Sebenarnya ini adalah berita Kompas sejak 25 Februari berjudul "Pandemi Mengancam Demografi". Namun, saya baru membaca pagi ini ketika membuka sosial media, dan menurut saya sebagai generasi 'Millenial' merasa tersentil.
Dalam data Litbang Kompas, persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1971. Di tahun tersebut, proporsi usia produktif sebanyak 53,39 persen dari total populasi.
Namun data sensus penduduk 2020, proporsi usia produktif mengalami peningkatan menjadi 70,72 persen dari total penduduk Indonesia sebanyak 270,2 juta penduduk.
Tentu bonus demografi ini bisa membantu meningkatkan ekonomi negara, ketika lapangan kerja terbuka luas menyerap tenaga usia produktif tersebut.
Meskipun begitu, pemerintah harus menyiapkan banyak hal secara matang karena harus persiapkan anak muda berkualitas tinggi. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah menyediakan kesehatan dan pendidikan yang mensupport untuk itu.
Menurut Kompas, kondisi pandemi telah mengancam bonus demografi Indonesia lebih cepat dari perkiraan. Terlebih, ancaman ini terjadisaat Indonesia belum menikmati puncak bonus seperti yang diperkirakan semula.
Generasi muda yang menjadi tumpuan untuk memperoleh bonus demografi banyak yang menjadi pengangguran. Tentu hal inilah yang membuat beban negara bertambah.
Kata Kompas, beban negara ini dilihat dari sudut pandang dua hal. Pertama, pemerintah harus memberikan program perlindungan sosial kepada para pemuda 'jobless'. Kedua, tidak tersupportnya penerimaan pemasukan APBD atau APBN lewat pajak.
Anggapan paling mudah adalah pemerintah tidak mendapatkan dukungan pajak jika para usia produktif tersebut tidak bekerja. Sudah tidak ada pemasukan, pemerintah seakan 'nombok' karena harus support berikan perlindungan sosial.
Sebenarnya saya setuju dengan pendapat Kompas yang menyampaikan, jika pemerintah harus meningkatkan kualitas generasi gen Z dan millenial dengan cara menggunakan teknologi.
Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Bagaimana tidak, penggunaan teknologi belum sepenuhnya tersupport di seluruh negeri. Selain itu, tidak semua orang di pemerintahan yang mengerti tentang teknologi, membuat hal ini berjalan lambat.
Belum lagi, pemikiran kaum 'mager' yang berpikir pemanfaatan teknologi secara terbatas. Kebanyakan hanya mengandalkan 'Please do your magic' atau sekadar posting jualan online di sosial media.
Nyatanya, peluang-peluang bisnis baru di masa pandemi harusnya bisa lebih dari itu. Bagaimana tidak, sekarang semua hal dilakukan serba online. Namun jumlah startup di Indonesia belum sepenuhnya menjawab tantangan di era pandemi ini.
Harusnya, pemerintah dan kaum millenial dan generasi Z harus bersama bersinergi memanfaatkan teknologi secara nyata. Mulai dari dukungan dan pemanfaatan startup asli anak bangsa hingga mendukung ekonomi digital agar lapangan kerja bisa terbuka luas.
Di satu sisi, pemerintah dari segi pemahaman teknologi masih kurang. Sedangkan dari sisi kaum rebahan, lebih memilih pasrah saat situasi dan kondisi tidak mendukung. Bahkan, di sosial media kini dikenal dengan 'kaum sambat'.
Harapan maju bersama keluar dari pandemi ini tentu menjadi harapan semua pihak. Untuk itu, dukungan dari pemerintah tentu harus bisa dirasakan. Sedangkan kaum 'millenial' dan generasi Z harus bisa keluar dari zona nyaman.
Terlebih, di era pandemi ini, segala hal dari pemanfaatan teknologi dan internet bisa berbau uang. Contohnya saja menjadi youtuber atau artis tiktok, sepele sih tapi ketika follower atau subcriber sudah banyak, pundi uang terus mengalir masuk rekening.
Dukungan kreatif digital seperti inilah yang seharusnya terus disupport. Generasi kekinian yang terlalu dekat dengan gadget tentu harus dimanfaatkan.
Fiki Naki misalkan, masih usia muda 20 tahun bisa mendapatkan jumlah follower sebegitu banyaknya dengan konten menarik dan bermanfaat. Bahkan segala terkait dia, bisa ramai di sosial media dan menjadi berita di banyak portal berita.
Ini merupakan salah contoh sederhana pemanfaatan kreatif digital yang sebenarnya menjadi peluang pendapatan baru. Pemerintah, dalam hal ini, bisa men-support dan menyiapkan regulasi agar bisa menerima pajak dari dunia kreatif digital.
Tentunya, harus ada win-win solution jika memang hal ini akan dilakukan. Dengan semakin besarnya dukungan dari pemerintah (pemanfaatan dan permudah teknologi internet), tentu pemerintah bisa menerima pajak dari dunia kreatif digital.
Jangan sampai, pemerintah sudah tidak mensupport tapi memberikan regulasi penerimaan pajak tinggi terhadap dunia kreatif digital.
Padahal, demografi digital Indonesia 2020 juga harus dimanfaatkan secara baik dan tepat. Apakah kita hanya sekadar pengguna internet terbanyak tetapi tidak berimplikasi apapun?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI