Di tengah lautan kabut, rumah bagi ratusan karya seni itu berada. Rasanya, sejarah penting yang menjadi asal dari beberapa aspek kehidupan seringkali terlihat tidak menarik didengar bagi beberapa orang. Sejarah yang kian tergerus oleh kemajuan yang terlampau laju, menjadi ancaman yang semakin terasa nyata. Generasi yang terus bertambah, membuat perkembangan menjadi harus senada dengan setiap generasi yang ada. Untuk menjadi menarik, perlu untuk mengikuti arus perkembangan trend yang dalam sekejap mata dapat beralih.
Wisata Museum nampaknya tengah menjadi idaman bagi banyak orang, terutama dengan alasan kebutuhan estetika pada sosial media. Berbagai museum tentu melihat hal ini sebagai suatu peluang apik yang perlu untuk dimanfaatkan. Untuk dapat menjadi unggul, tentu perlu untuk menjadi senada dengan perkembangan dan trend yang ada. Ada museum yang mengunggulkan seni abstraknya, ada yang beradaptasi dengan teknologi digital sehingga dapat menjadi lebih interaktif dan maju, namun ada juga yang tetap menonjolkan cerita sejarah sebagai atraksi utamanya.Â
Namun, semua museum tentu memperhatikan estetika seni guna dapat tetap berdiri dan menarik di mata banyak orang. Lalu, apa yang terjadi jika suatu museum membatasi penyebaran nilai estetika seni mereka untuk dilihat oleh berbagai mata di dunia maya? Apakah justru akan mengurangi keunggulan dan magnet daya tarik bagi banyak orang?.
Pertanyaan tersebut membuat Saya menilik kembali kunjungan Saya ke suatu museum di Yogyakarta pada akhir pekan lalu. Di hari Minggu lalu, hari dimana waktu untuk dapat bebas dari keseharian repetitif dunia perkuliahan, menjadi hari yang rasanya sempurna bagi Saya dan beberapa teman untuk kembali bercengkrama dengan alam yang asri. Hawa panas yang entah mengapa terus menjadi musuh bagi beberapa orang, masih saja kerap melanda Yogyakarta hingga hari ini. Kerinduan akan suasana sejuk dan dingin tanpa bantuan kipas angin maupun air conditioner (AC), menjadi alasan mengapa Kami melakukan perjalan menanjak ke daerah Kaliurang atas. Disitulah Kami teringat akan satu museum legendaris dan magical yang berada di balutan kabut sejuk di Kaliurang, yaitu Museum Ullen Sentalu.
Museum Ullen Sentalu, merupakan museum yang telah dibangun sejak tahun 1980-an dan telah berdiri secara sempurna dengan sangat elok sejak tahun 1997. Museum yang seringkali berada pada list destinasi idaman banyak orang ini, memang telah mempopulerkan namanya sejak beberapa tahun lalu. Berada pada kaki triangulasi Gunung Turgo, Gunung Merapi, dan Gunung Plawangan membuat Museum Ullen Sentalu begitu bersahabat dengan alam Kaliurang yang jauh dari kata gersang. Memang cukup jauh dari pusat kota Yogyakarta, namun alam yang menyelimuti Museum Ullen Sentalu dan nilai estetika dari seni-seni di Museum Ullen Sentalu yang tertutup dari mata dunia maya, tetap berhasil untuk terus menarik pengunjung untuk singgah.
Hal yang cukup mengejutkan untuk di dengar bagi teman Saya, tour-guide/pemandu Museum Ullen Sentalu, dan bahkan bagi Saya sendiri adalah fakta bahwa kunjungan Saya ke Museum Ullen Sentalu kali ini menjadi kali ketiga Saya menginjakkan kaki di museum favorit Saya ini. Bahkan, ini menjadi kali kedua Saya berada di museum ini di tahun 2024 ini. Jenis tur museum yang Saya pilih pada kunjungan kali ini juga merupakan jenis tur yang sama sejak Saya pertama kali menginjakkan kaki di museum dengan julukan Ndalem Kaswargan (Rumah Surga) ini, yaitu tur Vorstenlanden.Â
Rasanya, ini sudah dapat menjawab pertanyaan yang Saya ajukan di permulaan cerita saya ini. Seni-seni yang telah tinggal di museum dengan campuran arsitektur Belanda dan Jawa ini sejak berpuluh-puluh tahun, tetap berhasil untuk menarik banyak orang meskipun terdapat larangan sakral untuk memotret setiap karya seni di dalamnya. Selain berkat karya seni yang menawan, peran tour guide yang berhasil menyampaikan setiap sejarah dibalik rentetan karya seni yang ada, menjadi alasan yang sangat masuk akal dibalik alasan banyak orang merasa ingin berkunjung dan bahkan menginjakkan kaki kembali di Museum Ullen Sentalu.
Tour guide yang membersamai Kami pada pekan lalu, yaitu Kak Tina, ternyata merupakan tour guide yang juga telah memandu dan membersamai Saya sejak kunjungan pertama. Saya sempat bertanya-tanya, mengapa Saya bisa bersama dengan orang yang sama yang telah memandu saya sejak pijakan kaki pertama saya di museum ini?. Tebakan Saya awalnya yaitu hanya terdapat 1 tour guide pada jenis tur ini, namun saat Saya berbincang dengan Kak Tina, ternyata tebakan Saya meleset.Â
Nyatanya, terdapat beberapa tour guide pada jenis tur yang sama. Tepat kali ketiga Saya diizinkan kembali untuk mendengarkan cerita dan panduan Kak Tina selama berada di Museum Ullen Sentalu. Tentu hal ini tidak menjadi sesuatu yang tidak Saya senangi karena penyampaian sejarah Tanah Jawa yang saya pijak hingga saat ini berhasil disampaikan Kak Tina dengan sangat runtut dan dapat dimengerti. Di tengah alam dan udara Kaliurang yang memancarkan kesejukan kala itu, interaksi Saya dengan Kak Tina dan juga kebersamaan saya dengan teman-teman terdekat Saya akhir pekan lalu, ternyata memberikan kehangatan bagi Saya yang tidak Saya sadari.
Tur Vorstenlanden mengajak Kita untuk belajar lebih jauh terkait sejarah kerajaan kuno yang sempat berdiri di Indonesia dan yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. Tur ini lebih banyak membahas terkait tanah Jawa, khususnya Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta melalui berbagai karya seni yang memanjakan mata. Tidak henti-hentinya Saya merasa kagum dengan berbagai koleksi yang ada. Pasalnya, lukisan dibuat sangat realistis dan mendetail. Koleksi barang-barang yang ada pun terlihat sangat apik. Selain koleksi karya seni yang menjadi alasan Saya beberapa kali melakukan kunjungan kembali pada Museum Sonobudoyo, alasan lainnya yaitu suasana sejuk serta nyaman yang tercipta di sepanjang kawasan Museum Ullen Sentalu dan bangunan-bangunan penuh estetika, terutama bangunan bergaya khas Indies yang begitu unik serta cantik.Â