Di dalam bola lampu ada benang yang berpijar. Benang ini dinamakan filament dan terbuat dari material tungsten. Dulu, sebelum menggunakan tungsten, sang penemu bola lampu, Thomas Alva Edison, pernah mencoba menggunakan rambut orang mati sebagai bahan filament.
Bayangkan jika saat ini bola lampu belum ditemukan, kemudian kita mengajukan proposal penelitian tugas akhir sarjana untuk menggunakan rambut orang mati sebagai bahan filament. Kemungkinan proposal tersebut akan ditolak mentah-mentah karena dasar teori penggunaan rambut orang mati tidak akan memenuhi syarat.
Riset oleh Edison adalah riset sejati alias riset yang sesungguhnya, sedangkan riset tugas sarjana adalah riset pendidikan. Riset sejati untuk menemukan terobosan baru, sedangkan riset pendidikan adalah untuk melatih calon sarjana. Makanya jangan heran jika riset yang dibungkus dalam kurikulum pendidikan sangat sulit menemukan terobosan baru.
Jadi, usulan memecah kemendikbud menjadi kementerian pendidikan dasar menengah dan kementerian pendidikan tinggi dan riset dikaji lebih dalam. Menurut saya, sebaiknya masalah pendidikan dan masalah riset dipisahkan.
Pertanyaannya, selama ini riset diurus oleh kemenristek dan pendidikan diurus oleh kemendikbud/kemendiknas, tapi toh tetap tak kunjung menghasilkan terobosan yang membanggakan seluruh bangsa?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita melihat sejarah. Pasca Perang Dunia II, ditemukan dokumen di pabrik lampu di Jerman, OSRAM. Dokumen tersebut dikenal dengan nama Phoebus. Phoebus adalah hasil kesepakatan produsen bola lampu sedunia untuk membatasi usia pakai bola lampu menjadi 1000 jam, dari semula yang bisa mencapai 2500 jam. Dengan demikian frekuensi penjualan bola lampu meningkat.
Bayangkan jika pada saat itu muncul sebuah parik bola lampu baru yang memproduksi bola lampu 2500 jam. Apa yang akan terjadi pada pabrik baru tersebut? Kartel produsen bola lampu pastilah akan 'membunuhnya'. Dan kita juga punya pengalaman dengan hasil riset anak negeri yang luar biasa berupa pesawat N250. Pesawat turboprop pertama yang menggunakan teknologi fly-by-wire. Bagaimana nasib N250? Kita menjadi saksi bagaimana IMF membunuh N250.
Jadi, kenapa kita tidak punya terobosan yang membanggakan? Karena kemenristek tidak memiliki devisi intelejen ekonomi untuk menemukan celah bagaimana memasarkan dan menemukan tempat bagi hasil terobosan kita, sehingga tidak harus head-to-head dengan para kapitalis besar.
Intelejen ekonomi bukanlah agen intelejen seperti James Bond. Contohnya di Inggris. Di negeri ini iklan obat-obatan dilarang. Oleh karena itu, produsen obat penurun kolesterol membentuk Yayasan Kolesterol dan membuat iklan layanan masyarakat melalui media televisi. Iklan ini tidak dibuat secara serampangan, tapi sangat detail sehingga orang awam takkan sadar bahwa ini iklan titipan. Tak hanya itu, produsen juga bekerja sama dengan National Health Service, semacam departemen kesehatannya Inggris. Walhasil, kekhawatiran masyarakat Inggris akan kolesterol meningkat, penjualan obat anti kolesterol pun meningkat. Dan keberhasilan penjualan ini tak lepas dari pemikiran seseorang dengan kemampuan intelejen ekonomi.
Intelejen ekonomi adalah orang yang mampu menembus berbagai rintangan peraturan tanpa melanggar aturan manapun. Jadi, tidak seperti Nazaruddin yang menggunakan cara-cara suap. Tidak pula seperti kaum akademisi yang selalu berpikir lurus serta idealis.
Di tahun 1976, Habibie tidak memilih mendirikan pabrik mobil, tapi justru pabrik pesawat terbang dengan nama IPTN. Hal ini didasarkan pada visi bahwa di Tahun 2000 kita tidak mungkin berkompetisi dengan industri mobil, tapi masih bisa berkompetisi dalam industri pesawat terbang. Namun, IPTN dibunuh sebelum berhasil membangun pesawat jet N2130. Lain dengan industri pesawat Shukoi dari Rusia yang sukses membangun pesawat jet SSJ-100 dan bahkan memasarkannya di Indonesia. Kenapa? Karena intelejen ekonomi Rusia jauh lebih canggih daripada intelejen ekonomi kita.