Semilir angin awal musim semi menyeruak masuk sewaktu pintu berbahan kertas ini ku dorong terbuka. Sekejap rasa dingin itu memagut tubuhku yang menggigil. Pemanas di ruangan kamar tidur kami serasa tak cukup menularkan hangat yang kering ke setiap sudut apartemen ini. Ya ampun, ini musim semi kok masih dingin aja ya... Termometer digital di ruangan tidur menunjukkan suhu 18 derajat celcius, cukup hangat tuk bisa menikmati hari tanpa balutan selimut. Padahal cuaca hari ini di daerah Uji, kyoto prefecture, jepang diramalkan mendung dengan suhu tertinggi 10 derajat dan terendah pada kisaran 2 derajat celcius. Lumayanlah ga sampe minus, apalagi kalo ditambah hembusan angin dingin yang ga nguatin.
Fyuhhhh, itu sebabnya aku tidak pernah menikmati musim dingin yang menurut segelintir orang yang ku kenal sungguh romantik. Walah romantik apanya, tangan pun beku, kulit dan bibir pun kering mengelupas. Sungguh sangat tidak bersahabat dengan kulit tropisku. Â Parahnya lagi, selama musim dingin yang normalnya hanya berdurasi 3 bulan saja kami dan keluarga terpaksa harus `bersahabat` dengan penyakit batuk, pilek, dan tenggorokan kering yang dikenal dengan istilah `kaze` bagi masyarakat Jepang. Penyakit ini tidak hanya datang sekali atau dua kali, namun sangat frekuentif dan membentuk `circle cold` di keluarga kecil kami. Itulah sebabnya, pergantian musim sangat ku nantikan.
Tanggal 21 Maret merupakan hari libur nasional di Jepang yang bermakna titik pergantian musim dingin ke musim semi yang diawali dengan hangatnya suhu selama beberapa hari lalu kemudian turun drastis menjadi dingin. Nah setelah perubahan suhu yang drastis inilah musim semi dimulai yang ditandai dengan menghangatnya suhu dari hari ke hari. Teorinya sih begitu, tetapi cuaca sekarang terlalu arogan untuk bisa diprediksi. Dia mulai bertindak semaunya menyisakan kernyitan pasrah manusia. Buktinya tahun ini, periode musim dingin terasa lebih panjang. Suhu yang menghangat tak kunjung tiba, walaupun sang surya tidak enggan tuk memamerkan sinarnya yang aduhai. Dingin yang ku rasakan hari ini tak mampu memerintahkan otakku tuk mengubah mindset ke musim semi. Sabar....hanya itu yang bisa ku lakukan..
Rajin melihat ramalan cuaca merupakan satu kebiasaan baru yang sebelumnya enggan ku lakukan di Indonesia. Ku pikir, ramalan cuaca di Indonesia hanyalah omong kosong belaka yang tidak patut dijadikan tolok ukur. Lain halnya di Jepang, 80% ramalan cuaca yang dilaporkan terbukti benar. Masyarakat Jepang pun menjadikan ramalan cuaca sebagai referensi aktivitas mereka. Sebagai contoh, andaikan hari ini diprediksi hujan maka hadirlah pemandangan orang-orang membawa payung-payung panjang, baik tua-muda, modis-katro, ataupun laki-perempuan. Beda halnya di Indonesia, membawa payung panjang masih dianggap hal yang cukup memalukan dan terkesan konservatif. Mungkin karena imbas dari ramalan cuaca yang tidak amanah hehe... Biasanya, aku selalu membawa payung pendek alias payung lipat setiap hari sebagai antisipasi, senada dengan pepatah `sedia payung sebelum hujan`. Kebiasaan ini pun terbawa hingga ke Jepang dan mungkin dianggap tidak lazim. Pernah suatu hari, kebiasaan ini ku ceritakan pada salah satu teman Jepangku, dan langsung direspon dengan raut muka aneh. Dia tidak bisa terima dengan kebiasaanku yang menurutnya `kurang kerjaan alias ngerepotin`. Ya beda makanan beda kebiasaan dong :)...Contoh lain pentingnya melihat ramalan cuaca adalah tebal tipisnya jaket yang dipakai. Suatu hari di awal musim semi, aku dengan pedenya beredar dengan jaket baruku yang agak tipis. Pikirku, musim semi berarti suhu yang hangat. Paginya sih nyaman-nyaman aja, menjelang sore ku rasakan meriang di seluruh badanku. Hmmm kayaknya masuk angin nih yang mereda sesaat setelah minum minuman hangat. Walah kapok deh...ternyata hari itu cuaca diramalkan dibawah kisaran 10 derajat celcius untuk suhu tertinggi.
Tak bisa dipungkiri, melihat ramalan cuaca wajib dijadikan ritual pagi hari. Kalau ga, aku harus merelakan setiap hari terseok-seok membawa gandulan tas dengan isi bejibun. Mulai dari termos minum, laptop, buku, tempat pensil, dan tentu saja payung yang berkontribusi sekitar 1/2 kg bebanku setiap harinya. Belum lagi, terkadang harus menggendong jagoanku yang biasanya ku titipkan ke apartemen teman Indonesia di dekat kampus. Fyuuuh, makin terseok dan nyaris tersungkur deh. Harusnya, porsi payung bisa digantikan dengan cemilan ataupun bekal makanan yang cukup signifikan menghambat derasnya sirkulasi yen keluar dari dompet kesayanganku. Berhubung cuaca dingin ini pulalah yang menyedot recehan yen ku tuk berpindah tempat dari dompet ke kasir. Anda mungkin tidak asing dengan asumsi bahwa udara dingin memicu tubuh utk mengkonsumsi pangan lebih banyak...hehhe ngeles.com ya...
Hmm kalau sudah begini, kembali rasa kangen Indonesia menyeruak kembali. I love Indonesia terlepas dari segala kerakusan penghuninya. I love Indonesia dengan jati dirinya sebagai negara tropis yang kaya akan sumber daya alam dan sinar matahari yang elok. Hahaha lebay kali ya ngomongin sinar matahari elok, padahal dulunya aku sering mengeluh teriknya cuaca di Cibinong, Jawa Barat. Tapi beneran, dengan fakta empiris selama menginjak tanah kaisar ini, aku sangat menghargai eksistensi matahari walaupun dengan secuil sinarnya. Pada dasarnya sih manusia emang tidak pernah puas dengan perolehan yg dicapai dan selalu iri pada rumput tetangga. Syukur nikmat adalah kuncinya....:) Enjoy your life!..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H