Apa yang terlintas di benak Anda saat disebutkan kata sarung? Kebanyakan pasti menggambarkan bahwa sarung hanyalah kain lembaran yang dijahit satu sisinya. Memakainya pun sangat praktis dan kadang merasakan kenyamanan saat mengenakannya. Inilah tema event Kompasiana Satu Ramadan Bercerita Samber 2020 Hari 18 & Samber THRÂ mengulas tentang SARUNG.
Siang yang cukup terik, kulihat Pak Tarjo mengayuh pelan sepeda ontelnya keliling kampungku. Ini bukan kali pertama Ia melintasi kampung padat penduduk di tengah Kota Jogjakarta. Demi menopang hidup keluarga, Pak Tarjo harus ikhlas berjualan tape singkong keliling kampung. Kalau di Bandung istilah kerennya peyem.
Singkong Pak Tarjo memang tak secantik peyem Bandung yang selalu menggoda iman. Tapi soal rasa hampir tak ada beda, lezat dan menggigit. Aku salah satu pelanggannya. Hampir tiap hari, tape singkong Pak Tarjo menghiasi meja makan minimalis di rumahku. Seisi rumah memang mengidolakan tape singkong buatan Pak Tarjo. Kalau sehari saja tak tersaji di meja, si bungsu pasti nanyain. "Ma, kok tape singkongnya gak ada. Pak Tarjonya libur ya Ma?" tanyanya sambil bersungut-sungut.
Tapi kali ini, bukan singkong yang ingin kubahas. Ada hal lain yang menarik perhatianku. Pernah suatu saat tanpa sengaja, aku lihat isi tas Pak Tarjo yang selalu dikalungkan di lehernya. Waktu itu ia akan mengambil uang kembalian, tiba-tiba ada sesuatu yang terjatuh. Tadinya aku pikir, bekal makanan yang dibawanya. Ternyata tebakanku meleset.
"Apa itu pak, kok bekalnya banyak?," tanyaku sekenanya.
"Oh...itu baju ganti dan kain sarung bu," jawabnya agak tersekat.
"Memang setiap hari dibawa ya pak?," tanyaku makin penasaran.
"Iya bu, saya selalu membawanya biar nyaman saat menghadapNya," wajahnya menunduk sambil menyeka peluh yang mengalir dari dahinya.
Aku pun tak melanjutkan pertanyaanku. Aku cuma ingin meyakinkan rasa penasaranku selama ini. Karena sering kudapati sepedanya yang masih membawa tape singkong disenderkan di samping masjid, saat adzan usai berkumandang. Pernah juga mendapati sosok mirip Pak Tarjo ada di saf bapak-bapak saat menunaikan salat dhuhur.
Pak Tarjo rela meninggalkan urusan dunia untuk mencari nafkah, hanya demi bertemu Sang Khalik. Tak ada rasa gundah dalam hatinya saat harus kehilangan kesempatan untuk berjualan. Ia begitu paham akan makna ikhtiar. Bukan saja harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencari nafkah demi keluarga tercinta tapi Pak Tarjo juga menjaga hubungan vertikalnya dengan Allah. Sang pemberi hidup, pemberi rezeki, dan penguasa seluruh alam beserta isinya.
Baju dan kain sarung yang selalu dibawanya ia pakai saat menunaikan salat. Ia pun tahu tentang makna taharah, menjaga kesucian pakaian saat sedang menghadapNya. Makanya, saya sempat heran waktu itu. Sosoknya mirip banget sama Pak Tarjo tetapi saat menengok baju yang dikenakan kok lain dengan saat berjualan. Sungguh tidak menduga.
Lewat Pak Tarjo aku belajar banyak hal. Mungkin dia bukan sosok ulama bukan juga pakar ilmu agama, tapi sosoknya telah mengajarkanku tentang makna hidup. Bahwa hidup itu bukan hanya tentang saat ini tapi tentang bagaimana menjalani hidup selanjutnya sesudah mati dengan kebahagiaan yang abadi. Menjalani hidup di dunia tanpa meninggalkan kewajiban untuk beribadah kepadaNya. Karena sesungguhnya apa yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Jangan sampai hidup selanjutnya lebih buruk dari kehidupan di dunia saat ini.
Terima kasih Pak Tarjo, sejenak hadirmu membuatku paham makna sarung yang sesungguhnya.
Semoga Bermanfaat
Yogyakarta, 14 Mei 2020
Titik Nur Farikhah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H