Mohon tunggu...
Titis Setyabudi
Titis Setyabudi Mohon Tunggu... Angon Kahanan -

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Pendidikan: Aku Sayang Anakku

12 Januari 2015   16:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:19 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu ini kurang apa nak! Kamu sudah ibu les-kan, buku-buku sudah ibu belikan. Lihat itu mbak Ani, mbak Ina, mbak Ini. Mereka tidak remidi, kok cuma kamu yang remidi. Lihat ibu, ibu dulu selalu dapat ranking di kelas, contoh ibu, ibu itu nggak pernah remidi”

Kalimat di atas adalah kalimat ungkapan kekesalan seorang ibu dari seorang anak yang masih duduk di Sekolah Dasar karena mendapati anaknya harus melakukan remidi (ujian ulang) untuk mata pelajaran tertentu. Ibu itu melampiaskan kekecewaan kepada anaknya di depan siswa-siwa yang lain, didepan semua orang yang siang itu menjemput putra-putri mereka di sebuah Sekolah Dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta, kota pendidikan. Tanpa mempertimbangkan perasaan si anak, si ibu lebih memilih memuaskan kekecewaannya dengan memuntahkan unek-uneknya saat itu juga, di depan kerumunan orang banyak. Si ibu tidak peduli kalau dia sedang menyayat luka yang perih di hati buah jantungnya, luka yang akan selalu membekas. Si anak tertunduk malu, menetes sebutir air matanya. Air mata yang mungkin akan mengawali berjaraknya ibu dengan si anak, air mata yang akan diingat oleh si anak sebagai tonggak pemberontakannya.

Kejadian di atas adalah sepenggal refleksi dari pendidikan kita, baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan yang menghasilkan orang tua-orang tua seperti ibu di atas, yang juga mugkin akan menyebabkan si anak menjadi orang tua yang sama seperti ibunya kelak ketika dia dewasa.

Bagi siswa-siswa sekolah, masa menjelang ujian dan saat ujian adalah tekanan yang harus mereka hadapi. Tekanan itu berubah menjadi horror yang menakutkan saat setelah ujian seperti yang dihadapi anak di atas. Ibu yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi anak untuk berkeluh kesah, mencurahkan persoalan dan kesulitan, ternyata menjadi sesosok monster yang membuat langit anak semakin gelap. Maka jangan salahkan si anak ketika rumah dan orang tua tidak bisa menjadi teman dan sahabat, anak akan memilih keluar dari rumah lari dari orang tua untuk menemukan tempat yang nyaman untuk berbagi. Syukur kalau anak-anak bisa bertransformasi dalam pelarian yang positif, kalau sebaliknya, sekali lagi ada andil orang tua di sana.

Sekolah sebenarnya untuk kepentingan anak atau orang tua? Coba jawab dengan jujur. Orang tua lebih memilih mencekoki anak-anak dengan kegiatan-kegiatan yang menurut orang tua bermanfaat kelak bagi masa depan si anak. Orang tua lebih menyukai anak-anak sebagai tabula rasa, obyek yang kosong tidak dibekali apa-apa oleh Tuhan. Sehingga orang tua cenderung menuangkan apa saja ke gelas kosong itu. Hal ini lebih mudah, karena orang tua tidak usah capek-capek berdiskusi, berbicara, menggali potensi-potensi yang dititipkan Tuhan ke anaknya. Sehingga ketika si anak mendapatkan ranking di sekolah atau berprestasi karena diikutkan les ini dan itu lebih memuaskan dahaga orang tua dari pada si anak. Anak hanya menjadi alat untuk kebanggaan orang tua. Maka jangan heran kalau ada kasus yang menghebohkan dunia maya beberapa waktu lalu tentang seorang anak SD yang masuk rumah sakit jiwa karena stress terlalu banyak ikut les yang dipaksakan orang tuanya, yang lebih parah ternyata ibu dari anak tersebut lulusan S2, pasca sarjana.

Orang tua seharusnya menjadi fasilitator bagi anaknya untuk berkembang sesuai potensi yang dimiliki si anak, mencoba memahami karakter anak, kekurangan dan kelebihannya, kemudian menerimanya tanpa membandingkan dengan anak-anak yang lain termasuk dengan orang tua sendiri. Lebih lanjut mengembangkan potensi pada anak dengan tetap mempertimbangkan mereka sebagai anak-anak dengan dunianya. Memahami kebutuhan anak akan bermain, bersosialisasi dengan lingkungannya selain mengenali potensi anak adalah hal yang perlu dimiliki orang tua. Sehingga ketika anak-anak berprestasi, hal itu bukan hanya menjadi kebanggaan orang tua tapi juga berkembangnya potensi anak secara optimal tanpa mengesampingkan kejiawaan si anak.

Orang tua, ketika mereka sempat menjemput anaknya dari sekolah, biasanya akan bertanya “bagaimana pelajaranmu?” Pernahkah orang tua pikirkan bahwa pertanyaan sepele itu membebani pikiran mereka yang sudah capek. Sangat jarang orang tua yang menjemput anaknya dari sekolah menyapa “nak kita jalan-jalan yuk, atau kita makan di situ yuk” tanpa bertanya tentang pelajaran atau yang terkait dengan sekolah.

Bapak Ibu, seberapa sering anak-anak kita berkeluh kesah kepada kita, menyampaikan persoalannya kepada kita? Seberapa sering kita memeluk mereka, mereka memeluk kita? Seberapa sering kita mengucapkan rasa sayang kita kepada anak-anak kita? Seberapa sering kita mengucapkan terima kasih kepada mereka? Seberapa sering kita meminta maaf kepada mereka? Mungkin pertanyaan di atas menjadi indikator dari kedekatan kita dengan anak-anak kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun