Mohon tunggu...
Tita Yorinda
Tita Yorinda Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga -

Étudie pour la vie

Selanjutnya

Tutup

Money

Kontribusi Krisis Energi terhadap Perekonomian Makro Negara, Amerika Serikat dan Belanda

3 Januari 2016   09:56 Diperbarui: 3 Januari 2016   10:09 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tingkat kebutuhan akan sumber daya energi, seperti minyak dan batu bara, yang tinggi menyebabkan gejolak perekonomian makro dunia. Sehubungan dengan peperangan Yom Kippur, Amerika Serikat terlibat di dalamnya dengan mendukung Israel sebagai tokoh utama dalam peperangan tersebut. Perang Yom Kippur pada tahun 1973 terjadi antara negara Arab dan Israel akibat perebutan lahan. Pertempuran tersebut merambah hingga melibatkan berbagai pihak. Pada tahun 1973, OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) mendeklarasikan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan Belanda. Bantuan yang diberikan terhadap Israel menyebabkan Amerika Serikat dan Belanda terblokade laju impor minyak dari negara Arab yang tergabung dalam OPEC (U.S. Department of State Office of The Historian, 2013). Amerika Serikat dan Belanda yang semulanya menerima suntikan minyak dari negara Arab tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhan sumber daya energi, khususnya perminyakan. Terdapat beberapa analisa yang mampu mendeskripsikan krisis energi secara signifikan, yakni secara moneter, fiskal, dan siklus bisnis.

Arab yang menyadari terdapatnya potensi besar dalam perminyakan, menghimpun negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam OAPEC (Organization of Arabic Petroleum Exporting Countries) untuk memberlakukan embargo minyak terhadap Amerika dan negara-negara lain yang mendukung Israel. Akibat dari pemberlakuan embargo minyak menyebabkan harga minyak di Amerika Serikat dan beberapa negara Barat pun melonjak tajam. Embargo minyak diyakini sebagai salah satu taktik politik Arab untuk menekan negara pendukung Israel agar menarik pasukannya dari Palestina dan Arab. Selain itu, embargo yang diperintah oleh OAPEC mampu menjadi instrumen ekonomi Arab dalam menunjukkan kekuatannya. Embargo minyak menyebabkan pembatasan produksi minyak yang diekspor ke wilayah negara tetangga, sehingga cadangan minyak Arab dapat terus terjaga mampu menjualnya dengan harga lebih tinggi. Embargo berakhir pada tahun 1974. Fenomena tersebut membuka lembaran baru bagi dunia hubungan internasional. Embargo minyak Arab menunjukkan bahwa sumber daya alam yang kita miliki dapat menjadi senjata dalam hubungan politik dan ekonomi dengan negara lain. Tentunya ini juga merupakan suatu keberhasilan negara-negara Timur Tengah dalam bidang politik dan ekonomi. Embargo ini juga memberi pengaruh signifikan bagi situasi geoekonomi di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya (Sepheri, 2002).

Tidak sedikit perusahaan di Amerika Serikat yang ambruk karena tidak mendapatkan pasokan minyak yang cukup. Suatu kebijakan untuk menghemat cadangan minyak di Amerika akhirnya ditetapkan oleh presiden Amerika saat itu, Richard Nixon. Embargo tersebut juga membawa dampak positif. Beberapa di antaranya adalah penurunan konsumsi minyak di Amerika sebanyak 20%, penghematan listrik oleh masyarakat untuk menghemat minyak, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika Serikat untuk mendapatkan energi alternatif, dan pengaturan fasilitas umum oleh pemerintah untuk meningkatkan efisiensi pemakaian minyak (Feldstein, 2000). Tetapi embargo minyak Arab juga membawa dampak negatif, seperti penurunan industri otomotif Amerika Serikat, dan munculnya pesaing baru bagi industri Amerika Serikat, seperti Jepang. Oleh karena itu, setelah terjadinya embargo pada tahun 1973, perkembangan industri di dunia mulai merata dan tidak hanya terpusat di Amerika Serikat dan Eropa Barat saja.

Menurut Arthur Burns, sebagai ketua Bank Sentral Amerika Serikat yang menjabat pada tahun 1970-an, harga minyak yang dimanipulasi oleh negara pengekspor minyak tidak memberikan keuntungan yang berarti bagi Amerika Serikat (Burns, 1979). Pada pertengahan tahun 1973, harga komoditas industri tahunan meningkat lebih dari 10% dan tidak sedikit pasokan bahan pokok industri yang berjangka pendek (Alhajji, 2005). Tekanan biaya tersebut mendatangkan kekurangan kapasitas industri minyak Amerika Serikat dan menyulitkan pemenuhan kebutuhan pasar akan minyak. Ketika pemotongan produksi minyak berlangsung oleh OAPEC, harga minyak melonjak tinggi secara terus-menerus hingga Amerika Serikat tidak bisa meningkatkan pasokan minyak. Dinamika pasar tersebut selaras dengan efek partisipasi negara OPEC dalam industri yang lebih besar hingga mendatangkan kemungkinan OPEC untuk mendominasi mekanisme penetapan harga di pasar minya sejak 1960, sebagai tahun terbentuknya OPEC (Merrill, 2007).

Fenomena devaluasi dolar yang dialami Amerika Serikat pada awal tahun 1970 juga merupakan salah satu faktor utama dari kenaikan harga minyak yang ditetapkan oleh OAPEC. Harga minyak yang berdasarkan mata uang dolar menyebabkan penurunan pendapatan OPEC. Tindakan yang diambil oleh OPEC ialah memaksa merubah harga minyak berdasarkan emas, bukan berdasarkan dolar. Pada akhir tahun 1970-an yang ditandai dengan berakhirnya perjanjian Bretton Woods yang mematok emas menjadi USD$ 35 menyebabkan kenaikan harga emas menjadi USD$ 455 per ons (Hammes dan Willis, 2005). Perubahan patokan emas tersebut menjadi faktor utama dalam kenaikan harga minyak tahun 1970-an. Bank Sentral Amerika mengemukakan bahwa krisis minyak sangat mempersulit lingkungan ekonomi makro yang berupa inflasi. Arthur Burns, ketua Bank Sentral Amerika Serikat yang dikenal dengan sebutan Federal Reserve atau The Fed, berpendapat bahwa inflasi menjadi faktor utama akibat adanya distribusi keuangan terhadap perang Vietnam, devaluasi dolar pada tahun 1971 dan 1973, world economic boom di tahun 1972 dan 1973, kegagalan panen pada tahun 1974 dan 1975, serta melonjaknya harga inya dan perlambatan produktivitas. Menurut Christina Romer dan David Romer, kebijakan fiskal yang ditekankan pada era tersebut merupakan inflasi penekanan biaya di luar pengaruh kebijakan moneter (Romer dan Romer, 2013).

Harga minyak yang bernilai tinggi dikarenakan komoditasnya yang terdapat di seluruh aspek perekonomian mampu menghasilkan tekanan inflasi dan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek, kekuatan-kekuatan tersebut memiliki hubungan yang bersifat negatif. Ketika tekanan inflasi naik, pertumbuhan ekonomi akan menurun, serta sebaliknya. Seorang pengamat ekonomi, Ben Bernanke, mengamati persoalan tersebut pada tahun 2004 dengan meninjau kebijakan moneter dalam merespon permasalahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Ben, kebijakan moneter tidak mampu memberikan keseimbangan terhadap efek resesi dan inflasi yang disebabkan oleh peningkatan harga minyak pada saat yang bersamaan (Bernanke, 2004). Menurut penulis, penurunan suku bunga yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan menambah tekanan inflasi. Pada realitanya, penurunan suku bunga tersebut akan mematahkan pengaruh inflasi dan memperburuk perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pelonggaran maupun pengencangan kebijakan moneter dipengaruhi oleh kebijakan yang mampu menyeimbangkan resiko yang melekat pada stabilitas harga akhir minyak. Akumulasi dari krisis minyak beserta efek inflasi yang terjadi pada tahun 1973 menghasilkan badai perekonomian yang berada pada taraf sempurna. Embargo minyak yang dialami Amerika Serikat hanya merupakan salah satu faktor rumit yang menyebabkan para pembuat kebijakan melebihkan potensi nasional Amerika Serikat dan meremehkan perannya dalam inflasi yang terjadi sepanjang tahun 1970.

Dampak krisis minyak yang diberikan terhadap Belanda juga tidak kalah saing dengan Amerika Serikat di tahun 1973. Respon Belanda terhadap embargo minyak yang diterapkan oleh OAPEC membingungkan. Posisi Belanda menjadi rumit ketika negara-negara Arab didapati memutuskan bersikap ramah untuk beberapa negara yang menghargai Palestina dan negara Arab lainnya (Hellema et. Al, 2004) Terdapat kemungkinan bahwa efek ekonomi dari sanksi sebelumnya, embargo minyak, berperan dalam fenomena tersebut. Dalam tiap kasus, Belgia dipertimbangkan sebagai negara yang ramah dan memberikan perlakuan yang lebih baik dibandingkan negara lainnya. Hadiah menarik tersalurkan kepada Belgia terkait minyak yang didapatinya pada era krisis energi dunia tahun 1973. Belgia mengungkapkan kepada negara Arab bahwa Israel harus menarik diri dari semua wilayah yang didudukinya di palestina. Pasokan minyak yang disalurkan kepada Belgia melalui Rotterdam menginspirasi keputusan yang signifikan bagi Belanda. Tak hanya Belgia, Jepang sebagai negara yang bergantung pada minyak OPEC juga dihargai posisinya. Meskipun tekanan yang diberikan terhadap Amerika Serikat dinilai berat, tetapi pemerintah Jepang secara terbuka menyatakan hal serupa dengan Belgia bahwa Israel harus hengkang dari kedudukannya di Palestina.

Belanda mengambil jalur diplomatik untuk menangani permasalahan embargo minyak. Pada akhir tahun 1973, Belanda memperjuangkan negosiasi terkait kebijakan minyak. Akan tetapi, respon yang diberikan oleh Suriah dan Libya ialah kepesimisan akan dukungan yang diberikan oleh Belanda hanya untuk kepentingan negara Belanda saja, yakni minyak. Raja Feisal yang berasal dari Arab Saudi melunak ketika berdiplomasi dengan Ratu Juliana dari Belanda. Terjadilah penandatanganan di Konvensi Jenewa pada 18 Januari 1974 yang membahas tentang penegosiasian embargo minyak yang tertahan kepada Belanda. Akan tetapi, konvensi tersebut tidak membawa dampak nyata pada Belanda. Seiring berjalannya waktu, pada Februari 1974, dalam Kongres Washington terbentuklah sebuah kelompok yang memerangi kelangkaan pasokan minyak terhadap negara-negara yang tergabung. Kelompok atau kooperasi tersebut bernama ECG (Energy Coordinating Group) (Haghighi, 2007). Berbeda dengan Amerika Serikat yang cenderung banyak memiliki pandangan terkait kebijakan moneter dan fiskal, Belanda dipandang dari sudut siklus bisnis dalam perekonomian makro. Belanda mematuhi dan menggantungkan nasib negara pada kooperasi tersebut guna memberikan kerangka kerja yang efektif untuk berkonsultasi dengan negara-negara yang mengkonsumsi minyak dari para pemasok yang terkena krisis minyak. Pada akhirnya, Belanda melanjutkan upaya yang dimilikinya dalam ECG guna memperbincangkan antarprodusen dan konsumen minyak yang juga melibatkan negara-negara berkembang. Konsultasi ECG tersebut mengarahkan pada kerangka kesepakatan yang mampu mempromosikan pasokan minyak yang stabil antarnegara konsumen, serta menjamin harga minyak yang wajar, stabil, dan mampu terprediksi (Hellema et. Al, 2004).

Referensi:

Alhajji, A.F. 2005. “The Oil Weapon: Past, Present, and Future”. Oil and Gas Journal 103, no. 17.

Bernanke, Ben. 2004. Oil and Economy. Albania: Darton College.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun