Surabaya punya banyak sebutan, mulai Kota Pahlawan hingga Kota Metropolis. Namun, pada zaman kolonial, Surabaya pernah dikenal sebagai Kota Perdagangan melalui jalur air.
Bekerja empat tahun bersama Bu Risma, membuat saya selalu teringat apa yang selalu disampaikannya. Salah satunya Surabaya itu berada di 5 meter di atas permukaan laut alias mdpl.
Jadi jelas saja, kalau Surabaya ini gak jauh beda dengan kota-kota di Belanda. Di sana banyak kota yang tingginya sama ataupun di bawah mdpl.
Meskipun begitu, Belanda memanfaatkan ini sebagai keuntungan yang dimilikinya. Salah satunya membangun kanal-kanal. Otomatis Belanda pun punya banyak insinyur di bidang ini.
Kanal sendiri menurut KBBI berarti saluran. Sedangkan dilansir dari laman Grid, kanal memiliki arti saluran air buatan manusia yang dibuat untuk berbagai keperluan yang membantu kehidupan manusia.
Dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, Belanda dikenal memiliki banyak kanal termasuk juga jembatan. Mulai jembatan biasa, jembatan gantung hingga jembatan Ophaalbrug atau jembatan angkat.
Karena Indonesia pernah dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda, maka dengan sendirinya pengetahuan tentang kanal dan jembatan dibawa pula ke tanah jajahan ini.
Surabaya juga punya kanal-kanal. Di bukunya, Dukut menyampaikan, jika tempo dulu, kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlabuh di Selat Madura saja.
Karena kapal besar tidak bisa masuk ke pelabuhan, lantas untuk bongkar muat barang digunakanlah kapal lebih kecil untuk mengantarkannya ke pelabuhan.
Setelah itu, kapal - kapal kecil itu menyusuri Sungai Kalimas, hingga mencapai pelabuhan utama yang tempo dulu merupakan pelabuhan tua Surabaya. Lokasi itu merupakan jantung kota ini.