Penolakan itu terjadi setelah ibu kepala sekolah melihat angka rapormu yang beberapa pelajaran hanya pas rata-rata. Untuk apa menerima tambahan siswa jika justru akan memberatkan dari sisi angka, walau SD itu bukanlah SD favorit. Hanya karena teman-temanmu di sana, kamu ingin sekolah di sana. Ibu kepala sekolah pasti punya pertimbangan yang kita tak perlu tahu, sebaiknya kita mengkuti sarannya ke sekolah lain. Ibu Kepala Sekolah tidak jahat, Sayangku. Dia hanya ingin kamu belajar dengan bagus. Percayalah, selalu ada banyak kawan kalau kita mau berteman dan membuka hati.
“Karena raporku jelek ya, Bu? Jadi aku ditolak sekolah ini?” katamu sedih. “Tapi aku kan tidak pernah nyontek. Bahasa Inggrisku 100. Aku sering juara menggambar,” katamu.
Dear my little sunset,
Ibu kepala sekolah tentu punya pertimbangan sendiri untuk tidak menerimamu. Mari kita cari sekolah lain yang meski tak ada teman yang kamu kenal, tapi mau menerimamu. Angka di rapor jelek bukan berarti kamu bodoh. Kamu hanya perlu lebih rajin belajar, yang pasti belajarlah dengan senang.
Ada angka-angka yang tidak ada di rapor. Angka ketika kamu tidak menyontek. Angka ketika kamu mencintai belajar dan membaca. Angka ketika kamu berbagi bekal makanan pada kawan lain yang tak punya uang jajan. Angka ketika kamu membantu kawanmu di sekolah. Angka ketika kamu berbahagia di sekolah. Semua itu akan menjadikan sekolah ada sesuatu yang sangat menyenangkan dan layak untuk dikenang.
Begitulah, setelah seharian mengurus berkas itu, 19 Juli 2016 menjadi hari pertamamu masuk kelas di sekolah baru yang menerimamu. Sekolah di antara perkampungan dan dekat sawah. Ada lapangan basket yang luas dan naungan pohon yang teduh. Berbeda dengan sekolahmu di Jakarta yang bertingkat dan rapat. Memang, tak ada siswa yang kamu kenal hari itu, tapi beberapa orang gadis kecil mengulurkan tangan menjabat tanganmu. Lihatlah, mereka semua mau berteman denganmu.
“Riska. Awakmu ndhik Jakarta, ya? (Riska, kamu di Jakarta ya?),” kata gadis kecil berkucir satu. Kamu terdiam canggung.
“Rahma,” kata gadis kecil berkerudung yang menyilakan duduk di sebelahnya.
“Dio. Omahmu ngendi, Nduk?” kata laki-laki kecil yang berambut rapi dan lebih sibuk memakan roti dengan penuh percaya diri.
“Dhik kana (di sana),” katamu menunjuk dengan bahasa yang ganjil. Ibu lihat, kamu keras berupaya.
Semua itu, ibu lihat dari balik jendela kelasmu yang baru itu.
Belajarlah, Sayangku. Belajarlah, karena membaca tak hanya dari buku. Karena sastra itu ada di setiap senyum kawan kita, di setiap pohon yang menaungi, di setiap hal yang kau bisa lihat keindahannya. Pun matematika, ada di jumlah bukumu, ada di ukuran sepatumu, ada di jumlah kawanmu, tapi tidak pernah bisa terhitung pada jumlah persahabatanmu.
Selamat bergembira, Sayangku. Ibu akan selalu menunggu ceritamu sepulang sekolah, setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H