Mohon tunggu...
Titik Nur Farikhah
Titik Nur Farikhah Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semua Atas Nama Corona

17 April 2020   17:36 Diperbarui: 17 April 2020   20:01 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kepedulian itu dimulai dari diri sendiri. Keterbatasan gerak karena terbentur kebijakan bukan satu alasan untuk tidak melakukan sesuatu. Mungkin yang kita lakukan tak bernilai bagi orang lain. Tapi setidaknya ada niat baik yang ingin disampaikan, misalkan lewat postingan di media sosial dengan menyajikan konten positif. Bukti bahwa kita peduli dengan orang lain. Terlebih jika konten yang kita sampaikan mengandung pesan moral, harapannya mampu membuka hati para pembaca yang berimbas pada perubahan sikap dan perilaku.

Bergerak dalam keterbatasan dengan melakukan sesuatu sesuai porsi akan jauh lebih baik dari pada hanya sekedar mencaci, mengkritik, mencari titik lemah suatu kebijakan, yang berujung umpatan yang tak rasional. Bersabar dengan keadaan yang tengah menghimpit (saat pandemi corona) adalah satu solusi yang terbaik.

Ikhtiar

Mematuhi segala imbauan dan aturan pemerintah adalah wujud ikhtiar agar wabah ini segera berakhir. Memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan berdiam diri di rumah, menjaga kesehatan diri, menjaga kebersihan lingkungan, termasuk mendisiplinkan diri tak lain untuk mengajak manusia kembali menjadi makhluk yang mulia dan berakhlakul karimah.

1. Hakikat berdiam diri di rumah disamping mendekatkan hubungan antar anggota keluarga juga memperbaiki hubungan vertikal kepada Sang Khalik. Diliputi rasa cemas, takut, gelisah menjadikan kita semakin dekat denganNya. Keberadaan Tuhan yang mampu dijamah ternyata menghadirkan ketenangan dalam jiwa. 

Dengan menyadari bahwa sesungguhnya manusia begitu kerdil di hadapanNya. Bisa dibayangkan hanya karena makhluk Allah yang tak terlihat yang disebut virus corona, manusia dibuat kalang kabut bagaimana jika saatnya nanti harus menghadapi Yaumul Qiyamah. Bukan tidak mungkin suasananya jauh lebih kacau dari saat ini.

Di samping dalam rangka memperbaiki hubungan vertikal kepada Allah, berdiam diri juga mampu mengasah kepekaan sosial yakni hubungan horisontal dengan manusia. Sebagai makhluk sosial rasa solidaritas akan kembali muncul manakala melihat saudaranya dalam kondisi serba kekurangan. Jiwa empatinya terketuk untuk membantu saudaranya yang lain.

2. Membiasakan diri untuk selalu hidup bersih adalah bagian dari iman. Tanpa disadari kebersihan diri semakin jauh dari kebiasaan sehari-hari. Misalnya saja, saat hendak makan. Kadang cukup membersihkan tangan pakai tisu atau dengan mencelupkan tangan ke dalam mangkok yang berisi air. Tetapi sekarang, imbauan untuk sesering mungkin cuci tangan terlebih menggunakan sabun menjadi suatu kebiasaan. Mungkin tak jadi soal bagi kaum muslim karena setiap harinya harus membasuh anggota tubuh minimal lima kali dalam sehari.

Selain itu, pemerintah mengimbau untuk menggunakan masker terlebih saat berada di luar rumah dan berinteraksi dengan yang orang lain. Tujuannya untuk melindungi area wajah yang rentan terkontaminasi dengan virus terutama mulut, hidung, dan mata.

3. Menjaga kesehatan diri tak hanya secara fisik tetapi psikis pun perlu dijaga. Yang banyak dipahami adalah ajakan untuk makan yang bergizi, mengkonsumsi suplemen agar stamina selalu sehat. Mereka lupa bahwa kesehatan mental pun tak kalah pentingnya.

Pemberlakuan sosial distancing intinya supaya tubuh kita tidak terkontaminasi dengan orang yang terdeteksi terpapar virus corona. Jadi secara fisik kita terjaga. Tapi bukan berarti diamnya fisik juga akan menghentikan pikiran kita. Media sosial, media elektronik bahkan media cetak setiap hari menyuguhkan berbagai berita yang tak pelak membuat pikiran kita berkelana.

Tidak bisa dipungkiri, berbagai konten yang bersliweran mau tak mau akan menjadi konsumsi kita sehari-hari. Alih-alih berita yang disajikan positif jelas mendatangkan manfaat tapi ketika berita itu justru berkonten negatif secara tidak langsung akan mempengaruhi pikiran si pembaca. Tak jadi soal jika mental mereka kuat tetapi jika ternyata membuat down justru akan menurunkan imunitas tubuh yang dampaknya bisa lebih parah dari wabah corona sendiri.

Lalu siapa yang berperan mengerem pola pikir saat social distancing? Tak lain ya diri sendiri. Saat kerja otak mulai tak stabil maka yang harus dilakukan menjauhkan diri sejenak dari lalu lalang informasi terkait konten pemicu stres. Alihkan dengan hal-hal yang bisa menyegarkan kembali pikiran dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan.
Berbagai imbauan tersebut, jika dimaknai menyiratkan untuk selalu mendisiplinkan diri. Karena kunci untamanya terletak pada diri sendiri bukan orang lain. Kelalaian diri akan mengancam kesehatan, lebih fatalnya lagi menyebabkan kematian.

Ikhlas dengan Kehendak Allah SWT

Menyadari sepenuhnya bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah menjadikan kita semakin ikhlas. Terlebih ketika kita mempunyai keyakinan bahwa Allah tidak akan menguji hambaNya di luar kemampuan hambaNya maka beban ini akan terasa ringan. Seperti halnya yang disampaikan Wakil Presiden RI, Makruf Amin dalam sambutannya, Kamis (16/4/2020) malam dalam rangka Doa dan Dzikir Nasional untuk Keselamatan Bangsa "Bersimpuh Memohon Bebas dari Covid-19."

Ini adalah ujian Allah. Bisa jadi ujian datang untuk menguji kesalehan hambaNya. Apakah dia tetap taat menjalankan perintahNya atau malah sebaliknya semakin ingkar karena tidak sabar menghadapi keadaan yang semakin menghimpitnya.

Allah menciptakan makhluk yang bernama virus corona agar manusia berpikir dan berusaha mencari solusi atas kondisi saat ini. Berbagai ilmu pengetahuan berusaha dipelajari kembali dengan melakukan berbagai penelitian tentang virus yang menghebohkan seantero jagat ini. Uji laboratoriumpun dijalani demi mendapatkan vaksin yang tepat sebagai penangkal.

Bukti bahwa ilmu manusia tak sebanding dengan ilmu Allah Yang Maha Agung. Melumpuhkan kesombongan para ilmuwan, meruntuhkan keangkuhan para guru besar, menggugurkan kepiawaian para ahli teknologi. Pada akhirnya manusia harus bersimpuh, memohon ampun, beristighfar sebagai wujud permohonan maaf atas segala apa yang telah dilakukannya selama ini.  

Saatnya manusia menyadari bahwa kita hanyalah khalifah di muka yang tugasnya menyembah Allah. Bukan Allah yang minta disembah tetapi manusialah yang harus kembali kepada fitrahnya sebagai hamba Allah yang taat.

Semoga Bermanfaat

Titik Nur Farikhah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun