Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Filter Bubble: Penjara Zona Nyaman yang Menyerang Mahasiswa Kekinian

4 November 2020   15:06 Diperbarui: 5 November 2020   02:31 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku ini membawa seseorang untuk mengakar dari pertanyaan dan sikap skeptis, untuk menguji valid atau tidaknya suatu informasi. "Berpikir kritis dan empati memungkinkan kita untuk melihat dunia bukan dengan kacamata ketakutan, tapi dengan kacamata keingintahuan." Tutur Emilia Tiurma, Senior Officer Indika Foundation saat menjadi narasumber kelas berpikir kritis.      

Kemampuan berpikir kritis mendorong pengguna media sosial untuk memilih dan memilah informasi. Jika sudah tahu informasi tersebut hoaks, pilihannya hanya dua, mengabaikannya, atau dengan mengajukan laporan ketidaktertarikan pada konten tersebut. 

Pada Instagram misalnya, ketika berselancar di linimasa, pengguna hanya perlu memilih postingan yang hendak disingkirkan filter bubble-nya, setelah itu pilih "titik tiga" di ujung kanan unggahan, kemudian pilih "tidak tertarik". Pengguna perlu melakukan hal ini pada beberapa konten serupa agar pemecahan gelembungnya lebih efisien.

Setelah gelembung disingkirkan perlahan, cara selanjutnya adalah tetap teguh bersikap toleran.

Ayu Kartika Dewi, salah satu co-founder SabangMerauke percaya bahwa toleransi di bagi ke dalam 4 jenis. Toleransi pasif (selama seseorang tidak ganggu, tidak masalah), toleransi yang senang dengan perbedaan, toleransi yang senang merayakan perbedaan, dan toleransi yang melindungi perbedaan. 

"kita tuh jangan hanya bertoleransi pasif, namun juga harus naik tingkat ke toleransi yang melindungi perbedaan." Ungkap Ayu yang juga merupakan Staf Khusus Presiden. Dengan sikap ini, setiap orang akan dengan lapang menerima perbedaan, tanpa menyudutkan satu sama lain, yang kemudian menjadi upaya penciptaan lingkungan media sosial yang lebih harmonis, empati, dan kritis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun