Saya adalah penggemar buku, saya suka membaca sejak kecil. Ayah saya juga pencinta buku dan memiliki koleksi buku sampai beberapa lemari. Kakak-kakak dan adik-adik saya juga pencinta buku semua.
Saya pribadi selalu tergoda untuk membeli buku-buku yang saya anggap bagus. Biasanya kalau akan pergi  ke toko buku saya sudah bersumpah dalam hati, hanya akan membaca-baca saja, tapi begitu melihat buku-buku bagus, pada akhirnya saya langsung kalap dan tak kuasa menahan godaan untuk membeli beberapa buku. Jebol deh dompet.hehehe.
Memang senang dan bangga melihat koleksi buku di rak, berjejer gagah seolah menjadi identitas diri bahwa kami keluarga pecinta ilmu. Dan bagi pecinta buku, koleksi buku juga bisa menjadi "racun" yang melenakan yang membuat kita tenggelam dalam kegiatan membaca hingga kadang  melupakan hal-hal lain dalam keseharian yang juga perlu dikerjakan. Wah ini sih tergantung manajemen waktu dan prioritas masing-masing individu. Tapi ya itulah saya bicara secara umum bagi penggemar buku, itu saja.
Banyaknya koleksi buku bagi keluarga pecinta buku, bisa juga menjadi boomerang yang tak mudah diatasi. Setelah dewasa dan memiliki rumah sendiri. Hal yang sering saya hadapi saat membantu ibu saya membersihkan rumah adalah tumpukan buku-buku yang mengggunung. Mulai buku-buku lama yang masih bagus, tapi bau jamur di rak-rak lemari, hingga buku-buku baru yang berserakan di seantero rumah. Hmmm...sangat melelahkan, saat harus memilih dan memilah mana yang masih bisa disimpan, mana yang harus dibuang, dan mana yang bisa diberikan pada orang lain.Sampai membuat saya kelelahan dan hampir putus asa.  Ceritanya, banyak buku yang  sayang untuk dibuang,karena isinya yang bermanfaat, tapi ngga tahan dengan tumpukannya yang menggunung hingga berdebu dan memerlukan perawatan ekstra. Duhhh...
[caption id="attachment_339468" align="alignleft" width="319" caption="Gambar diambil dari Google"][/caption]
Beberapa waktu lalu, saya juga membaca tulisan seorang teman pecinta buku yang berencana menerbitkan sendiri buku-bukunya. Mudahnya regulasi penerbitan saat ini, membuat banyak penulis "bakat terpendam" menjadi bergairah untuk menerbitkan bukunya sendiri. Terlebih saat ini ada trend Self Publishing yang semakin memudahkan siapa saja untuk menerbitkan sendiri bukunya.
Jika dihitung secara ekonomi biaya menerbitkan buku dalam jumlah sedikit dan dalam jumlah besar, sangatlah jauh perbedaannya. Biaya penerbitan persatuan buku menjadi jauh lebih kecil saat anda menerbitkan buku dalam jumlah ribuan, hal ini bisa dilihat dari biaya cetak buku.
Misalnya Anda berencana mencetak 5000 buku, untuk buku 240 halaman,  ongkos cetaknya sebesar  9.750 rupiah. Sementara kalau anda mencetak buku sejumlah 250 buku, harga  cetak perbuku untuk 240 halaman, adalah 30.000 rupiah perbuku. Jatuhnya sangat mahal kan? Belum lagi biaya pengurusan ISBN, biaya distribusi, promosi dan lain-lain. Maka berapa harga buku sampai ke tangan konsumen?
Hal inilah yang banyak menjadi dilema bagi para penulis yang ingin menerbitkan buku secara indie atau Self Publishing. Seperti kata salah seorang penulis, menerbitkan itu mudah, mendistribusikannya yang susah. Jadi bila mereka mampu membayar biaya penerbitan sendiri, masalah yang kemudian timbul adalah, akan disimpan di mana buku-buku tersebut selama belum laku. Dan butuh berapa lama menyimpan buku bila proses penjualan harus ditangani sendiri?
Masalah lain yang sering saya amati sehubungan dengan buku adalah anak-anak sekolah yang punggungnya hampir bungkuk menggendong ransel yang beratnya naudzubillah saking penuhnya dengan tumpukan buku yang harus dibawa setiap hari ke sekolah.
Belum lagi, kita harus memikirkan pemborosan  kertas luar biasa yang kita lakukan dengan menerbitkan buku secara konvensional. Hal ini berdampak besar pada perusakan hutan kita sebagai sumber bahan baku kertas. Penyelamatan lingkungan seharusnya merupakan hal yang dipikirkan para penulis dan penerbit.
Hal ini membuat saya berpikir, bukannya sekarang sudah di kenal e-book? buku-buku yang ditulis dengan menggunakan perangkat teknologi IT dan bisa didownload melalui aplikasi tertentu? Jadi mengapa tidak, mulai sekarang kita memikirkan, bahwa menerbitkan buku dalam bentuk  E-Book itu sama kerennya dengan menerbitkan buku secara konvensional ?
Di Amerika , pada tahun 2014, 28% pembaca dewasa memilih membaca e-book, sedang tahun sebelumnya, yakni 2013 masih sejumlah 23%. (sumber:  Wikipedia). Ini berarti ada trend peningkatan dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya pengguna tablet, komputer dan smartphone. Bahkan Amazon sebagai  toko buku online terbesar di dunia, menerbitkan kindle -3, sebuah perangkat yang dikhususkan untuk membaca buku-buku yang diterbitkan secara online atau dikenal dengan e-book.
[caption id="attachment_339470" align="alignleft" width="384" caption="Kindle-3 alat pembaca e-book dari Amazon.com"]
Sejak cikal bakal pemikiran oleh Bob Brown di tahun 1930, hingga penulisan dokumen online pertama oleh Michael S Hart (1971) sebagai bentuk e-book pertama, saat ini trend penerbitan dan pembacaan e-book semakin meningkat secara signifikan.
Masalahnya adalah menerbitkan secara E-book gampang dibajak, harga jualnya rendah, kurang menarik dan masih banyak masyarakat yang enggan membeli buku dalam bentuk e-book, mungkin itu yang akan kita dengar. Â Tapi bukannya untuk membiasakan sesuatu yang baru itu kita memang memerlukan waktu dan ketekunan untuk mensosialisasikannya?
Tak sedikit hal-hal baru yang semula dianggap aneh, ngga mungkin,sulit diterapkan, pada akhirnya menjadi hal yang biasa bahkan membuat orang kecanduan? Contahnya dulu handphone pada awalnya dianggap mahal dan hanya orang kaya saja yang mampu membelinya. Sekarang? tukang sayur dan para asisten rumah tangga-pun tak mau ketinggalan membeli smartphone dan aktif di media sosial.
Masalahnya hanya soal waktu dan kebiasaan. Menerbitkan buku dalam bentuk e-book memang sampai saat ini masih kalah pamor dengan menerbitkan buku secara konvensional, tapi segera trend ini akan semakin diminati, sehubungan dengan kepraktisannya dan kemudahannya. Bukankah hampir setiap orang sekarang sudah menenteng smartphone dan tablet yang harganya semakin terjangkau? Jadi mengapa tidak menerbitkan e-book ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H