Mohon tunggu...
tita trsabita
tita trsabita Mohon Tunggu... Apoteker - Pelajar

Seorang pelajar yang percaya bahwa ☆Kesuksesan dimulai dari langkah kecil yang berani☆ Setiap hari adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghadapi FOMO: Keseimbangan Antara Tren dan Etika di Era Digital

31 Januari 2025   14:44 Diperbarui: 31 Januari 2025   14:44 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, membangun hubungan sosial yang sehat di lingkungan sekitar, menjalani hobi, serta menerapkan digital detox secara berkala juga dapat membantu mengurangi kecemasan akibat FOMO. Para ahli menekankan pentingnya edukasi tentang kesehatan mental dan literasi digital agar remaja dapat menggunakan teknologi secara bijak tanpa merasa tertinggal. Hal ini akan menjaga diri mereka dari kerusakan mental.

Menurut para ahli, dampak FOMO pada remaja lebih berfokus pada risiko negatif yang dapat merusak mereka. Salah satunya adalah jejak digital yang buruk akibat mengikuti tren yang tidak etis, yang bisa berdampak pada reputasi mereka di masa depan. Selain itu, remaja bisa menghadapi kritikan atau hujatan dari orang lain jika mereka terlibat dalam tren yang merugikan.

FOMO juga dapat berdampak pada kesehatan mental, menyebabkan perasaan cemas, stres, atau rendah diri. Hubungan sosial mereka pun bisa terganggu jika mereka lebih fokus pada media sosial daripada interaksi nyata. Terlalu terjebak dalam FOMO juga bisa membuat remaja kehilangan peluang untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat dan meningkatkan diri.

Menurut saya FOMO bukan hanya sebuah kecemasan biasa, melainkan sebuah respons terhadap tekanan sosial yang semakin kuat di dunia maya. Media sosial, yang menawarkan kesenangan dan hiburan seketika, sering kali menumbuhkan perasaan ketidakcukupan pada remaja yang merasa bahwa mereka harus selalu mengikuti tren agar diakui.

Ketika remaja terjebak dalam siklus ini, mereka berisiko mengorbankan kesejahteraan mental dan emosional mereka, tanpa menyadari konsekuensi jangka panjang yang mungkin timbul.

Solusi untuk ini bukan hanya mengurangi penggunaan media sosial, tetapi juga memperkuat nilai-nilai diri dan pentingnya pendidikan tentang penggunaan teknologi yang bijak. Remaja perlu diberi pemahaman bahwa menjadi diri sendiri lebih penting daripada sekadar mengikuti tren atau mendapatkan pengakuan dari orang lain di dunia maya.

Terkadang remaja boleh merasa FOMO terhadap hal-hal yang mendidik dan beretika, seperti tren yang memberi dampak positif, meningkatkan keterampilan, atau mendukung tujuan yang bermanfaat.

Ada hal positif FOMO jika remaja bijak yaitu dapat menjadi pemicu yang baik untuk terus belajar dan berkembang. Misalnya, mengikuti tren yang berkaitan dengan pengembangan diri, edukasi, atau kampanye sosial yang positif. Namun, penting bagi remaja untuk tetap kritis dalam memilih hal-hal yang ingin mereka ikuti, agar tidak terjebak dalam siklus FOMO yang justru merugikan diri sendiri atau orang lain. Dengan begitu, FOMO bisa menjadi alat yang menginspirasi untuk mencapai tujuan yang lebih baik, tanpa mengorbankan nilai-nilai dan etika yang ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun