Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jalan Panjang Menanggapi Perubahan

3 November 2020   00:35 Diperbarui: 3 November 2020   05:47 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: Gambar oleh Herbert Aust dari Pixabay

Istilah perubahan kini telah serupa makanan yang dicicipi oleh seluruh rakyat di dunia, dilombakan, dan yang bertahan ialah yang siap dan tanggap.

Waktu masih menjadi admin media sosial komunitas konseling, beberapa kali saya mendapat aduan tentang lingkungan kerja yang tidak suportif, dan juga pimpinan yang memperlakukan semena-mena. Ada yang proyeknya disabotase, mendapat perlakuan abusif dari bos, hingga berujung pemecatan dan sakit mental. 

Narasi yang terdengar tidak mengenakkan ini, ialah kenyataan yang terjadi. Tindakan demikian sering kali diasosiasikan sebagai tantangan yang perlu dihadapi tiap orang di dunia kerja/organisasi, didukung dengan pernyataan lain, “gajinya besar juga, kan.” yang begini sebenarnya hanya pepatah usang yang perlu ditinggalkan.

Preferensi tiap orang agaknya kini perlu diberi batasan. Berdalih hak sebagai manusia, perlakuan merugikan bisa saja berwujud otoritas diri. Misalnya, karena menjadi pemimpin perusahaan, ia bebas memecat karyawan, meskipun tak sesuai kesepakatan. 

Sering dijumpai juga, demi gaji, seseorang rela bertahan di lingkungan yang merugikan secara kontinu, padahal kondisi demikian sudah diketahuinya sejak hari pertama kerja. Hal-hal ini termasuk tindakan yang sebenarnya bisa dikontrol. Pemetaan cara untuk mengontrol tindakan ini, bukan upaya menghalangi preferensi, meminimalisasi bentuk kerugian dan menciptakan dunia kerja/organisasi yang sehat adalah tujuan utamanya.

Untuk melakukan kontrol, tiap orang perlu menjadi pemegang kendali/pemimpin, paling tidak untuk dirinya sendiri. Itulah tak heran mengapa narasi leadership/kepemimpinan ramai digaungkan. Ibarat benda primer, kepemimpinan kini bertansformasi menjadi kemampuan yang perlu dimiliki, bukan hanya untuk pimpinan, namun juga tiap individu yang dipimpin. 

Kepemimpinan menurut Swansburg adalah suatu proses yang memengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. Pada dasarnya kata “kepemimpinan” hanyalah sebuah konsep yang perlu didukung oleh kemampuan lain seperti komunikasi asertif, berpikir kritis, serta berorientasi pada perubahan.

Era ini mendorong siapa saja untuk menghasilkan inovasi. Lebih dari itu, kehidupan seakan menjelma sebagai perlombaan, yang tiap individunya berusaha jadi yang terbaik.

Selain penemuan baru, faktor lain yang tak kalah berpengaruh menyebabkan perubahan ialah konflik, revolusi, dan pengaruh budaya luar. Menanggapi perubahan adalah jalan panjang menuju keputusan, dan justifikasi tak berdasar bukanlah jalan awal yang harus ditempuh oleh seseorang.

Komunikasi Asertif Jadi Kunci
Sebelum mengupas lebih jauh terkait istilah ini, kita coba mengacu terlebih dahulu pada KBBI, kata “asertif” yang merupakan kata sifat diartikan sebagai tegas. Agar pemaknaan kata “tegas” tidak hanya diidentikkan dengan volume suara saat berbicara, mari lihat pendapat ahli mengenai istilah asertif ini. 

Burley mengatakan bahwa asertif merupakan tingkah laku yang menunjukkan penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain, termasuk di dalamnya bersikap terbuka dan jujur kepada keduanya. Tegas di sini berasosiasi pada kontrol diri dan memahami orang lain, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk komunikasi.

Komunikasi asertif secara sederhana akan membentuk tiap individu jadi siaga, terhadap perubahan yang tak dapat diperkirakan kapan akan tiba. Sebagai contoh, dalam fenomena ruang kerja, beberapa orang merasa “siap” saat diberi tugas baru, padahal ia menyadari belum memiliki kemampuan yang diperlukan untuk menyelesaikannya. 

Kesiapan yang “disiap-siapkan” ini adalah ketidakasertifan seseorang dalam menanggapi suatu perintah, yang bisa berujung masalah baru. Sebagai seorang komunikator yang asertif, kita dapat meminta waktu yang objektif untuk menguasai terlebih dahulu kemampuan yang diperlukan, atau pun menolak tugas yang diberikan dan mendelegasikannya kepada yang lain.

Masalah lain misalnya saat karyawan mendapat perlakuan negatif dari bos atau pun kolega kerja. Dalam posisi bawahan atau pun atasan, sosok yang asertif akan mengungkapkan perasaan negatif yang didapatkannya, sekali pun bawahan ke atasan atau sebaliknya. Sebab tiap individu punya tanggung jawab untuk tidak berlaku buruk pada orang lain. 

Mengungkapkan perasaan seperti ini sering dianggap terbentur dengan tindakan hormat kepada atasan. Namun keduanya adalah miskonsepsi, sebab kehormatan yang dibentuk karena ketakutan akan jadi sia-sia, pada dasarnya hormat yang nyata berangkat dari rasa segan dan nyaman.  

Realitas yang dicontohkan sebelumnya merupakan aspek komunikasi asertif, yang umumnya terdiri atas beberapa hal, yakni (1) mengungkapkan perasaan positif seperti memuji/menerima pujian, meminta tolong, dan menyatakan kesenangan, (2) mengafirmasi diri seperti menolak permintaan, mempertahankan hak, dan mengungkapkan pendapat, serta (3) menyatakan perasaan negatif seperti perasaan kecewa dan marah. Aspek ini berlaku bagi siapa saja dalam posisi apapun, dan kemampuan ini akan membawa individu untuk terbuka pada setiap perubahan.

Berpikir Kritis saat Menemukan yang Baru
Frasa ini barang kali sering disamakan dengan tukang kritik, namun keduanya berbeda. Berpikir kritis adalah keterampilan yang melibatkan proses kognitif untuk menerima, memproses, serta menganalisis data dan informasi, guna pengambilan keputusan. 

Dinamisnya dunia telah memberikan akses yang cepat bagi siapa pun untuk menerima informasi baru. Selain menjadi kemudahan, fenomena ini pun turut memberikan tantangan baru, karena tidak semua informasi yang diterima bersifat valid, termasuk dengan kemunculan informasi/berita hoaks yang seolah diproduksi dan dijaja dengan sengaja ke berbagai lini kehidupan.

Kemampuan berpikir kritis diperlukan untuk identifikasi informasi, mengambil keputusan, hingga pemecahan masalah. Ibnu Mundzir dalam sesi berpikir kritis The Leader Cafe mengatakan bahwa nilai dasar dari kemampuan ini adalah tidak segera menerima atau menolak pernyataan/pemikiran sebelum mempertanyakan. 

Dengan bertanya dan meriset, seseorang akan memeroleh kejelasan dan kerunutan suatu informasi, yang kemudian dapat digunakannya sebagai dasar membuat keputusan/keberpihakan. Namun, hal ini yang sering luput, karena adanya kecenderungan berpikir secara cepat, terburu-buru memberikan justifikasi, dan tidak mempertanyakan kembali.

Dalam kepemimpinan, berpikir kritis menjadi penting karena menghadapi perubahan tidak lepas dari sikap pengambilan keputusan. Selain itu, kemampuan ini juga mencerminkan kesiapan seseorang dalam menghadapi sesuatu. Jika informasi yang dikelola salah, akan berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak tepat, yang menjadikan perubahan tidak menghasilkan inovasi, melainkan masalah baru.

Rute menghadapi perubahan adalah jalan sepanjang hayat. Dalam konteks apa saja, entah bekerja, menjalankan komunitas, atau kehidupan sehari-hari tiada lepas dari kecenderungan meningkatkan kualitas atau kemunculan suatu masalah, yang berujung munculnya perubahan. Masalah yang muncul juga beragam dan memberikan dorongan besar kepada tiap individu untuk memilih. 

Dalam kehidupan politik misalnya, dari kubu mana saja pasti tak lekang dengan istilah polarisasi, lalu dalam istilah komedi pun kini bertransformasi menjadi urusan hidup yang serius, yang dapat berujung perpecahan. Pelajaran dari perjalanan ini berujung pada kontrol diri dan sikap kepemimpinan, karena tanpanya seseorang dipastikan terlena untuk memutuskan. Everyone can be a leader, paling tidak untuk dirinya sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun