Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan yang Menjahit Hujan

18 April 2015   10:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk: Rara - perempuan yang menyukai mesin jahit di negeri salju

Hujan kerap turun di desa itu dalam bentuk helaian seperti benang.Tatkala kandungan langit sudah genap usia mengandung mendung, kilatan cahaya kebiruan menandai kelahiran jabang gerimis. Disusul guruh dengan suara teredam, lantas dilepaskan dalam bentuk nyanyian hujan, nyanyian kedatangan, tembang Mijil. Sampai di telinga warga desa terdengar seperti kidung penyambutan kawan lama. Karenanya, hujan bagi desa itu selalu dirindukan. Hangat laksana selimut katun yang ditenun dengan ATBM. Tiap rajutnya adalah energi yang memberi kenyamanan pada siapapun. Kenyamanan yang tak bersyarat.

Syahdan, hujan menjadi sedemikian ramah dan indah tatkala datang mengiringi kehadiran seorang perempuan yang tinggal di atas bukit, di ujung desa. Ada yang mengatakan bahwa kedatangannya misterius. Seperti malaikat yang diturunkan dari langit sebagai jawaban doa kaum yang terdholimi oleh hujan. Sebelumnya, hujan serupa jejarum yang menghujam, menawarkan wajah petaka Menenggelamkan rumah, merusak sawah, mengaramkan penduduk dan kambing. Ini bukan perkara tata desa yang tak benar, tapi rasanya karena desa yang salah letak, lebih rendah dari sungai.

Kaum intelektual menyanggah kemisteriusan dengan fakta. Bukit yang kini dihuni oleh perempuan itu adalah wilayah terluar dari desa. Jadi sangat mungkin menjadi tidak tertengok dan terkadang terlupakan. Bahkan kalau ada desa tetangga yang kemudian iseng menancapkan umbul – umbul sebagai lambang kepemilikan, warga desa ini pun tak bakal tahu. Ketika kelak bukit itu menjadi ramai, maju dan bercahaya, baru akan berteriak kehilangan dan menuduh tetangganya maling sialan. Siapa yang sialan sejati coba ?

Mana yang benar, sangat abstrak menurut siapa yang mengatakan. Hanya saja, berbagai kalangan yang heterogen dalam hal tingkat pemahaman menyepakati bahwasannya perempuan itu bukan hantu karena menginjak tanah dan eksis. Satu lagi, perempuan itu sangat mahir menjahit. Kemahirannya menjahit ini menyeberang ke desa – desa di seberang cakrawala, melebihi kemampuan angan membayangkan. Dan lagi – lagi kemahiran yang misterius.

“Ketika kamu baru membuka pintu pagarnya yang banyak bunga itu, perempuan itu sudah tahu berapa ukuran tubuhmu. Makanya, tanpa perlu menyentuh badanmu untuk mengukur, dia langsung bisa membuat potongan di atas kain dengan sangat presisi, mengikuti setiap lekuk tubuh dan detail perasaanmu,” kata warga kebanyakan, istri seorang pedagang.

“Dia tahu model baju apa yang kuinginkan bahkan sebelum aku mengatakannya. Dia tahu kebutuhanku hanya dengan bersitatap mata dengan mata,” kata seseorang yang dinobatkan sebagai kepala desa. Setelah dari penjahit itu, lelaki yang sudah lewat senja tapi tetap kukuh menjabat ini mulai sering berkaca. Bersimulasi dengan tiap lekuk wajah mana yang paling menunjukkan keinginannya ? Untuk sementara dia mulai khawatir dengan hidungnya yang semakin panjang dari hari ke hari. Ah, ini hanya perasaannya. Ah, lagi, perempuan itu hanya kebetulan saja tahu, bahwa kain bakalan safari kemarin memang untuk menghadiri pesta kolega yang sangat pribadi.

“Perempuan itu seperti ibu. Yang selalu memberikan baju tanpa kuminta, menjahitkan kasih sayangnya walau aku tak punya selembar kain pun,” kata warga yang dianggap minoritas, penghuni bantaran kali.

“Aku melamar calon istriku dengan maskawin baju yang dia bikinkan. Ya, aku berhutang budi padanya atas kebahagiaan ini,” kata sang pecinta, yang melamar gadisnya hanya bermodal cinta, yakin dan sedikit percaya.

Bagi perempuan itu, setiap tubuh adalah sebuah semesta nan unik, dicipta tak pernah sama persis. Ukuran, lekuk tubuh, model dan arah jahitan akan berbeda. Tak heran, jika baju karya perempuan itu seperti kulit yang diciptakan pas hanya untuk menempati satu tubuh. Tidak pernah kodian, tidak pernah massal dan dikerjakan tanpa menipu roh waktu. Sesungguhnya hanya orang – orang bodoh yang merasa bisa menipu waktu. Karena pasti ia kalah dan menyandang predikat pecundang.

***

Sebagai warga perantauan, tentu saja aku jadi penasaran untuk lebih tahu tentang desa ini Kemahiran perempuan itu mulai mengusikku. Apalagi kemahiran yang diiringi cerita tentang kecantikan.

“Kamu pernah melihat Nawang Wulan ?” tanya seorang kawan, bujang yang bermimpi mendapat perempuan paket all in one.

“Bidadari yang selendangnya dicuri itu ?”

“Ya, seperti itulah kecantikannya”

“Seperti apa ? Seperti dongeng ?”

“Kecantikannya memang seperti dongeng, melampaui kemampuan imaginasi, lebih fiksi dari bidadari !”

Akhirnya, aku ada di perjalanan ini. Melintasi jalan berkelok dari pusat desa, mengular melalui persawahan, menuju ke arah matahari terbit, yang diapit dua bukit segitiga. Persis seperti lukisan masa kanak. Rumah perempuan itu berdiri apik di lereng salah satu bukit. Tak tepat benar jika disebut rumah, karena ukurannya lebih besar sedikit dari dangau. Hanya saja, keramahan hati perempuan itu menjadikan gubug itu serasa seluas lapangan bola. Siapapun akan nyaman dan merasa dekat tatkala berbincang dengannya. Aku dipersilakannya duduk di atas balai bambu sementara ia meneruskan menjahit.

Aku hanyut dalam irama kaki yang menjejakkan pedal mesin jahit. Seperti orkestra yang menyambut kedatangan kekasih masa silam yang sudah karatan oleh ingatan. Sama rentanya dengan pengabdian besi – besi tua yang menyusun tubuh mesin. Kutemukan kilat logam hanya pada jarum jahitnya yang masih tajam. Bisa merekatkan sobekan angan.

Anganku kembali membumi ketika angin menyuguhkan aroma bambu segar. Asalnya dari dinding gubug ini. Berbahan anyaman bambu, pun tiang – tiangnya dari bambu kuning dengan atapnya daun bambu. Bahan atap yang tak biasa dan tak terbayang bagaimana menganyam satu demi satu helaian daun bambu rapuh menjadi lembaran yang menaunginya dari panas dan hujan.

“Mereka menata dirinya sendiri, seiring dengan benang – benang yang kurajut,” jawabnya ketika kutanya. Kupikir dia bercanda, tapi rasanya aku mendapatkan jawaban yang sebenarnya di balik senyumnya. Senyum yang rasanya tak pernah pudar, bahkan bisa menjadi formula anti aging yang memanggil kembali keperjakaan. Benar adanya, Kawan, bahwa kecantikan perempuan itu seperti fiksi. Mewadahi beragam imaginasi kesempurnaan ciptaan. Sulit dideskripsikan dengan tepat benar.

“Sudah lama kamu menjahit ?” tanyaku begitu saja. Dia pun tergelak, tanpa mengalihkan matanya yang memasang skoci penggulung benang.

“Apakah kedatanganmu hanya akan menanyakan itu ?” Aku tergeragap. Ya, untuk apa coba, lelaki yang sudah beristri mengunjungi perempuan yang sendirian, hanya demi menjawab rasa penasaran yang membelit.

“Tidak juga, aku ingin menjahitkan baju untuk istriku,” jawabku.

“Baiklah. Biar istrimu yang datang padaku, karena aku harus mengukur badannya agar pas.”

“Jadi salah, kabar yang tersiar, bahwa kamu bisa tahu ukuran baju tanpa harus menyentuh si calon pemakai. Kamu bisa menebak jenis baju yang mau dipesan begitu si calon pemakai membuka pintu,” sanggahku.

Sejenak suara mesin itu terhenti. Dengan anggun ia menggeser kursinya. Baru kulihat dari depan, wajah itu seperti matahari pagi. Hangat dan membangunkan kesadaran makhluk – makhluk yang lelap.

“Aku akan mudah menebak orang – orang yang datang ke sini karena kebutuhannya. Pun para suami yang datang untuk menjahitkan baju istrinya. Aku bisa melihat istrinya dari sang suami. Tapi untukmu, aku sulit melihat istrimu dari dirimu. Karena itu, pulanglah dan cintai istrimu dahulu. Baru aku bisa mengerti ukuran dan baju apa yang benar – benar ia butuhkan. Sulit menebak dari keinginan yang dibuat – buat,” ujarnya seperti ribuan jarum yang menjahit dengan acak di setiap sendi kesadaran seorang kepala rumah tangga. Kuraih kain woll yang baru kubeli asal- asalan di perjalanan. Aku pergi tanpa sempat permisi , tanpa menoleh lagi.

***

Kunjungan itu menjadi kunjungan pertama dan terakhir. Aku tak pernah berani menginjakkan kaki ke gubug itu. Walau itu artinya bukan berarti aku berhenti memikirkannya. Sesekali aku masih suka menatap siluet gubug yang jelas kulihat dari jendela kamarku. Sambil mengingat, selayaknya bahwa kita seharusnya mensyukuri yang kita miliki sebelum diambil oleh Yang Maha Milik. Aku lebih sering membantu istriku mengurus anakku yang baru lahir daripada sekedar membayangkan kecantikan abstrak yang entah di mana bermuara.

Sampai suatu akhir malam, sebelum matahari terbit benar, terdengar ribut – ribut bahwasannya perempuan itu lenyap. Serta merta aku membuka jendela kamarku dimana aku bisa menemukan siluet gubug yang biasanya membelakangi matahari terbit. Benar juga, garis bukit itu lurus dan datar. Gubug itu sudah tidak ada. Ada rasa kehilangan yang susah diceritakan. Seperti air yang kehilangan riciknya. Seperti angin yang kehilangan tiupnya. Seperti embun yang kehilangan tetesnya. Seperti pagi yang kehilangan fajar.

Ini bukan lagi rasa seorang yang kasmaran. Lebih dari itu, seperti perlambang temaram akan nasib yang selama ini diberi hangat oleh baju karya perempuan itu. Desa ini akan kehilangan senyumnya. Tanpa sadar, aku pun berdoa dalam sujudku. Doa khusyu untuk perempuan itu seperti aku mendoakan para rahib.

Paman – paman, apa wartamu ing ndalan/Ing ndalan ‘keh wong mati/Tatu dhadha trusing giring…*

Samar kudengar nyanyian itu. Nyanyian agung yang pernah menjadi identitas kesadaran warga, yang mulai dilupakan warga itu seperti dekat sekali. Sedekat syair dan kata. Ketika aku bangun dari sujud, perempuan itu sudah ada di depanku. Menyandang buntalan kain di pundaknya.

“Selamat pagi,” sapanya. Masih dengan senyum fiksinya. Hanya kesegaran pergi dari wajahnya.

“Bagaimana kamu bisa masuk ?” jawabku sembari memastikan bahwa aku sadar.

“Dari jendelamu yang terbuka,”katanya sambil menunjuk ke jendela. “Tapi itu tak penting. Aku berterima kasih kau mau mendoakanku”

“Bagaimana kamu tahu ?”

“Bagaimana aku tahu ? Ha ha ha, bagaimana aku menjelaskan padamu bahwa doa yang tulus bisa membawaku ke hadapanmu ? Karena aku harus mengatakan padamu, tinggalkan desa ini selagi bisa. Pulanglah ke tanah lahirmu yang akan merindukan engkau kembali. Aku serius”

“Kenapa ?”

“Aku tak bisa mendahului takdir. Tapi itu jawaban atas doamu, percayalah padaku”

Seperti sihir, aku hanya mengangguk,” Benarkah kamu juga akan pergi ?”

“Aku tidak pergi, hanya berpindah saja”

“Ke mana ?”

“Ke suatu tempat yang masih menyisakan ruang untuk manusia, untuk penjahit sepertiku”

“Bukankah di sini kamu sudah punya banyak pelanggan ?”

“Sebentar lagi akan dibangun toko besar di pusat desa. Yang menjual pakaian jadi dalam jumlah banyak sekali dan cepat saji. Jadi, tak perlu menunggu, semuanya bisa membeli baju sama”

“Jadi kamu tahu perjanjian Pak Lurah dengan orang kota itu ?” tanya heran. Padahal kontrak itu hanya beberapa punggawa saja yang tahu. Aku tahu hanya karena kebetulan aku yang mencetak lembar proposalnya.

“Bagaimana aku tidak tahu kalau itu menyangkut keberlangsunganku”

“Kamu egois. Hanya memikirkan usahamu, jahitanmu. Kamu tahu, dengan toko besar itu, nantinya akan memperkerjakan banyak warga. Menyerap pengangguran. Pemasukan ke kas desa pun akan meningkat dari pajak toko itu yang lebih terhitung jelas. Menjadikan ekonomi desa ini maju karena industri garmen akan semakin banyak produksinya,” kataku. Seperti sihir juga, mulutku sama persis dengan mulut Pak Lurah.

“Berapa tenaga kerja yang diserap toko itu dibandingkan pemintal, penjual kancing, penjahit dan banyak usaha rumahan yang bakal gulung tikar ? Kamu pikir orang – orang itu tidak membayar pajak ? Walau tak terhitung seperti toko besar itu, orang –orang itu membayar pajak hampir di setiap tarikan nafasnya. Dari bahan makanan yang ia beli, dari onderdil jahitan, dari listrik, dari air dari semua yang menyokong kehidupannya. Tidak kah kamu sadar, harga semua bahan itu sudah ditambahkan pajak di setiap rupiahnya. Belum lagi ongkos tanpa kuitansi preman di setiap belokan. Menurutmu industri garmen desa ini akan maju, lalu kamu pikir baju – baju yang akan dijual di sana adalah produk dalam desa ini ?” kata perempuan itu. Suaranya tak menggelagar, tapi kurasakan ada bara yang siap mengubah daging mentah menjadi onggokan arang.

“Bagaimana kalau yang tak mengenal uang ? Apakah mereka juga akan memberikan baju gratis sebagaimana yang kujahitkan untuk orang – orang di bantaran sungai, untuk orang – orang yang gagal panen, untuk orang – orang yang belum melunasi hutang yang tak pernah lunas, untuk…”

Ada tetesan bening meluncur lembut di pipi perempuan itu. Tetes bening itu menjadi kilauan kesedihan yang tertimpa secercah sinar. Matahari mulai membuka matanya. Seperti tersadar, perempuan itu kembali tersenyum. Nada bicaranya melembut.

“Ssssttt…mereka adalah orang – orang yang sudah teruji jaman. Percayalah, hanya akan ada sedikit pergolakan yang nantinya akan terlupakan. Sudahlah, aku harus segera berkemas. O, ya…aku sudah jahitkan baju untuk istrimu dan juga anakmu. Kurasa, baju ini akan pas untuk mereka berdua.”

“Baju ? Bukankah kain yang dulu itu aku bawa kembali. Kaubuat dari bahan apa ?”

“Dari rajutan benang hujan terakhir yang datang musim ini”

Karena hujan yang datang kemudian bukan lagi seperti benang. Tapi seperti tali tambang, lebih besar lagi seperti tubuh phyton. Lebih besar lagi seperti air bah langsung menghujam ke wajah tanah. Tanah luka, longsor di mana – mana. Genteng – genteng rumah hancur, mengakhiri tugasnya menaungi warga. Toko besar itu ringsek seperti terlindas musim yang salah singgah. Jejarum hujan menjelma kaki ribuan tombak yang mengundang sekarat bagi si toko besar tanpa sempat menuliskan pesan terakhir. Desa itu, tamat sebelum waktunya.

Tangerang, Februari 2011

www.kartitiani.wordpress.com

*Paman – paman, apa berita yang kaubawa dari jalanan. Di jalan banyak orang meninggal. Luka di dadanya, tembus sampai pinggang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun