Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Sekolah Menolakmu di Hari Pertama

31 Juli 2016   12:13 Diperbarui: 1 Agustus 2016   13:10 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk Sausan,

Ada angka-angka yang tidak ada di rapor. Angka ketika kamu tidak menyontek. Angka ketika kamu mencintai belajar dan membaca. Angka ketika kamu berbagi bekal makanan pada kawan lain yang tak punya uang jajan. Angka ketika kamu membantu kawanmu di sekolah. Angka ketika kamu berbahagia di sekolah. Semua itu akan menjadikan sekolah ada sesuatu yang sangat menyenangkan dan layak untuk dikenang.

Dear my little sunset,
Pagi itu, matahari bulan Juli bersinar cerah. Bagi sebagian besar kawanmu, menjadi #haripertamasekolah setelah libur panjang itu, tapi tidak bagimu. Ini tahun keempat kaukenakan seragam merah putihmu. Harusnya sudah terbiasa, tetapi menjadi tidak biasa bagimu karena hari ini adalah sekolah barumu, di kota yang baru saja kita tinggali. Dalam setahun, kamu harus pindah sekolah dua kali karena mengikuti ayah ibumu yang pindah rumah di beda provinsi.

Pindah-pindah sekolah bukan hal yang mudah bagimu. Ibu tahu, sayangku. Kendala bahasa yang berbeda, meski tetap menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi kadang-kadang bu guru dan teman-temanmu menggunakan bahasa daerah yang berbeda, bukan? Kamu sering protes karena tidak paham.

“Kita kan orang Indonesia, Bu. Kenapa mereka menggunakan bahasa daerah?” keluhmu setengah menangis. Bisa ditebak, bahasa dengan muatan lokal pun nilaimu hancur lebur. 

“Aku ingin jadi warga dunia, Ibu,” katamu setengah menghibur dengan nilai Bahasa Inggrismu yang lebih bagus dan kamu menyukai bahasa itu. Alasannya sederhana, bila bisa berbahasa Inggris, kamu bisa menonton serial My Little Pony tanpa harus membaca terjemahan.

Sayangku, keragamanan bahasa itu keindahan dari negeri ini. Ada ratusan bahasa yang menyusun bangsa ini sehingga negeri ini menjadi indah dan layak kita cintai. Menjadi warga Indonesia tak mestinya hanya tahu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu yang memungkinkan kamu berkomunikasi antar suku, tapi bukan berarti kamu tak perlu mempelajari bahasa daerah di mana kamu tinggal. Beruntunglah kamu punya kawan dengan berbagai bahasa itu, meski kamu awalnya tak paham, tapi dari merekalah kamu bisa belajar. Kawan itu tempat kita belajar, bermain, dan saling berbagi, termasuk berbagai pengetahuan.

Hari itu, 18 Juli 2016 Juli, kamu enggan sekali berangkat di kala kawan lain begitu bahagia dengan hari pertama sekolah. Kamu tak punya seragam baru karena seragam lama masih bisa dipakai. Kamu tak punya tas baru, karena tas lama masih bagus. Pun hanya sepasang sepatu baru itu, karena sepatu lama sudah terlalu sempit. Satu hal, kamu akan punya sekolah baru! Mari kita datangi ibu kepala sekolah itu.

Di ruang yang bersih tempat di mana foto kawan-kawanmu yang kaukenal di masjid sebelum masuk sekolah itu terpajang. Mantap sekali kamu ingin sekolah di SDN itu. Tapi jawaban ibu kepala sekolah menjadikanmu tertunduk lesu. Ibu tahu kamu menangis, tapi sekuat tenaga engkau tahan air matamu.

“Sela, Cindy, Mbak Ria, dan teman-teman ngaji sekolah di sini, Bu. Aku ingin bersama mereka,” katamu lirih sambil memegang tangan ibu begitu erat. Ada harapan di sana. Ibu Kepala Sekolah mengatakan, kelas IV sudah penuh. Jumlahnya 38 siswa. Walau jumlah paling banyak bisa 42 siswa, seperti kelas-kelas lain yang terpampang jumlahnya 40 siswa.

Satu hal yang ibu tak ingin cerita tapi kamu tahu sendiri. Sebelumnya ibu kepala sekolah itu hanya meminta surat keterangan dari sekolah asal dan beberapa berkas dan tak mengatakan jika kelas sudah penuh. Kamu sudah sangat gembira karena akan bersekolah bersama dengan kawan-kawan yang kaukenal beberapa minggu ini.

Penolakan itu terjadi setelah ibu kepala sekolah melihat angka rapormu yang beberapa pelajaran hanya pas rata-rata. Untuk apa menerima tambahan siswa jika justru akan memberatkan dari sisi angka, walau SD itu bukanlah SD favorit. Hanya karena teman-temanmu di sana, kamu ingin sekolah di sana. Ibu kepala sekolah pasti punya pertimbangan yang kita tak perlu tahu, sebaiknya kita mengkuti sarannya ke sekolah lain. Ibu Kepala Sekolah tidak jahat, Sayangku. Dia hanya ingin kamu belajar dengan bagus. Percayalah, selalu ada banyak kawan kalau kita mau berteman dan membuka hati.

“Karena raporku jelek ya, Bu? Jadi aku ditolak sekolah ini?” katamu sedih. “Tapi aku kan tidak pernah nyontek. Bahasa Inggrisku 100. Aku sering juara menggambar,” katamu.

Dear my little sunset,
Ibu kepala sekolah tentu punya pertimbangan sendiri untuk tidak menerimamu. Mari kita cari sekolah lain yang meski tak ada teman yang kamu kenal, tapi mau menerimamu. Angka di rapor jelek bukan berarti kamu bodoh. Kamu hanya perlu lebih rajin belajar, yang pasti belajarlah dengan senang.

Ada angka-angka yang tidak ada di rapor. Angka ketika kamu tidak menyontek. Angka ketika kamu mencintai belajar dan membaca. Angka ketika kamu berbagi bekal makanan pada kawan lain yang tak punya uang jajan. Angka ketika kamu membantu kawanmu di sekolah. Angka ketika kamu berbahagia di sekolah. Semua itu akan menjadikan sekolah ada sesuatu yang sangat menyenangkan dan layak untuk dikenang.

Begitulah, setelah seharian mengurus berkas itu, 19 Juli 2016 menjadi hari pertamamu masuk kelas di sekolah baru yang menerimamu. Sekolah di antara perkampungan dan dekat sawah. Ada lapangan basket yang luas dan naungan pohon yang teduh. Berbeda dengan sekolahmu di Jakarta yang bertingkat dan rapat. Memang, tak ada siswa yang kamu kenal hari itu, tapi beberapa orang gadis kecil mengulurkan tangan menjabat tanganmu. Lihatlah, mereka semua mau berteman denganmu. 

“Riska. Awakmu ndhik Jakarta, ya? (Riska, kamu di Jakarta ya?),” kata gadis kecil berkucir satu. Kamu terdiam canggung.
“Rahma,” kata gadis kecil berkerudung yang menyilakan duduk di sebelahnya.
“Dio. Omahmu ngendi, Nduk?” kata laki-laki kecil yang berambut rapi dan lebih sibuk memakan roti dengan penuh percaya diri.
Dhik kana (di sana),” katamu menunjuk dengan bahasa yang ganjil. Ibu lihat, kamu keras berupaya.
Semua itu, ibu lihat dari balik jendela kelasmu yang baru itu.

Belajarlah, Sayangku. Belajarlah, karena membaca tak hanya dari buku. Karena sastra itu ada di setiap senyum kawan kita, di setiap pohon yang menaungi, di setiap hal yang kau bisa lihat keindahannya. Pun matematika, ada di jumlah bukumu, ada di ukuran sepatumu, ada di jumlah kawanmu, tapi tidak pernah bisa terhitung pada jumlah persahabatanmu.

Selamat bergembira, Sayangku. Ibu akan selalu menunggu ceritamu sepulang sekolah, setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun