Mohon tunggu...
Titi Ariswati
Titi Ariswati Mohon Tunggu... Penulis - Puisititi untuk sahabat sejati

Jemari menari tebar asa suci menuju mulia hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumor

28 Juli 2023   10:22 Diperbarui: 28 Juli 2023   10:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Tumor

Di depan ruang operasi.

 Di ruang sempit berwarna putih. Seorang lelaki berdiri di sudut. Perempuan-perempuan datang mencium tangan. Kupikir itu bapak mereka.

Seorang lelaki masuk ruang sempit, perempuan-perempuan datang lagi sambil tertawa-tawa, mencium tangannya. Kupikir itu kakaknya.

Seorang lelaki masuk ruang sempit, memukul pantat perempuan yang berdiri di samping ranjangku. Pertanyaan lelaki dan jerit manja perempuan itu membuat hatiku bergemuruh.  

Beginilah suasana kerja para petugas yang melayani pasien? Mengapa aneh kelakuan mereka?

Kau malah membentakku. Dikatainya aku suka usil ngurusin orang. Ya, kau kan otak, pikiran berdasarkan logika. Semua bisa kau anggap wajar saja.

Aku adalah hati. Yang merasakan, bagaimana rasanya jika pasanganku tau, pantatku jadi sasaran nafsu teman sejawat.

Di dalam ruang operasi

Gemuruh hatiku atas ulah mereka yang  menurutku tidak pas, buyar.

"Bu, masuk ruang operasi ya." Perempuan itu menyeret ranjangku.

Bismillah.

"Ibu, silakan berdoa." Perawat di samping kananku memberi komando.

Aku memohon pertolongan-Nya.

Perawat di samping kiriku mengikatkan alat tensi ke lengan kiriku.

Ada laki-laki berbaju putih mengikat tangan kananku. Jadilah aku bagai disalib. Sejenak pandangan berputar, lalu tidur sangat nyenyak.

Di kamar rumah sakit

"Bu, sudah selesai." Ada suara mempir ke telingaku. Mataku terbuka tapi kembali menutup.
Ada suara takbir, lalu bisikan doa dan Al fatikhkakh.
Aku masih enggan membuka mata.

Hari sudah siang ketika aku seratus persen sadar, gara-gara sakit kepala yang luar biasa.

Sang raja buru-buru ke ruang perawat melaporkan keadaanku.

"Kata perawat, itu pengaruh obat bius." Begitu ceritanya di samping tempat tidur.

"Kenapa nggak dikasih obat penghilang rasa sakit?" Aku protes.

Waktu duhur sudah makin menipis. Kupaksa diriku bangun. Tangan kanan terasa sakit karena punggungnya dihuni jarum infus. Tangan kiri melepas botol infus dari cantolannya, kubawa ke kamar mandi.

Mengambil air wudu sebisanya, karena tidak ada kran air selain di atas bak. Memasang slang plastik ke kran air yang ada di atas bak, sungguh repot. Slang harus ditimpa gayung yang dipenuh air dahulu agar tidak masuk lagi ke bak.

Dengan tangan kiri membasuh wajah, mengusap kepala dan membasahi tangan sampai siku. Beginilah lemahnya manusia, diberi ujian sedikit, tidak dapat melakukan sesuatu dengan sempurna.

Ternyata aku tidak bisa sujud. Sungguh sakit perut yang kena jahit. Sujudku hanya membungkuk.
Ampun ya Allah, sampai kapan ini?

Aku kembali berbaring. Oya, mungkin sakit kepalaku karena masuk angin juga. Dari semalam sudah puasa. Setelah sadar dari obat bius, belum juga dapat jatah makan.

Aku ingin makan untuk mengusir sakit kepala. Tak lama kemudian  Petugas konsumsi mengantar satu baki nasi dan lauk pauk. Dengan mengucap bismillah aku lahap semua yang tersaji. Sungguh nikmat makan dalam kondisi lapar. Alhamdulillah, bersyukur atas rizki yang diharapkan dan langsung datang.

Menjelang sore, sakit kepala belum kunjung hilang. Obat dari bagian farmasi belum siap. Perawat datang menyuntikkan beberapa obat ke slang infus. Suntikan terakhir dimasukkan dengan mempercepat tetesan infus. Setelah itu jarum infus dicabut. Alhamdulillah sudah terbebas dari jeratan jarum. Persiapan pulang, tinggal menunggu obat yang diminum.

Sang Raja mengemasi barang bawaan dan mengecek jangan sampai ada yang tertinggal.
Menjelang Maghrib aku tinggalkan rumah sakit, kembali hanya untuk kontrol seminggu kemudian, jangan sampai menginap lagi.

Aku kirim foto hasil pemeriksaan ke anakku melalui warshap.

"Ini kode 'S' nggak apa-apa Bu, tumor biasa. Kalau nggak salah jika 'C' itu cancer." Begitu balas anakku setelah meneliti foto yang kukirim.

Alhamdulillah Ya Allah, hamba bersyukur kepada-Mu atas hadiah ini, karunia besar yang Kau anugerahkan kepadaku. Maha Suci Engkau dan Maha Agung. Maha Suci Engkau dan Maha Terpuji.

Bandung, 25 Juli 2023

Sang Raja = suami

Biodata Penulis :
Titi Ariswati lahir di kota kecil Purbalingga Jawa Tengah pada 1 April. Senang menulis puisi saat SMP. Aktif menulis tahun 2020, mengikuti event antologi puisi maupun cerpen. Ingin memiliki buku solo di tahun 2023 ini, semoga terujud. Silakan berikan kritik dan saran untuk tulisan-tulisan saya di Kompasiana.  

Dokpri/Titi/2023
Dokpri/Titi/2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun