Mohon tunggu...
Titis Setyabudi
Titis Setyabudi Mohon Tunggu... Angon Kahanan -

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Najwa Bicara tentang Presiden

15 November 2014   12:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:46 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_375589" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

“Besuk itu Jokowi jadi Presiden Indonesia lho..!” Najwa memulai percakapan. “Tapi Jokowi itu anak buahnya Megawati” Nadia menimpali. “eh…eh Jokowi itu kan Kristen” Aik menambah. “Bukan….Megawati itu kan istrinya SBY” Hani mencoba ikut dalam percakapan. “Eh.. Presiden Indonesia sebelum SBY itu siapa namanya” Nazzala ikut nimbrung. “oh….Muhammad….Muhammad siapa gitu..” Amel berusaha menjawab. “Muhammad Gus Dur” Apip menjawab cekatan. “Sebelum itu Presidennya Habibi” Najwa memberi kesaksian. “Habibi itu kan sudah mati, ka nada filmnya” Nadia menambahi. “Habibi itu kan Presiden yang kelima” Hani menimpali. “ Dan SBY itu Presiden kesepuluh” Aik meyakinkan. “Mbak…..Jokowi itu siapa sih namanya, Joko Widodo atau Jokowi-JK?” Satria mengakhiri.

Sepenggal pembicaraan anak-anak itu terjadi di suatu sore di bawah pohon Mangga Golek sambil mereka main pasir sebelum Pilpres. Anak-anak itu kelas satu sampai kelas tiga SD. Mereka mencoba membicarakan topik yang mereka sering dengar dari orang-orang dewasa di sekitar mereka. Mereka mencoba mencerna informasi yang mereka tangkap sesuai dengan pemahaman mereka lalu mereka berbagi dengan teman-temannya. Dengan jujur mereka mengutarakan apa yang mereka dapat dari orang-orang dewasa di sekitar mereka.

Memperhatikan percakapan mereka yang lugu dan menggelikan memberikan gambaran kepada kita betapa menyenangkannya menjadi anak-anak. Mereka mau ngomong seperti apapun, sekeliru apapun tidak akan pernah dihakimi benar dan salah oleh siapapun. Materi pembicaraan serumit apapun bagi orang dewasa menjadi begitu cair dan menyenangkan bagi anak-anak. Bagi anak-anak tidak ada yang rumit, semuanya sederhana. Berbuat dan berkata jujur bagi orang dewasa yang begitu sulit dan rumit bagi anak-anak menjadi hal yang sangat sederhana. Kalau disadari, kadang orang dewasa harus belajar dari anak-anak. Maka tidak heran seorang ibu, Mel, menulis kisah 30 Hari Menjadi Murid Anakku. William Wordsworth dalam puisinya My Heart Leaps Up menulis The Child is father of the Man. Sebuah ungkapan yang segaris dengan buku di atas.

Keluguan percakapan diatas juga mencerminkan realitas percakapan orang dewasa di sekitarnya tentang fenomena calon presiden. Realitas ini mungkin juga terjadi di bagian lain dari nusantara ini. Orang mulai menimbang kedua calon presidan Indonesia tersebut untuk kemudian mereka pilih ketika waktu pencoblosan mulai. Ada yang sudah mantap dengan pilihannya, ada yang masih ragu, dan ada yang mulai mempengaruhi orang lain dengan informasi-informasi terkait calon presiden tersebut. Banyak alasan mengapa orang memilih calon presiden tertentu. Apapun alasannya seharusnya rakyat memilih calon presiden karena kualitasnya.

Tapi, kenyataannya tidak selalu seperti yang seharusnya. Orang memilih calon presiden bisa saja karena kesukuan, keyakinan, ataupun pertimbangan primordial yang lain. Alasan ini nampaknya akan masih menjadi alasan utama dalam penentuan pilihan dari warga negara ini. Hal ini terlihat dalam isu-isu yang dihembuskan dari kedua belah pihak calon presiden yang sedang bertarung berebut massa. Isu keyakinan, ras, dan isu yang lain dihembuskan begitu terbuka untuk mempengaruhi pemilih. Begitu terbukanya sampai-sampai anak-anak pun menangkap informasi tersebut.

Seperti percakapan anak-anak di awal tulisan ini. Seorang anak mengatakan bahwa calon presiden tertentu mempunyai keyakinan tertentu. Anak-anak yang berumur tujuh-sembilan tahunan itu menangkap bahwa calon presiden yang dibicarakan mempunyai keyakinan yang berbeda dengan mereka. Anak-anak seumuran mereka sudah mulai bisa mengolah informasi yang diterima lalu merefleksikannya dengan keadaannya atau lingkungannya. Cara berpikir seperti ini memperlihat kan bahwa anak sudah bisa berpikir lebih dari satu dimensi dalam waktu yang bersamaan. Ciri berpikir seperti ini dalam tahapan perkembangan kognitifnya Piaget disebut tahapan operasional konkrit. Tahapan ini mengelompokkan anak-anak usia tujuh sampai sebelas tahun sebagai kelompok yang sudah bisa menerima informasi-informasi konkrit dan mengolahnya serta menghubungkan infomasi-informasi tersebut.

Percakapan anak-anak di atas juga menjadi cermin dari pemilihan presiden kali ini. Bahwa isu-isu paling dasar dalam taraf berpikir manusia ini masih menjadi alasan utama untuk memilih. Dalam konteks yang lebih luas, dalam kehidupan bertetangga, bermsyarakat, dan bernegara, prasangka-prasangka seperti ini masih sering muncul. Kalau ini dibiarkan terus menerus maka bisa mengancan kebhineka-tunggal-ikaan bangsa ini. Kasus-kasus intoleransi yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini juga akibat dari prasangka-prasangka primordial tersebut.

Kalau hal ini diteruskan ke anak-anak kita, maka rangkaian itu tidak akan pernah terputus. Kalau anak-anak sudah diberi informasi tentang perbedaan-perbedaan tanpa memahamkan kepada mereka bahwa hal itu wajar dan harus dihormati akibatnya adalah kita hanya akan mewariskan benih konflik kepada anak-anak kita.

Untuk menghindari hal tersebut pendidikan yang baik adalah solusinya. Berawal dari pendidikan orang tua yang secara dewasa memberikan pemahaman kepada anak-anaknya tentang keragaman. Dilanjutkan dengan pedidikan di sekolah yang membekali mereka dengan rasa saling menyayangi dan menghormati sesama anak-anak bangsa. Lalu masyarakat memberikan ruang dan kondisi yang mendukung anak-anak untuk tumbuh dalam keragaman. Tidak cukup hanya orang tua saja yang mendidik anak-anak, diperlukan orang sekampung untuk nggulo wenthah anak agar memahami lingkungannya kata Hillary Clinton.

Perlu orang tua-orang tua yang berpikiran matang dan dewasa di negeri ini, orang tua yang menyadari keragaman dan bisa hidup rukun dalam keragaman tersebut. mereka adalah orang-orang yang siap menjadi Indonesia, yang dari mereka akan tumbuh generas-generasi pancasila. Bukan orang-orang yang berpikiran sempit, selalu memandang tetangganya dengan penuh prasangka yang kemudian memunculkan konflik-konflik yang tidak perlu. Prasangka yang berlebihan kepada orang lain dan keangkuhan yang besar hanya akan menumbuhkan kesalahpahaman.

Pride and Prejudice karya Jane Austen adalah refleksi yang menarik tentang prasangka dan keangkuhan. Prasangka yang berlebihan membuat Elizabeth harus menampik lamaran Darcy. Prasangka itu muncul karena keangkuhan Darcy yang nampak ketika dia bertemu dengan orang-orang di sekitarnya. Walapun Darcy sebenarnya orang baik tapi karena keangkuhannya orang-orang menganggap sebaliknya. Kemudian cerita itu berlanjut dengan prasangka dan keangkuhan yang saling berkelindan yang menghasilkan konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Walapun akhirnya Elizabeth mau menerima pinangan Darcy setelah mengetahui Darcy orang baik.

Anak bangsa ini sudah terlalu lama berprasangka dan angkuh satu sama lain. Sudah saatnya masing-masing saling membuka diri untuk berangkulan, dewasa dalam berpikir dan bersama-sama memajukan bangsa tercinta. Dalam pemilihan calon presiden saat ini, yang diperlukan adalah kedewasaan berpikir dan kejernihan hati. Jangan lagi prasangka dan keangkuhan muncul memimpin negeri ini. Jangan lagi Najwa, Satria dan anak-anak lainnya dibekali dengan kebencian dan prasangka. Biarkan mereka saling bergandengan tangan dengan saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun