Bumi bergerak, ada lumpur yang keluar dari dalam tanah, ia menyeret bangunan yang tersisa. Orang-orang yang selamat dan baru saja mengambil napas kembali dihantam penderitaan, mereka yang tak berdaya langsung pasrah dengan alur maut, sementara yang masih mempunyai tenaga berlari sekencang mungkin, melompati apa saja, berpegangan apa saja, menginjak apa saja termasuk kepala manusia, yang penting dirinya selamat, tak termakan lumpur, tidak terkubur sia-sia, tidak menyisakan kenangan tragis sebelum ajal menjemput.
 Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat lumpur-lumpur itu menelan apa saya yang ada di permukaan, kemudian bumi bergeser. Gedung-gedung yang semula dihanyutkan gelombang ombak, kini terseret oleh lumpur-lumpur. Tower listrik bahkan seperti baru saja memiliki kaki untuk berpindah tempat.
Aku pasrah, gedungku ikut bergerak, menabrak apa saja, menelindas apa saja, termasuk jika ada bayi tak berdosa. Tubuhku terpental membentur tembok yang runtuh, menampar serpihan kaca, menghantam batu, menabrak badan mobil, kemudian berakhir tragis tenggelam di dalam lumpur, aku mungkin tak akan tertolong. Lumpur itu seperti memiliki nyawa dan hasrat lapar yang dasyat. Dadaku sesak, aku tak bisa bernapas. Sesegera mungkin aku akan menyusul kedua orangtuaku.
***
       "Siapa namamu?" tanya seorang suster.
       "Lintang." Jawabku dengan suara lirih dan seperti seorang yang merintih.
'Kenapa aku hidup?' aku terkapar di sebuah rumah sakit penampungan korban gempa bumi.
Seorang petugas memberitahuku, bahwa aku selamat dari timbunan lumpur karena tersangkut pada tiang bangunan yang roboh. Namun, entah mengapa aku tidak merasa senang, aku justru pedih mengapa tidak dicabut nyawanya saja oleh Tuhan. Aku muak dengan timsar yang berhasil menemukan tubuhku. Seharusnya mereka tidak perlu tahu diriku, atau jika tahu tak perlu menolongku, aku terlalu putus asa dengan kehidupanku.
       Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya luluh lantah, seirama dengan tubuhku yang lemah. Aku tak tahu harus berbuat apalagi. Diskotik tempatku bernaung diri waktu-waktu lampau lebur tanp sisa, jika pun ada itu hanya kenangan yang terbesit di kepala orang-orang yang masih hidup.
Aku tak lagi memiliki kawan. Ayah ibu beserta saudara-saudaraku yang lain telah meninggalkanku lebih awal. Seharusnya aku yang mati, sebab aku yang ditimbun banyak dosa. Mengapa Ibu dan Ayahku yang lebih dulu pergi? Â Mendadak membenarkan bahwasannya sebuah kehidupan sudah ada yang mengatur! Hanya Tuhan yang berhak menentukan kehidupan dan kematian seluruh makhluk yang ada di alam semesta.
Di atas perkotaan retak ini, aku mengajukan sebuah pertemuan berharga dengan takdir untuk yang pertama kalinya. Aku sedikit segan dengan kesempatan, kalau saja aku boleh menggugat, aku tak ingin hidup hari ini. Bukan perpisahan yang harusnya engkau tangisi, namun pertemuanlah yang seharunya kau sesali, kata-kata mutiara klasik itu kugaris bawahi. Jika saja aku tidak dilahirkan dari rahim Ibu dan Ibu tidak dipertemukan dengan Ayah, pastilah semua ini tak akan terjadi, aku akan damai di alam yang entah, sementara kedua orangtuaku tidak akan berakhir tragis di depan mataku.