Sayangku,
Sudah berabad-abad para pemikir menguak rahasia tubuh kita, bahkan termasuk rahasia rasa dan pemikiran. Sampai kemudian biolog Richard Dawkins mencetuskan ide tentang meme yang kemudian menjadi memetika. Ilmu memetika ini kemudian menjadi sebuah ilmu perpaduan antara biologi dan psikologi hingga menghasilkan psikologi evolusioner, bahkan cabang ilmu lain pun masuk dalam ilmu ini.
Richard, aku terpesona pertama dengan tulisannya River of Out of Eden, dia yang membeda teori Tuan Darwin dengan lebih mudah dimengerti dan indah. Kita tak sedang membela Darwinisme, apalagi membawa perdebatan pada bumi bulat atau trapesium, tetapi kita sedang menggunakan kerangka teori evolusi untuk membedah bagaimana arus informasi bekerja dan “mengkooptasi” kesadaran kita, lantas penunggang angin itu yang diuntungkan.
Meme ini bukan seperti pengertian meme yang mengalami penyempitan makna sebagai gambar lucu yang gampang beredar. Meme adalah DNA sebuah informasi yang mudah berbiak seperti virus. Setiap virus pasti membutuhkan inang, kesadaran kitalah inang itu.
Sayangku,
Sebagaimana halnya virus akan berkembang dengan mudah ketika menempel di sel yang cocok seperti gembok dan kunci. Ilmu memetika memetakan meme bisa berkembang dalam medium otak kita karena kebutuhan tingkat dasar manusia yaitu bahaya, makanan (source), dan seks. Kebutuhan dasar ini akan meluas menjadi kekuasaan, dominasi, eksistensi, agama, surga, dan banyak hal lagi yang akan mengurai bagaimana meme berkembang biak. Meme yang kemudian fenotipnya sebagai hoax pun kita terima sebagai kebenaran karena menekan tombol dalam tubuh kita: bahaya, makanan, dan seks.
Biadabnya, tombol-tombol itu disadari oleh penyebar hoax dengan berbagai kepentingan mulai dari kekuasaan (dilakukan oleh politikus), pemodal, bahkan industri pers rela meninggalkan marwah jurnalistik untuk menyebarkan hoax demi bertahan hidup dan laba. Pahit? Ya, kamu pasti sangat muak dengan ini semua karena aku tahu, jurnalisme adalah nadimu.
Sayangku,
Kita pernah diskusikan panjang soal ini, bahwa politikus tak tahu malu itu memproduksi hoax seperti penunggang angin. Tak ada yang lebih mudah menyalakan amarah di negeri ini selain agama, tombol itu seperti bara api di tubuh warga yang mengapung di cincing api ini.
Politikus bisa menang dalam pemilihan karena satu-satunya alasan yakni punya daya pikat di mata pemilihnya, punya meme yang “bagus”. Meme yang bagus adalah meme yang gampang menyulut tombol dalam tubuh sebagian besar pemilihnya. Ketika ia tak bisa bertanding dalam program yang menyejahterakan pemilihnya, maka gunakan isu agama, moral, atau banyak hal yang susah untuk dibuktikan secara matematis seperti program kerja, maka pemilih akan terpikat.
Tombol “bahaya” disentuh dengan isu bahwa bahaya jika ada yang melecehkan umat, bahaya mengancam agama dan suku kita ketika politikus lawan melakukan ini, bahaya jika satu kata diucapkan, dan seterusnya. Meme “bahaya” dalam tubuh kita ditekan hingga akhirnya tubuh dan kesadaran kita tanpa sadar merespon untuk menangkal, memusuhi, dan seterusnya.
Maka, dengan mudah isu agama menjadi angin puyuh yang meluluhlantakkan kesadaran, benteng terakhir melawan meme yang menjadi virus ini bisa ditangkal. Maka, penunggang angin itu akan terbawa dan dengan mudah sampai di tujuan sementara otak yang terinfeksi meme ini akan babak belur dan berdarah. Kehilangan cinta, kawan, waktu, bahkan hingga kehilangan kesadaran dan sangat mudah untuk diarahkan bila perlu mencelakai diri sendiri.
Sayangku,
Berkali-kali kita berteriak soal “literasi media dan cerdas memilih media”, tetapi sadarkah bahwa tak semua penyebar meme ini tidak melek literasi? Mereka suka membaca, mereka terdidik, dan tidak buta huruf. Banyak dari mereka yang sadar melakukan karena ada kepentingannya terlindungi dengan menyebarkan meme yang ia tahu itu hoax. Ia diuntungkan.
Sementara kebanyakan pembaca, pemirsa, atau pendengar hanya mau membaca, melihat, dan mendengar yang sesuai dengan isi kepalanya? Lantas dengan mudah akan menyebarkannya dan ada kepuasan di sana. Lantas meme yang menjadi virus itu mudah menyebar apalagi seperti sekarang, beberapa tahun usai Richard Dawsons mencetuskan ide soal meme ini.