Mohon tunggu...
Titik Nur Farikhah
Titik Nur Farikhah Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengabdian Tanpa Batas

20 April 2020   12:53 Diperbarui: 20 April 2020   13:11 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejak Kartini menggulirkan semangat emansipasi wanita ternyata masih menggema hingga detik ini. Tak ada istilah berhenti berjuang apalagi mundur hanya karena situasi dan kondisi yang tidak mendukung. Itulah yang dialami Wahyu Hasanah, perempuan kelahiran Yogyakarta, 25 Maret 1981. 

Perjuangan panjangnya merubah wajah kampung Sidomulyo tidaklah sia-sia, meskipun semua proses harus dilaluinya dengan tetesan darah, keringat, air mata, pengorbanan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi yang bisa dibilang tidak sedikit terlebih bagi Wahyu, seorang Penyuluh Agama Islam non PNS Kementerian Agama DIY. 

Namun berkat dukungan keluarga yang begitu kuat dari sang suami sebagai pendamping hidup, semua ikhtiar yang diperjuangkannya pelan tapi pasti menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik dan mulai menampakkan hasil nyata.

Tahun 2008, Wahyu mulai tergelitik dengan kondisi kampungnya yang kian hari kian meresahkan. Sebuah kampung yang saat itu lekat dengan stigma negatif dengan rentetan problematika sosial. Pasalnya berbagai kasus, lalu lalang hinggap mewarnai kehidupan warganya. 

Mulai dari pelecehan seksual, penelantaran anak, pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), judi, tawuran hingga pembunuhan. Wahyu mengaku, nuraninya sangat terusik, terlebih saat menyaksikan sendiri adanya tindak kejahatan penyiksaan anak yang berujung pada kematian.

Perjuangan Wahyu yang dimulai tahun 2008 hingga tahun 2012, bisa dibilang belum menampakkan hasil. Ketulusan hati untuk membantu warganya keluar dari kesulitan ekonomi dengan memberikan mereka modal usaha ternyata tidak selalu disambut positif. Bahkan ada yang tega memperalatnya, setelah mendapatkan modal mereka pergi tanpa meninggalkan pesan. Namun ibu dua anak ini mengaku pasrah dan ikhlas dengan keadaan yang dialaminya saat itu.

Kejadian yang bertubi-tubi, sempat membuat Wahyu merasa tertipu dan tersudut. Bahkan ia merasa putus asa karena usaha yang dilakukannya tidak berbuah manis seperti harapannya. Niatnya untuk memperjuangkan kampung Sidomulyo sempat stagnan karena tidak mendapat dukungan dari warga masyarakat. 

Uang habis dan tak ada hasil, itulah yang membuat Wahyu sempat shock dan jatuh sakit. Berhari-hari keluarganya mengalami kesulitan hanya untuk sekedar membeli makanan. Sempat terpikir untuk meminta kembali uang yang dia berikan, namun suaminya mencegah. Biarlah tangan-tangan Allah yang bergerak memberikan pertolongan.

Benar saja, suatu hari secara kebetulan, sang suami secara tidak sengaja menemukan seekor kura-kura di jalan. Lalu ia pungut dan dibawanya pulang, berniat mau mengembalikan tapi tidak tahu siapa pemiliknya. Selang beberapa hari, ia pun mendapatkan kabar bahwa seekor kura-kura pemilik Waroeng Spesial Sambal “SS” telah hilang. 

Mendengar hal tersebut, suami Wahyu bersama temannya berniat mengembalikan kura-kura kepada sang pemilik. Padahal sebelumnya, kura-kura yang ditemukannya sempat ditawar senilai satu juta rupiah oleh seorang tak dikenal tapi ditolaknya, dengan alasan itu bukan miliknya. Begitulah keluarga Wahyu dalam keadaan apapun selalu berusaha menjaga amanah.

Berkat kejujurannya, tak disangka usai mengembalikan kura-kura kepada sang pemilik, suami Wahyu mendapatkan uang tunai senilai lima juta rupiah. Kaget sekaligus tak percaya, di tangan suaminya digenggam ampol putih berisi uang tunai dengan nominal melebihi yang ia berikan kepada orang-orang. Sungguh, Allah tidak tidur. Lewat tangan pemilik kura-kura uang yang dengan ikhlas ia berikan akhirnya dikembalikan Allah dengan cara yang tak terduga sebelumnya. Subahanallah. Dari sinilah keyakinan dan kepercayaan diri Wahyu berangsur pulih dan kembali normal.

Kerja belum selesai, ikhtiar belum maksimal. Wahyu sadar, saat itu ia merasa gagal menyusun strategi untuk membenahi warga Sidomulyo. Lagi-lagi sisi kemanusiaannya terusik. Ia pun kembali berhasrat untuk memperbaiki ekonomi warganya, kali ini dengan strategi yang berbeda. Usai memberikan pinjaman, ia pun rajin memantau perkembangan warganya dari usaha yang mereka lakukan. Hingga akhirnya mereka benar-benar bisa mandiri, hidup tidak tergantung kepada orang lain. Begitulah, kedekatannya dengan warga Sidomulyo semakin akrab, membuat masyarakat semakin tergugah untuk pelan-pelan melakukan perubahan.

Terlebih saat Wahyu berhasil menemukan warganya yang hilang karena kasus penculikan anak. Di sinilah, kepercayaan masyarakat akan keseriusan Wahyu menyelesaikan berbagai persoalan warga Sidomulyo mulai muncul perlahan. Mereka mulai peduli dan bersimpati dengan perjuangan Wahyu. Pendekatan ke wargapun mulai menampakkan hasil nyata. Dengan pemetaan dan pendataan kekuatan warga, Wahyu mulai berbenah menyusun strategi untuk perbaikan ke arah yang lebih serius.

Berbagai kegiatan kampung yang sudah ada secara intens mulai digiatkan kembali. Lewat program PAUD, pengajian umum, TPA, PKK, yandu balita, karang taruna, kesenian dan sebagainya menjadi titik awal untuk langkah yang lebih pasti. 

Program yang digulirkan Wahyu hingga menghantarkannya sebagai Penyuluh Teladan Nasional 2019 adalah GEMATI. Gerakan Edukasi melalui Tiga Intervensi. Pendekatan remaja melalui GEMATI ini ternyata membuahkan hasil. Ada tiga program yang digulirkan yakni menjalin komunikasi dengan anak remaja dan orang tua (sopo dulur), pembuatan jadwal keseharian, dan menyusun program melalui pohoh harapan. Menanamkan harapan kepada anak remaja hingga mencapai cita-cita dan harapan. Termasuk memulihkan trauma healing kepada remaja hingga akhirnya mulai tumbuh rasa percaya diri.

Selain itu, membuat jalinan kerjasama dengan berbagai pihak terkait sepert dinas sosial kota Yogyakarta, BKKBN, Baznas Kota, dan DPPM DPA Kota Yogyakarta terus diupayakan dalam rangka mensukseskan berbagai program. Berkat dukungan semua pihak, program GEMATI akhirnya menuai hasil yang menggembirakan. Pencapaian program GEMATI ini pun mulai mewarnai suasana kampung Sidomulyo dan label sebagai kampung hitam pun perlahan mulai sirna terlebih setelah berbagai pembuktian akan keseriusan warga Sidomulyo keluar dari berbagai permasalahan sosial. 

Perjuangan panjangnya ternyata membuahkan hasil, Rabu (21/08/2019) malam Wahyu Hasanah mendapatkan bergengsi dalam penghargaan Anugerah Penyuluh Agama Islam Teladan Non PNS yang digelar di Jakarta. Meskipun sejatinya bukan itu yang ia cari namun setidaknya sebagai pembuktian bahwa kerja kerasnya selama ini diakui oleh pemerintah khususnya Kementerian Agama Republik Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ, pengabdian tanpa batas terus digemakannya. Saat ini ia membuat program baru “Bank Data” sebagai upaya untuk menyelamatkan data keluarga di wilayah Sidomulyo.

Layak jika sosok perempuan seperti Wahyu Hasanah mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya, terlebih dengan statusnya yang masih non PNS namun mampu merubah wajah masyarakat kampung Sidomulyo. Kerja keras, perjuangan, dan dedikasinya dengan penuh keikhlasan untuk negeri patut diajungi jempol. Kini berkah tersebut telah dituainya. Berbagai undangan untuk berbagi ilmu dan pengalaman datang silih berganti dari berbagai pihak. Namun Wahyu tetaplah Wahyu, hasratnya untuk selalu berbagi rezeki dengan warga masyarakat Sidomulyo tidak pernah padam. Itulah sebabnya sosok penuh kharismatik ini selalu disayangi warganya.

Wahyu sadar sepenuh hati, keberhasilan yang dituainya bukan hasil kerjanya sendiri namun karena dukungan berbagai elemen termasuk masyarakat sekitar. Tanpa gayung bersambut, usahanya akan sia-sia karena sehebat apapun manusia tetaplah makhluk sosial yang membutuhkan uluran tangan orang lain.

Beruntung Kementerian Agama memilikinya, pengabdian tanpa batas harus mampu dijadikan teladan bagi segenap Aparatur Sipil Negara khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerja bukan semata-mata sekedar mengisi waktu luang, namun kerja adalah ibadah, investasi akherat. Karena sesungguhnya, dalam bekerja itulah saat yang paling tepat untuk mengumpulkan amal kebaikan.

Berpijak pada apa yang dilakukan Wahyu, ada baiknya kita melakukan introspeksi diri untuk segera berbenah ke arah yang lebih baik. Mungkin kiprah kita tak akan sehebat Wahyu namun setidaknya apa yang kita lakukan mampu membawa perubahan positif pada lingkungan kerja,  masyarakat sekitar khususnya pada keluarga tercinta. Bukan untuk mendapatkan sanjungan namun lebih pada mengajak untuk beramar makruf nahi munkar tentunya sesuai dengan kapasitas kita sebagai makhluk sosial yang beradab dan berbudaya.

Begitu pula dengan penulis, menyadari minimnya pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya sehingga berusaha untuk selalu mencari celah untuk bisa dikembangkan. Terutama dalam kaitannya dengan kehumasan, berusaha melakukan yang terbaik semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki penulis. Berharap dengan hadirnya para srikandi di Kementerian Agama yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing dan berdedikasi tinggi mampu turut serta mengharumkan nama institusi yang berslogan “Ikhlas Beramal.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun