Mohon tunggu...
Titip Elyas
Titip Elyas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar, pendakwah, wartawan, penulis, wirausahawan muda, dan bisnisman

Menulis, membaca, traveling, dan bisnis/menarik dan energik/positif, indah, politik, sosial budaya, humaniora, kesehatan, bisnis, pengusaha, dan jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Realita Antrean di SPBU Pertamina: Sebuah Potret Kehidupan

12 Juni 2024   11:02 Diperbarui: 12 Juni 2024   11:03 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Di pagi yang cerah, Rabu, 12 Juni 2024, suasana di SPBU Pertamina Simpang Jagung, Pariaman, Sumatera Barat, tampak begitu ramai. Jarum jam menunjukkan pukul 10.38 WIB, dan seperti biasa, antrean kendaraan untuk mengisi bahan bakar Pertalite mengular panjang. Di antara kendaraan-kendaraan yang mengantri, terlihat berbagai macam jenis, mulai dari sepeda motor hingga mobil mewah.

Fery, seorang pria paruh baya, ikut dalam antrean dengan motor Supra X 125 PGM-FI miliknya. Wajahnya tampak penuh kesabaran, meski ada sedikit rasa cemas karena antrean yang panjang. Sehari-hari, antrean ini memang tak pernah sepi, dan Fery sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Namun, yang membuatnya heran adalah kehadiran mobil-mobil mewah di barisan antrean Pertalite ini.

"Pemerintah kan sudah menghimbau agar mobil-mobil mewah itu mengisi Pertamax," pikir Fery sambil melihat sebuah mobil sport merah menyala di depan. Himbauan yang sering terdengar di media massa dan di lapangan seolah tidak digubris. Pemilik mobil mewah tetap memilih mengisi Pertalite yang lebih murah, mengabaikan anjuran pemerintah. Fenomena ini memunculkan polemik tersendiri di kalangan masyarakat yang sehari-hari harus berjibaku dengan antrean panjang ini.

Di barisan antrean, Fery melihat berbagai wajah dengan ekspresi yang beragam. Ada ibu-ibu dengan anak-anaknya, pekerja dengan seragam mereka, dan bapak tua dengan motor bebek yang sudah usang. Mereka adalah bagian dari kalangan ekonomi bawah yang sangat bergantung pada Pertalite sebagai bahan bakar utama karena harganya yang lebih terjangkau.

Fery menghela napas panjang, mencoba mencari posisi lebih nyaman di atas motornya. Waktu adalah uang, terutama bagi mereka yang harus bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Antrian panjang ini bukan hanya sekadar menunggu, tetapi juga waktu yang terbuang sia-sia. Fery dan banyak orang lainnya hanya bisa bersabar, berharap antrian segera bergerak maju.

Di tengah antrian, beberapa orang mencoba mencairkan suasana dengan bercanda dan berbincang ringan. Namun, ketegangan tetap terasa, terutama karena kehadiran mobil-mobil mewah yang seharusnya tidak ada di sini. "Seandainya mereka ikut aturan, mungkin antrian tidak sepanjang ini," pikir Fery sambil terus memandang ke depan.

Polemik ini seolah tidak ada ujungnya. Selama anjuran pemerintah tidak ditegakkan dengan tegas, kendaraan mewah akan terus mengisi Pertalite, dan antrean panjang akan terus menjadi bagian dari rutinitas di SPBU Pertamina Simpang Jagung. Bagi Fery, hari ini adalah hari yang biasa, penuh dengan penantian yang panjang dan harapan akan perubahan yang mungkin tidak akan datang dalam waktu dekat.

Dengan sabar, Fery menunggu giliran sambil terus berharap bahwa suatu hari nanti, anjuran pemerintah akan benar-benar dijalankan, dan antrian panjang ini bisa sedikit berkurang. Hingga saat itu tiba, Fery dan banyak orang lainnya hanya bisa menjalani hari-hari mereka dengan segala kesabaran dan keikhlasan, menghadapi kenyataan bahwa antrian panjang di SPBU ini adalah bagian dari kehidupan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun