Pengguna jasa markerplace tokopedia.com dipastikan melonjak pasca merebaknya Corona Virus Disease (Covid 19). Terlebih saat diberlakukan social distancing yang lebih diperketat dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa kota. Tentunya itu menjadi angin segar bagi marketplace sejenisnya seperti bukalapak.com dan olx.co.id.
Di saat sektor industri tegah terpuruk, marketplace justru jadi incaran pada customer. Hanya bermodalkan handphone, transaksi online pun marak berselancar di jagat maya. Mudahnya sistem pembayaran non tunai, menggiring para customernya untuk memanfaatkan aplikasi ini.
Lalu siapa customernya? Mereka para penjual yang melapak di website yang khusus menyediakan lahan untuk mempromosikan produk-produknya. Jadi di website itulah pembeli bisa menemukan berbagai produk yang dijual oleh penjual yang berbeda, ada juga penjual dari online shop.
Setiap produk yang ditawarkan di website sudah dilengkapi dengan spesifikasi dan penjelasan kondisi barang sehingga pembeli tinggal memilih dengan mengklik tombol “beli” kemudian mentransfer sejumlah uang sesuai harga yang tercantum dalam label tersebut. Transaksi jual beli ini tergolong simpel karena tidak ada tanya jawab, tawar menawar, apalagi diskon seperti di online shop. Pokoknya gak pakai ribet.
Bagi kedua belah pihak menggunakan jasa marketplace ini sangat diuntungkan karena tidak perlu meet up layaknya jual beli di pasar tradisional. Apalagi dalam kondisi pandemi, mampu menjadi second opinion karena tetap bisa stay at home dengan aman.
Namun siapa sangka, kenyamanan bertansaksi via Tokopedia kini tengah terguncang. Di lansir dari kompas.com sebanyak 91 juta data pengguna dan lebih dari 7 juta data merchant Tokopedia dikabarkan bocor dan dijual di situs pasar gelap internet di dark web.
Jelas ini menimbulkan keresahan di tengah pagebluk. Belum lagi energi kita cukup tersita dengan pelbagai informasi mencekam perihal wabah corona, meningkatnya kriminalitas, dan sekarang peretasan data pengguna Tokopedia.
Ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya Bukalapak mengalami hal serupa. Harusnya menjadi pembelajaran agar tidak terulang lagi karena situs marketplace akan selalu jadi incaran para peretas saking banyaknya menghimpun data masyarakat. Termasuk data kartu kredit, kartu debit, dan dompet digital yang saat ini mulai banyak digunakan masyarakat.
Salah satu pemicu terulangnya kasus pencurian data tidak lain karena Indonesia belum memiliki payung hukum untuk menindak tegas kasus pelanggaran data pribadi dalam hal ini privasi dan proteksi data. Walaupun saat ini, kasus kebocoran data pengguna Tokopedia tengah ditangani dengan Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 namun sanki yang diatur masih bersifat administratif tanpa dijelaskan dengan tegas berapa sanksi denda yang dikenakan. Jadi dipandang masih ringan.
Sebetulnya perlu ada tindak tegas bagi para peretas data minimal tiga sanki. Yakni surat peringatan, pengumuman di berbagai media masa sebagai efek jera, dan sanksi paling berat dengan pemblokiran platform tersebut.
Aturan perlindungan data pribadi seharusnya segera dibahas secara intensif oleh pemerintah. Sebab kasus pembobolan data sudah sering mencuat ke permukaan dan ini meresahkan masyarakat. Sudah saatnya data pribadi dilindungi tidak boleh digunakan tanpa seizin yang punya.
Seperti yang terjadi di Eropa, di negara tersebut telah memiliki Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) yang mengatur tentang mekanisme sanksi denda yang diberikan oleh perusahaan apabila lalai melindungi data pengguna. Sebagai contoh, British Airways perusahaan aviasi yang harus menanggung denda 204.6 juta pounsterling karena kasus kebocoran data penumpang pada tahun 2018.
Dalam hal ini, saya pribadi bukan termasuk salah satu penggunanya namun turut menyayangkan jebolnya data karena kurangnya cyber security. Biasanya hal yang ditekankan untuk user hanya sebatas pertahanan menjaga kerahasiaan password atau mengganti possword (kata sandi) secara berkala.
Lantas, apabila password sudah terproteksi apakah pengguna bisa bernapas lega saat data diretas oleh hacker? Ternyata tidak. Menurut praktisi keamanan siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya, informasi penting lain milik pengguna seperti e-mail dan nomor ponsel bisa saja dimanfaatkan hacker untuk kejahatan, misalnya melancarkan spam. Dan hal yang lebih mengkhawatirkan jika kemudian merebak ke akun media sosial. Semoga saja tidak.
Yogyakarta, 5 Mei 2020
Titik Nur Farikhah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H