Dalam sebuah tes psikologi, saya dan beberapa peserta diberi tugas untuk menghubungkan 9 titik dalam empat garis tanpa terputus.Seluruh kelas memberikan jawaban seperi gambar A dibawah ini. Tapi cuman saya sendiri yang menjawab seperti pada gambar B. Ketika saya tanya kenapa gambar saya beda sendiri, Mbak Psikolog tidak mempunyai jawaban, ia hanya menduga bahwa saya memiliki cara berpikir yang berbeda dibanding peserta tes yang lain. Yang pasti, jawaban saya tidak keliru.
[caption id="attachment_344034" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: gambar kreasi sendiri"][/caption]
Dalam kasus 4+4+4+4+4+4 = ... x ... , saya tidak punya referensi apakah angka empat itu mewakili buah jeruk, atau keranjang, ataupun batu batanya Ahmad dan Ali. Referensi yang ada hanyalah angka 4, simbol +, = dan x. Saya melihat bahwa ini ada angka empat yang dijumlahkan sampai enam kali. Sehingga saya akan menjawab 4 x 6. Mungkin Anda akan memandang dengan cara lain, seperti ini: ini adalah proses perkalian sebanyak enam kali dari angka empat. Sehingga Anda akan menjawab 6 x 4. Jadi, jawaban kita menunjukkan bagaimana cara kita berfikir.
Sepertinya, cara berfikir saya menunjukkan bahwa saya akan fokus pada subjek terlebih dahulu, baru permasahannya. Sedang yang menjawab 6 x 4 kelihatannya lebih memperhatikan permasalahan terlebih dahulu baru memperhatikan subjeknya. Â Tapi terus terang, saya sendiri tidak tahu ... hehehe ...
Oke, anggap saya lebih fokus ke subjeknya dulu. Jadi dalam gonjang-ganjing 6 x 4 dan 4 x 6, saya tidak mempermasalahkan mana yang benar. Saya justru mempertanyakan subjek yang mendapatkan permasalahan ini yaitu anak kelas 2 SD.
Menurut Prof. Yohanes Surya, kebenaran jawaban adalah hasil kesepakatan dalam mengekspresikan penjumlahan berulang dalam perkalian. Apakah anak kelas 2 SD harus tahu tentang adanya kesepakatan ini dan harus mematuhinya? Sekali lagi, saya sendiri tidak tahu ... hehehe ... (by the way anyway busway, saya baru tahu kalau ada kesepakatan kayak gini...)
Menurut saya, anak SD cukup mendapatkan pengetahuan dasar alias elementer. Jadi jangan disalahkan kalau anak menjawab 4 x 6, cukup kita beritahu bahwa 6 x 4 juga jawaban yang benar. Nanti kalau sudah besar baru kita sampaikan tentang adanya kesepakatan penjumlahan berulang. Dengan demikian, sudut pandang anak dalam menganalisa persoalan akan semakin kaya.
Kekayaan sudut pandang adalah elemen utama dalam dalam kreativitas. Sebuah kreasi atau pemahaman baru munculnya dari sudut pandang yang berbeda, bukan?
Contohnya, Isaac Newton. Sebelum Newton lahir, sudah ada banyak orang yang melihat buah apel jatuh dari pohonnya. Baru seteleh Newton yang melihatnya, muncullah teori gravitasi. Ini karena Newton melihat dari sudut pandang yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Sebelum Archimedes lahir, banyak orang yang paham bahwa jika kita memasukkan benda ke dalam wadah yang penuh air maka airnya akan tumpah. Tapi dunia harus menunggu Archimedes untuk melihat fenomena tersebut dan merumuskan hukum massa jenis ... Eureka!
Jadi, saya pikir, ada ruang tersendiri untuk perdebatan 4 x 6 dan 6 x 4. Tapi ruang itu bukanlah ruang kelas 2 SD.
Mari kita jadikan sekolah sebagai tempat untuk meningkatkan kualitas diri para siswanya. Salah satunya adalah dengan memperkaya sudut pandang, agar siswa kita mudah memahami perbedaan sehingga menjadi individu yang toleran, agar mudah menerima masukan karena memahami sudut pandang pemberi pesan, agar mudah berkreasi karena memiliki banyak cara, dan sebagainya.
Jadi, 4 x 6 memang salah secara konsep, tapi menyalahkan 4 x 6 adalah kesalahan yang elementer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H