Mohon tunggu...
Tito Dipokusumo
Tito Dipokusumo Mohon Tunggu... -

Love traveling, beach lover, learning to living the liverpool way, like to eat steak and ice cream. Manager in HR Development

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memodernkan Sosialisme

19 Desember 2013   16:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:44 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taufan, pendiri Koperasi Amartha Indonesia

(tulisan ini terinspirasi dengan perjuangan Masril Koto dan Andi Taufan Putra) Meninggalkan Sosialisme Orthodox Ketika masih duduk di bangku kuliah sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, topik  sosialisme selalu menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Ketertarikan saya kepada sosialisme dikarenakan tujuannya yang mulia yang ingin membuat dunia menjadi lebih baik bagi mereka yang miskin. Apalagi ketika itu, kaum sosialis sedang merayakan kembali eksistensi mereka di dunia dengan kemenangan Hugo Chavez dan Eva Moralez di Amerika Latin. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, ternyata kehadiran Chavez dan Moralez tidak memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan sosialisme. Dunia masih menjadi tidak lebih baik bagi si miskin. Hal ini dikarenakan Chavez dan Moralez termasuk ke dalam kategori kelompok ortodoks, dalam artian mereka sangat kaku memegang "ajaran lama" seperti marxisme. Program ekonomi mereka tidak memiliki terobosan yang berarti, bahkan sebagian besar program seperti mengulang kembali apa yang pernah dilakukan oleh negara sosialis berpuluh tahun yang lalu. Seperti kata Einstein, hanya orang bodoh yang melakukan hal yang sama berulang kali namun mengharapkan hasil yang berbeda. Dan kini, saya menyadari, mungkin inilah penyakit umum kaum sosialis. Mereka terlalu kaku memegang ajaran lama seakan hal itu seperti kitab suci, haram jika dirubah. Di zaman modern ini, mereka masih percaya eksistensi sejati dari kehidupan adalah pertentangan antar kelas, modal adalah barang haram yang digunakan si kaya dalam mengeksploitasi si miskin dan mereka masih menyakini bahwa kediktatoran proletariat adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menghapuskan kejahatan kapitalisme di muka bumi ini. Secara perlahan tapi pasti, idealisme dalam ajaran lama semakin terlihat utopis di mata saya dan karena itu sayapun mulai menanggalkan keyakinan terhadap sosialisme. Saya mulai menerima kenyataan pahit bahwa mungkin kapitalisme adalah pendekatan terbaik untuk membuat dunia menjadi lebih baik bagi si miskin. Jika si miskin mau bekerja keras dan mau meningkatkan produktifitasnya maka ia berkesempatan sekali untuk menjadi sejahtera. Akan tetapi, dalam suatu perbincangan dengan Masril Koto di suatu daerah perkebunan di Kalimantan justru kembali membangkitkan keyakinan saya terhadap sosialisme dan hal itu semakin menguat ketika dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk mempelajari sepak terjang bisnis Koperasi Amartha Indonesia. Keberhasilan mereka membuktikan bahwa tujuan sosialisme adalah hal realistis untuk dicapai. Mereka turut membantu membuat dunia menjadi lebih baik bagi si miskin dan pendekatan mereka sangat tidak sosialis dan juga sangat tidak kapitalis. Mereka seakan berhasil memodernkan sosialisme dan memanusiakan kapitalisme. Cerita Keberhasilan Masril Koto dan Koperasi Amartha Indonesia Pak Masril Koto adalah pendiri LKMA Prima Tani yang seringkali dipandang sebagai "Bank Petani". Lembaga ini terbukti jitu dalam meningkatkan akses petani ke permodalan dan telah terbukti jitu dalam mengangkat ratusan petani di Sumatera Barat keluar dari kemiskinan. Pak Masril dilahirkan di keluarga petani, ia tidak lulus SD dan bertahun-tahun hanya menyadarkan mata pencarian sebagai seorang petani. Pengalaman besar dan tumbuh di lingkungan petani telah menyadarkannya bahwa faktor utama mengapa petani selalu terjebak dalam kemiskinan adalah karena mereka tidak memiliki akses kepada kredit perbankan guna mendapatkan modal yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitasnya. Pilihan untuk meminjam modal terbatas hanya kepada rentenir yang justru semakin membuat kehidupan petani sengsara. KUDpun tidak dapat diharapkan karena mental korupsi telah menjadikan KUD seakan seperti "Ketua Untung Duluan". Dengan bermodalkan kerja keras dan keinginan kuat untuk belajar, Pak Masril akhirnya berhasil menyakinkan ratusan petani untuk membeli "saham" LKMA Prima Tani yang baru dibentuknya senilai Rp 100.000 per lembar. Ia menyakinkan mereka bahwa total dana yang terkumpul dari hasil penjualan saham akan digunakan sebagai modal untuk bisnis simpan pinjam yang dapat digunakan kelompok petani sebagai modal untuk berkebun atau bertani. Kepemililkan sahampun dibatasi dengan tujuan agar lembaga tersebut tidak didominasi oleh kelompok tertentu dan dengan demikian distribusi kesejahteraan menjadi merata dan keberhasilan dari lembaga tersebut akan menjadi tanggung jawab dan komitmen bersama. Dalam konteks sosial, produk berupa jenis pinjaman akan disesuaikan dengan kebutuhan sosial setempat agar kehadiran lembaga dapat menjawab permasalahan sosial setempat. Kemudian, generasi anak dari pemegang saham dijadikan pegawai lembaga dengan tujuan mereka akan berhati-hati dalam mengelola keuangan lembaga sebagai bentuk bakti mereka untuk memastikan modal orang tua mereka telah digunakan dengan bijak. Keberhasilan LKMA Prima Tani di dalam mengangkat derajat ekonomi petani telah diakui secara nasional. Lembaga ini telah mendapatkan penghargaan dari dunia perbankan dan pemerintah. Bahkan, mantan Menteri Pertanian Anton Apriyatno pernah menuturkan bahwa program serupa telah dijalankan oleh Departemen Pertanian karena ia "jengah" dipanasi oleh Pak Masril "masak saya yang ngga tamat SD ini bisa membuat bank petani, sementara pemerintah tidak!". Lain lagi dengan cerita Taufan (panggilan Andi Taufan Putra) di dalam mendirikan Koperasi Amartha Indonesia. Taufan lahir dari kelompok menengah-keatas, ia pernah bekerja sebagai manajer di IBM dan ia rela meninggalkan semua kemewahan fasilitas yang diberikan oleh IBM demi mewujudkan kepeduliannya untuk membantu warga miskin di pedesaan untuk mendapatkan modal. Taufan berpendapat bahwa kelompok yang paling miskin di Indonesia adalah mereka yang tinggal di pelosok atau pedesaan. Kemiskinan itu diakibatkan selain karena jarak yang jauh juga karena minimnya akses kepada permodalan. Keprihatinan Taufan tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan Koperasi Amartha Indonesia yang pertama kali didirikan di Kecamatan Ciseeng, Bogor dengan modal dana sebesar Rp 10 juta. Kini melalui lembaga tersebut, Taufan mampu menyalurkan kredit untuk 1050 kepala keluarga yang notabennya adalah warga miskin di pedesaan. Konsep berbisnis Amartha sangat praktis dan sederhana. Amartha memberikan pinjaman modal tanpa jaminan kepada warga miskin di pelosok desa namun warga wajib mengikuti kelompok usaha mikro yang beranggotakan 15 sampai 20 orang. Untuk tahap awal, masing-masing anggota kelompok dapat meminjam dana sebesar Rp 500ribu per tahun dengan sistem pengembalian tanggung renteng bersama kelompok. Nilai pinjaman dapat meningkat seiring kedisiplinan kelompok dalam mengembalikan pinjaman.  Dengan skema ini, Taufan berharap dapat mendidik warga agar saling mengingatkan untuk disiplin dalam mengembalikan kredit karena jika ada kredit macet maka pengembalian pinjaman menjadi tanggung jawab kelompok. Amartha tidak hanya berhenti dalam menyalurkan kredit melainkan juga membekali kelompok dengan pendampingan usaha, membangun mental, karakter dan tanggung jawab. Taufan menyakini, hanya dengan nilai moral seseorang bisa berhasil menjadi wirausaha. Membangkitkan Sosialisme Modern Keberhasilan kedua lembaga ini kemudian menyadarkan saya, bahwa tujuan sosialisme menjadikan dunia lebih baik bagi si miskin bukanlah hal yang tidak mungkin. Sosialisme dan kapitalisme dapat dikawinsilangkan secara sempurna dan dari hasil perkawinan silang inilah telah lahir sosialisme modern. Sosialisme modern tidak lagi membicarakan pertentangan antar kelas, melainkan pemberdayaan antar kelas; modal (capital) bukan lagi menjadi barang haram yang digunakan si kaya dalam mengeksploitasi si miskin, melainkan  justru digunakan untuk meningkatkan ekonomi si miskin; tidak ada yang salah dengan meraih profit, malah semakin berkembang profit si miskin juga semakin sejahtera; aktornya bukan lagi diktator proletariat, melainkan wirausaha kerakyatan seperti Pak Masril Koto dan Andi Taufan Garuda. [caption id="attachment_344" align="alignnone" width="300" caption="Masril Koto, Pendekar Petani dari Agam"] [/caption] [caption id="attachment_345" align="alignnone" width="200" caption="Taufan, pendiri Koperasi Amartha Indonesia"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun