Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Penunggang Angin

7 Januari 2017   20:19 Diperbarui: 7 Januari 2017   22:30 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita bukan lagi menggenggam telepon genggam tetapi digenggam telepon genggam. Apakah menjadi sama ketika kita tak lagi menggenggam informasi tetapi digenggam informasi? Mereka mencengkeram kita!

Sayangku,  

Apa kabarmu. Apakah engkau sedang menatap senja yang tak jingga itu? Seperti katamu, senja yang tak jingga adalah senja juga, yang akan matang menjadi malam. Suka atau tak suka. Sialnya kita adalah pecinta warna. Tetapi izinkan aku bertanya, kita pecinta warna atau pecinta cahaya yang terpantul ke mata kita, apapun warna pantulannya?

Ah, pasti kita akan berdebat panjang soal itu. “Pendapat pecinta senja akan berbeda dengan penyembah walang sangit,” katamu. Ya, kita akan berdebat panjang soal itu. Kita bisa duduk 9 jam tanpa beranjak dan dirimu dengan sabar meladeni kekeraskepalaanku. Apakah kamu bosan?

Tidak ada kebenaran mutlak, semua kebenaran adalah separuh kebenaran. Mereka yang coba memperlakukan sebagai kebenaran mutlak itulah sebagai syaitan. Kebenaran selalu memberi ruang perdebatan, begitukah? Ah, kan aku hanya mengutip Alfred Noth Whitehead, filsuf dan ahli matematika dari Inggris itu,  agar setidaknya aku menang sesaat berdebat, eh bediskusi denganmu. Kautahu, aku hanya ingin terlihat pintar di depanmu. Lebih dari itu, aku hanya ingin menikmati waktuku bersamamu.

Sayangku,
Kita tidak lagi berdebat tentang siapa syetan itu, bukan? Kita sedang berbicara tentang kebenaran (tepatnya fakta) dari informasi yang membanjir saat ini. Seperti kalimat awalku, apakah kita pecinta warna atau pecinta cahaya yang dipantulkan warna? Begitu kita menyalakan HP dan engkau selalu mengucapkan “Selamat pagi, My Sunset”, maka informasi itu segera menghantam ruang kita dari berbagai penjuru.

Kita seolah akan menjadi Flintstone ketika sesaat saja tak tahu Om Telolet atau Fitsa Hats. Sampai pada detik ketika engkau mengirimkan sebuah pesan, aku lelah, My Sunset. Kapankah kita bisa merasakan pagi yang tanpa gegas dan senyap? Kita bukan lagi menggenggam telepon genggam tetapi digenggam telepon genggam. Apakah menjadi sama ketika kita tak lagi menggenggam informasi tetapi digenggam informasi? Mereka mencengkeram kita!

Sayangku,
Negeri ini memang sungguh riuh. Sementara kita seperti manusia gua yang tiba-tiba terpapar cahaya ribuan candela. Sama-sama menjadi silau bahkan buta dan kita perlu berjalan meraba-raba dan siap terjerembab ke dalam jurang asing itu.

Entah sejak kapan negeri yang memang mengapung di atas cincin api ini mengubah hati warganya menjadi api. Kita gampang membenci dan memaki sebaliknya juga gampang mencinta sekaligus memuja setengah gila. Sialnya, yang kita puja adalah politikus yang bisa berubah menjadi musang setiap saat. Sadarkah kita?

Kebencian dan cinta yang tak kalah butanya itu, siapakah yang diuntungkan? Siapakah para penunggang angin itu?

Sayangku,
Sudah berabad-abad para pemikir menguak rahasia tubuh kita, bahkan termasuk rahasia rasa dan pemikiran. Sampai kemudian biolog Richard Dawkins mencetuskan ide tentang meme yang kemudian menjadi memetika. Ilmu memetika ini kemudian menjadi sebuah ilmu perpaduan antara biologi dan psikologi hingga menghasilkan psikologi evolusioner, bahkan cabang ilmu lain pun masuk dalam ilmu ini.

Richard, aku terpesona pertama dengan tulisannya River of Out of Eden, dia yang membeda teori Tuan Darwin dengan lebih mudah dimengerti dan indah. Kita tak sedang membela Darwinisme, apalagi membawa perdebatan pada bumi bulat atau trapesium,  tetapi kita sedang menggunakan kerangka teori evolusi untuk membedah bagaimana arus informasi bekerja dan “mengkooptasi” kesadaran kita, lantas penunggang angin itu yang diuntungkan.

Meme ini bukan seperti pengertian meme yang mengalami penyempitan makna sebagai gambar lucu yang gampang beredar. Meme adalah DNA sebuah informasi yang mudah berbiak seperti virus. Setiap virus pasti membutuhkan inang, kesadaran kitalah inang itu.

Sayangku,
Sebagaimana halnya virus akan berkembang dengan mudah ketika menempel di sel yang cocok seperti gembok dan kunci. Ilmu memetika memetakan meme bisa berkembang dalam medium otak kita karena kebutuhan tingkat dasar manusia yaitu bahaya, makanan (source), dan seks. Kebutuhan dasar ini akan meluas menjadi kekuasaan, dominasi, eksistensi, agama, surga, dan banyak hal lagi yang akan mengurai bagaimana meme berkembang biak. Meme yang kemudian fenotipnya sebagai hoax pun kita terima sebagai kebenaran karena menekan tombol dalam tubuh kita: bahaya, makanan, dan seks.

Biadabnya, tombol-tombol itu disadari oleh penyebar hoax dengan berbagai kepentingan mulai dari kekuasaan (dilakukan oleh politikus), pemodal, bahkan industri pers rela meninggalkan marwah jurnalistik untuk menyebarkan hoax demi bertahan hidup dan laba. Pahit? Ya, kamu pasti sangat muak dengan ini semua karena aku tahu, jurnalisme adalah nadimu.

Sayangku,
Kita pernah diskusikan panjang soal ini, bahwa politikus tak tahu malu itu memproduksi hoax seperti penunggang angin. Tak ada yang lebih mudah menyalakan amarah di negeri ini selain agama, tombol itu seperti bara api di tubuh warga yang mengapung di cincing api ini.

Politikus bisa menang dalam pemilihan karena satu-satunya alasan yakni punya daya pikat di mata pemilihnya, punya meme yang “bagus”. Meme yang bagus adalah meme yang gampang menyulut tombol dalam tubuh sebagian besar pemilihnya. Ketika ia tak bisa bertanding dalam program yang menyejahterakan pemilihnya, maka gunakan isu agama, moral, atau banyak hal yang susah untuk dibuktikan secara matematis seperti program kerja, maka pemilih akan terpikat.

Tombol “bahaya” disentuh dengan isu bahwa bahaya jika ada yang melecehkan umat, bahaya mengancam agama dan suku kita ketika politikus lawan melakukan ini, bahaya jika satu kata diucapkan, dan seterusnya. Meme “bahaya” dalam tubuh kita ditekan hingga akhirnya tubuh dan kesadaran kita tanpa sadar merespon untuk menangkal, memusuhi, dan seterusnya.

Maka, dengan mudah isu agama menjadi angin puyuh yang meluluhlantakkan kesadaran, benteng terakhir melawan meme yang menjadi virus ini bisa ditangkal. Maka, penunggang angin itu akan terbawa dan dengan mudah sampai di tujuan sementara otak yang terinfeksi meme ini akan babak belur dan berdarah. Kehilangan cinta, kawan, waktu, bahkan hingga kehilangan kesadaran dan sangat mudah untuk diarahkan bila perlu mencelakai diri sendiri.

Sayangku,
Berkali-kali kita berteriak soal “literasi media dan cerdas memilih media”, tetapi sadarkah bahwa tak semua penyebar meme ini tidak melek literasi? Mereka suka membaca, mereka terdidik, dan tidak buta huruf. Banyak dari mereka yang sadar melakukan karena ada kepentingannya terlindungi dengan menyebarkan meme yang ia tahu itu hoax. Ia diuntungkan.

Sementara kebanyakan pembaca, pemirsa, atau pendengar hanya mau membaca, melihat, dan mendengar yang sesuai dengan isi kepalanya? Lantas dengan mudah akan menyebarkannya dan ada kepuasan di sana. Lantas meme yang menjadi virus itu mudah menyebar apalagi seperti sekarang, beberapa tahun usai Richard Dawsons mencetuskan ide soal meme ini.

Kita bisa saja berharap bahwa virus yang berbiak akan mengikuti kerangka teori Tuan Darwin yaitu survival of the fittest. Tetapi bagaimana jika “si fittest” ini by design bukan seperti alam yang memilih? Alam tak sekejam ketika menjelma dalam semesta pertarungan manusia yang kehilangan satu-satunya pembeda dengan kelas mamalia lainnya: kesadaran.

Sayangku,
Tak semua meme buruk. Kita bisa menyalakan meme “baik” yang mengaktifkan tombol tubuh kita untuk hidup dengan saling mencintai. Meme yang menjadikan hidup kita berkualitas dan menyebarkan kebaikan sebanyak yang kita bisa. Meme yang memberikan semangat, memaknai setiap waktu yang bergerak, memberi kepenuhan rasa seperti ketika aku duduk di sampingmu. Duduk mendengarkan gemericik air di sungai kecil, aku menulis dan engkau membaca.

Atau duduk saja, bahkan ketika kita tidak berbicara apa-apa. Membiarkan angin yang lewat, tanpa ada penunggang angin yang menyeringai itu.

Sayangku,
Aku rindu.

Your Sunset

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun