Yang ia inginkan bukan berlian, benda yang menggiurkan dirimu, ia tak bernafsu mengejar popularitas kehidupan di dunia nyata, ia juga acuh dengan kenikmatan harta, yang ia harapkan adalah mampu melangkah seperti dirimu. Bebas berlari, tanpa harus mengemis bantuan kepada lutut untuk membawamu terbang di atas hamparan oase.
Dua belas tahun ia melangkah dengan menyeret kakinya. Menelan iri melihat anak lain riang berlarian di halaman rumah. Ia juga cemburu pada vokal anak-anak yang mengalir dengan lancar. Suaranya dimangsa roh jahat dalam kegelapan. Kesetiannya dirangkum oleh sembilu di bingkai jendela, usai rembulan menyapa, mengharapkan gerimis atau hujan malam tidak berlinang. Ia belum memahami makna persahabatan yang utuh, tak seorang anak pun menggenggam jemarinya mengajak bermain melempar tawa di dunia. Kutafsir,, ia juga b utadengan kecantikan kupu-kupu yang berterbangan di taman-taman. Sejarah hidupnya dihabiskan di beranda rumah, atau mengurung diri di dalamnya, seolah bangunan yang gagah itu adalah penjaranya. Tatapannya menyuratkan sebuah perasaan yang terkengkang.
Ia jatuh. Duduk di atas lantai. Memukuli ke dua lututnya. Menjerit. Satu bulir menetes, bermuara di dagunya. Rambut diacak, kembali mengamuk tumpuan langkahnya selama ini yang tidak pernah bersalah. 'Arg...arg...arg!!' Pemandangan pagi yang menyakitkan. Jiwaku teriris. Ada gerimis yang mengendap di sudut pipi. Andaikan. Begitu aku memposisikan diri, jika ke dua langkah dan pita suaraku yang dibutakan dengan fungsinya, apakah aku akan mampu tegar menghadapi kesunyian yang digariskan waktu? Tak ada seorang pun yang menyapa, aku pun tak akan mampu berkelana mengarungi sempitnya bumi Tuhan yang terjal dan penuh dengan liku yang menantang.
"Kau tidak boleh memukuli dua kakimu!" Aku menarik tangannya lembut.Yan terjadi ia justru menangkis lenganku. Mendorong tubuhku hingga aku terjungkal. Pantat mencium bumi. Aku mendapat perlakuan kasar dari jiwa yang sedang dilumuri keputus asaan.
"ARGG... ARRGGHH!!" Ia menuding wajahku. Tulunjuknya bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku berdiri.
"Jangan pernah marah dengan hidup yang kau miliki, berterimakasihlah pada pemilik dunia, setidaknya kau masih mampu menatap gemerlap bintang di malam hari. Di luar sana beberapa anak ditenggelamkan dengan keterbatasan menikmati cahaya. Kau tahu apa maksudku?"
'Erg..erg..erg...!'
"Mereka buta! Bahkan ada yang tuli!"
"ARGH...ARGH.." Ia menyeret langkahnya menghampiriku. Langsung memukul-mukuli lututku. Aku mundur.
Seorang tetangga menangkap basah adegan tersebut. Taring tumbuh dari giginya. Amarah membuat mata menjadi merah. Berkcak pinggang usai lari tergopoh untuk mendekat. Rambut yang disanggulnya bergoyang-goyang. Ekspresi wajahnya bringas. "Heh! MASUK! JANGAN MAIN DI LUAR! JANGAN PUKULI MBAK RARA! TIDAK SOPAN KAU!" Dua telinga tak berdosa itu ditarik kencang. Dijewer digiring masuk ke dalam.
"Dia tidak bersalah, Bu!" Aku mengejar langkah tetangga yang rumahnya bersebelahan dengannya. Seseorang yang sudah dipasrahi menjaganya. "Dia hanya butuh seorang teman!"