"Yth. Komandan Korem 101/Antasari.
Selamat malam. Mohon ijin melaporkan
Pada 14 Maret 2020 pukul 21.00 wita telah diperoleh informasi dari bla bla bla terkait pasien suspect corona yang dirawat di RS Ulin..."
********
Saya yakin yang tinggal di Kalimantan Selatan pernah mendapatkan pesan tersebut dari teman, keluarga, ataupun grup daring yang diikuti.Â
Saya sendiri mendapatkan pesan tersebut pada pertengahan bulan Maret 2020 di grup keluarga, lengkap dengan foto petugas medis yang menggunakan ADP saat menangani pasienserta "screenshoot" percakapan pembakal (kepala desa) yang dikonfirmasi tentang kebenaran berita tersebut.Â
Ketika ada teman di Pulau Jawa yang menanyakan bagaimana kondisi Kalimantan saat pandemi berlangsung, tanpa berpikir panjang saya langsung meneruskan pesan tersebut.Â
"Lho...kok datanya bisa lengkap gini, Mbak? Biasanya pakai inisial aja lho. Apalagi ini lengkap sama alamatnya."
"Nggak ngerti saya, Mbak. Ini dapat juga dari grup sebelah."
"Jangan disebarkan, Mbak. Berita seperti ini tidak boleh disebarluaskan."
Akhirnya pesan tersebut saya hapus. Tapi beberapa orang sudah sempat menyebarkannya.Â
Kemarin (13 April 2020), kembali beredar hasil pemeriksaan rapid pada beberapa pasien di Banjarbaru, lengkap dengan nama, umur, alamat, serta hasil tesnya.Â
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa data yang seharusnya bersifat rahasia bisa menjadi konsumsi publik? Bukankah ada kode etik yang mengaturnya?
Sejak itu saya bertekad untuk tidak serta-merta meneruskan pesan yang saya terima. Saya juga berusaha mengingatkan teman-teman di grup daring agar menyaring dulu berita yang diterima sebelum disebarluaskan. Sudah saatnya kita cerdas dalam mengelola nformasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H