Sayangku, apa kabarmu?
Hujan dari pagi selalu rutin berkunjung di bulan Januari. Kita suka melihat hujan. Seperti kaki-kaki kecil yang menari dan alam tampak sibuk. Kita suka melihat hujan, mungkin juga kita empati pada langit ketika kita berpikir bahwa hujan adalah langit yang menitikkan air mata.
Air mata adalah bahasa universal ketika tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan yang amat sangat, bisa jadi itu duka, bisa jadi itu suka. Hanya saja malam ini, hujan itu adalah kesedihan melihat keriuhan akhir-akhir ini sampai pada sebuah bendera yang dicoret itu. Kamu sudah melihat di berita, bukan?
Sayangku,
Aku ingin bercerita padamu tentang suatu senja di Papua, medio tahun 2005. Di sebuah lapangan, tempat sebuah perhelatan usai berlangsung. Sudah sepi. Lapangan itu nyaris kosong. Aku pun sudah mengemasi kamera dan akan kembali ke penginapan ketika aku melihat seorang lelaki tegap, berkulit gelap, berambut keriting. Dia menghormat bendera seperti upacara, lantas menurunkan pelan-pelan dengan khidmat, melepaskan dari talinya, lantas melipat dengan rapi. Dengan kedua tangan, dia membawa bendera itu keluar lapangan, dengan langkah tegak dan dia sendirian! Ya, sendirian. Dia tidak tahu kalau aku memerhatikan dari jauh. Dia bisa saja memperlakukannya seperti melipat kain atau taplak meja, toh tidak ada yang tahu. Tetapi dia tidak melakukannya. Aku hanya mengambil kesimpulan, dia menghormati benderanya, ada atau tidak ada orang. Ia menghormati, mencintai, dengan hatinya.
Sementara apa yang dilakukan negeri ini terhadap Papua adalah catatan panjang yang sedih. Warga Papua punya hak untuk benci, tapi masih ada dan aku yakin selalu ada, orang yang mencintai negeri ini meski 'hanya' lewat bendera.
Belum lagi ketika pagi, di sebuah SD yang anak-anak bertelanjang kaki di sana. Mereka dikenalkan pada merah putih sebagai sesuatu yang indah, meski Jakarta letaknya sekian ribu kilometer jauhnya. Hanya saja, anak-anak itu menyanyikan Indonesia Raya dengan lantang, meski dengan nada sumbang yang penting kencang, dan begitu bahagia melihat benderanya berkibar di angkasa biru.
Lantas, jika bendera itu dicoret semaunya, apakah kita akan mengajari mereka dengan pedang?
Sayangku,
Ketika aku melihat bendera yang dicoret dengan tulisan Arab (meski aku tak tahu artinya) tetapi kemudian ada lambang dua pedang itu, itu bukan makna benderaku. Aku sedih. Apa yang telah dilakukan negeri ini pada mereka sehingga mereka tega melakukannya. Atau, apa yang sudah diberikan mereka yang mencoret itu, sehingga mereka punya kekuasaan untuk melakukannya?
Mungkin akan ada pembelaan dan meme dengan membandingkan warna merah putih yang diinjak dalam podium. Tak semua warna merah putih memang bendera, bungkus permen pun bisa merah putih. Hanya saja, melihat yang dikibarkan di sebuah demo, meski ukurannya mungkin tak standar, itu bisa dilihat sebagai bendera bukan? Bukan kain merah putih.
Bendera merah putih memang bukan barang suci untuk disembah. Hanya saja, misalnya, itu pakaian kita, apakah kita rela ada yang mencoretnya dengan tujuan entah apa? Itu hanya pakaian, kita akan marah. Bayangkan ketika kain ini adalah simbol, di tempat lain diperjuangkan dengan darah, sementara manusia yang entah memperjuangkan apa itu, mencoretnya?
Jika mereka memang sudah tak ingin hidup dengan cara negeri ini didirikan oleh para pendiri, dengan pengorbanan darah dan air mata, lantas mengagungkan tanah entah mana, kenapa mereka tidak pindah saja ke sana? Pindah pada negeri yang mereka junjung tinggi dengan bendera seperti yang dicoret itu. Rasanya negeri ini juga tidak kehilangan mereka, jika pekerjaan mereka hanya membuat ribut dan menyakiti.
Sayangku,
Setahuku, tak ada agama yang mengajarkan untuk saling menjatuhkan, apalagi membenci. Agama datang untuk mencintai dan mengatur kehidupan agar lebih baik. Jika agama mengajarkan untuk kepentingannya sendiri, sekapling surga untuk dirinya, apakah itu tidak namanya umat yang begitu egois?