Menyusuri jalan raya dari kampung ke kampung, memasuki gang-gang rumah warga, menjajakan cairan yang dibawa punggung sepeda. Cairan yang terbuat dari kunyit, jahe, daun papaya, temulawak, kencur yang dipadukan dengan beras, dan lain sebagainya. Tariklah sebuah kesimpulan tentang lelaki tua itu, kau tentu sudah paham bahwa ia adalah penjual jamu keliling.
Di zaman modern, ketika teknologi dan media masa melejit secepat kedipan mata, orang-orang telah memperagakan harta-harta berharga di tempat-tempat umum sebagai ajang pameran, ia masih setia di bawah sengatan terik mentari, dirundung pilunya langit kelabu, mendorong sepedanya demi menjajakan ramuan berkhasiat. Melangkah, meratapi jejak di atas aspal, pantang pulang sebelum kantong penuh dengan rupiah, meskipun sekadar keping receh orang-orang lemah.
Lelaki tua itu telah mendapatkan tempat di hati-hati penduduk kampung, nyaris lima kampung mengingat namanya, bahkan jika diberi kesempatan takdir akan membuatkannya tugu monumen untuk mengabadikan jasanya membantu masyarakat pedesaan mengusir lesu juga linu. Meski engkau menatapnya menyedihkan sepanjang hari, namun penduduk kampung tidak memandangnya sebelah sisi, mereka justru menaruh hormat pada raut wajahnya yang mengeriput, ia mendapati gelar baru. Lelaki hebat.
Pemuda itu belajar dari semangatnya. Ia bukannya orang yang malas dengan rutinitas di kampusnya. Ia juga bukan orang yang meninggalkan syukur di dalam kubangan kehidupan hedonis apalagi matrealis, langkah nadinya dibiarkan mengalir apa adanya. Pagi bangun, bermain-main ke markas tongkrong, siang berangkat kuliah, sore kumpul bersama teman, menghabiskan waktu di kafe-kafe perkotaan, mencicip kopi-kopi, memperbincangkan gadis seksi yang diincar banyak mata keranjang. Â Â Secara ajaib, lelaki tua itu merubah jadwal hitamnya.
Apakah ia menjadi lebih baik dari sebelumnya? Tidak, ia justru menjadi lebih buruk, jarang masuk ke kampus, bimbingan skripsi tidak diindahkan. Suatu hari ia duduk di taman kampus, menyatukan kenangan masa lalu dengan perjuangan yang akan dirintisnya di masa depan. Ia menyandarkan tubuhnya di punggung bangku taman. Dapat kau lihat beberapa mahasiswa lalu-lalang di jalan kecil, juga dengan jelas kau mampu merekam beberapa dari mereka yang tongkrong memutari air mancur. Bunga kertas memayungi wajah-wajah pemeluk harapan masa hadapan. Dari penongkrong, ia menjadi pelamun di taman kampus.
"Orangtuaku tidak semenyedihkan  lelaki tua itu, aku tinggal duduk manis, masa depan sudah jelas, menjadi pewaris kekayaan keluarga, bahkan tidak lulus wisuda pun tidak masalah." Gumamnya  sewaktu berangkat kuliah. "Sayangnya, apakah di masa mendatang aku akan memahami makna perjuangan sepertinya? Ibu dan Ayahku bukan tipikal orang yang mau hujan-hujanan dan panas-panasan, mereka menumpangi mobil, pelayan pribadi, yang mereka pikirkan adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,  sementara lelaki tua itu? Kalau satu gelas jamu seharga seribu lima ratus rupiah? Berapa ribu yang ia dapatkan sehari? Apakah ia mampu mencukupi kebutuhan anak dan istri? Ah, sudah kupastikan pendidikan anaknya tentu rendah, itu menyedihkan sekali."
"Kenapa kau masih berdiri di sini, Nak?"
Pemuda itu sengaja tidak melanjutkan perjalanan ke kampus. Ia berhenti di warung kelontong yang tidak berpenghuni, memarkir sepeda motornya, satu jam lamanya menunggu kedatangan lelaki tua, ia mengharap senyum manis keluar menentramkan jiwanya yang sungsang sebab tidak tahan dengan kata menunggu, ia ingin menyulap keringat lelah penjual jamu menjadi hidangan lezat menanti senja rebah di ufuk Timur, sayang, harapannya retak, mendung sepertinya akan dijadikannya kambing hitam untuk mengalahkan kalimat barusan. Alam memang tampak berkabung. Ia tidak sedang menangis, sayangnya mentari sedang berselingkuh dengan kegelapan.
"Sebentar lagi hujan, seperti biasanya, Pak. Aku tidak membawa jas hujan,"
"Belum hujan, Nak. Baru mendung,"
"Nanti di tengah-tengah jalan pasti akan hujan deras, lebih baik aku sedia payung sebelum hujan turun, anggap saja aku sedang berteduh sebelum hujan turun,"