Kemarin, usai salat magrib, kebetulan saja saya menyaksikan berita tentang seorang anak SMP yang dikeluarkan dari sekolah karena dia menulis status menghina gurunya di akun facebook-nya. Sekolah geger. Maka, orang tuanya dipanggil, dan kepala sekolah menyuruh mereka membawa pulang anaknya dan mencari sekolah lain saja. Si anak berdalih, dia membenci guru bersangkutan karena pernah dipukul. Tetapi alasan ini tidak berterima, dan meski orang tua si anak mengamuk, kepala sekolah tetap memutuskan: keluar! Seolah belum cukup, si anak sampai dikeroyok teman-temannya sendiri yang tidak menyukai tindakannya itu.
Tidak ada yang aneh tentang berita itu. Sebab, kasus serupa sudah sering terjadi. Kalau menyangkut siswa, sih, banyak juga. Malah kalau tidak salah, ada yang menyangkut anggota Brimob. Ada pula yang ketiban getah karena akun facebook-nya dipakai mantan pacarnya untuk memaki-maki orang lain. Ini bukti bahwa pepatah lama masih berlaku. Berjalan pelihara kaki, bicara pelihara lidah. Mulutmu, harimaumu. Lidah lebih tajam daripada pedang. Dalam versi yang lebih modern, tampaknya perlu ditambahkan: menulis pelihara jari. Pena sama tajam dengan lidah. Tulisanmu, gambaran isi kepalamu.
Sejak dulu saya suka bermain-main dengan kata-kata dan kalimat. Saya senang menuangkan pemikiran lewat tarian jemari di atas papan kunci. Sebab, saya bukanlah orang yang suka berbicara di depan umum. Buat saya, membuka mulut di depan orang banyak memerlukan usaha ekstra. Mendaraskan doa agar Allah membukakan buhul di lidah saya, seperti doa yang dipanjatkan Nabi Musa. Agar kalimat-kalimat saya tidak terluncur terlalu cepat, dan kening saya tidak terlalu berkilat-kilat oleh keringat. Nah. Jejaring sosial membuat kalimat saya dapat meluncur aman tanpa banyak keringat. Meski tidak setiap hari menulis, saya amat menikmatinya. Rasanya puas sekali saat tulisan saya selesai dan diunggah. Apalagi jika ada yang membaca dan menyukainya.
Maka, saya bisa memahami, jika ada yang menumpahkan isi hatinya di jejaring sosial. Dari sedih sampai girang. Dari kesal sampai senang. Rasanya pasti puas sekali setelah ganjalan di hati itu dikeluarkan. Dan kadang-kadang, dalam semangat menggebu, jemari bisa bergerak tak terbelenggu, mengalirkan kata-kata bak menggubah lirik lagu. Lagu cinta. Lagu sakit hati. Lagu kebencian. Lagu caci maki. Tanpa peduli: bahwa di dunia jejaring tak berbatas ini, tempat identitas terasa nisbi, sesiapa saja bisa mengintip, berkedip, mengutip. Menyebarkan cinta, sakit hati, kebencian dan caci maki.
Inilah yang kerap tak disadari.
Bagaimanapun bebasnya jemarimu menari, pada hakikatnya, kesepuluh jarimu itu tetaplah menyuarakan apa yang ada di kepalamu. Tulisanmu, gambaran isi kepalamu. Kesepuluh jarimu itu, pada hakikatnya, hanya membantu lidahmu menyuarakan isi hatimu. Karena itu, pepatah lama masih berlaku. Berjalan pelihara kaki, bicara pelihara lidah. Dan kini, menulis pelihara jari. Mulutmu, harimaumu. Meski lentur, lidah lebih tajam daripada pedang. Meski lincah, jemari bisa lebih kejam daripada cemeti.
Engkau boleh saja berharap Allah membukakan buhul lidahmu, agar lebih lancar bicaramu. Tetapi jangan kau lepaskan harimau lapar melalui jemarimu. Silakan saja menumpahkan segala kekesalan, tetapi, berpikirlah sebelum memutuskan mengunggah sebuah tulisan. Buhullah lidah harimau itu sebelum engkau membebaskannya berkeliaran, agar dia tidak berbalik menjadikanmu sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H