika berselancar di linimasa, pengguna hanya perlu memilih postingan yang hendak disingkirkan filter bubble-nya, setelah itu pilih "titik tiga" di ujung kanan unggahan, kemudian pilih "tidak tertarik". Pengguna perlu melakukan hal ini pada beberapa konten serupa agar pemecahan gelembungnya lebih efisien.
Setelah gelembung disingkirkan perlahan, cara selanjutnya adalah tetap teguh bersikap toleran.
Ayu Kartika Dewi, salah satu co-founder SabangMerauke percaya bahwa toleransi di bagi ke dalam 4 jenis. Toleransi pasif (selama seseorang tidak ganggu, tidak masalah), toleransi yang senang dengan perbedaan, toleransi yang senang merayakan perbedaan, dan toleransi yang melindungi perbedaan.Â
"kita tuh jangan hanya bertoleransi pasif, namun juga harus naik tingkat ke toleransi yang melindungi perbedaan." Ungkap Ayu yang juga merupakan Staf Khusus Presiden. Dengan sikap ini, setiap orang akan dengan lapang menerima perbedaan, tanpa menyudutkan satu sama lain, yang kemudian menjadi upaya penciptaan lingkungan media sosial yang lebih harmonis, empati, dan kritis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H