Mohon tunggu...
Tita Rahayu Sulaeman
Tita Rahayu Sulaeman Mohon Tunggu... Lainnya - pengemban dakwah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ibu Rumah Tangga,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tega! Memerah Suara Rakyat melalui Politisasi Bansos

13 Februari 2024   14:53 Diperbarui: 13 Februari 2024   15:17 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kompas

Anggaran Bansos naik signifikan jelang Pemilu 2024. Alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp 496,8 triliun. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp 433 triliun. Bahkan tetap lebih tinggi jika dibandingkan pada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp 468,2 triliun (2021) dan Rp 460,6 triliun (2022) (bbc 30/01/2024). 

Meningkatnya jumlah anggaran Bansos menjelang Pemilu 2024 tidak bisa dipungkiri menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Melihat fakta bahwa Presiden Joko Widodo merupakan ayah dari salah satu cawapres yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2024. Kecurigaan tersebut disanggah oleh Presiden. Beliau menyatakan bahwa anggaran bansos telah melalui mekanisme persetujuan DPR (detik 02/02/2024). 

Meski menampik tuduhan, fakta yang terlihat di lapangan menunjukan hal sebaliknya. Presiden banyak melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk menyerahkan langsung bansos kepada masyarakat tanpa didampingi Menteri Sosial. Dalam sebuah perjalanan pembagian bansos, Ibu Iriana Jokowi mengacungkan dua jari dari dalam mobil. Hal ini tentu mudah dipahami sebagai isyarat merujuk pada nomor urut 02, yaitu nomor urut Cawapres putra Presiden. Demikian hal nya dengan Para Menteri yang masih menjabat, yang juga merupakan petinggi-petinggi Parpol Koalisi yang mengusung pasangan Capres-Cawapres 02. Para Politisi tersebut menyatakan bahwa Bansos berasal dari Presiden, maka masyarakat harus 'berterima kasih' kepada Presiden. Atas tindakan Presiden dan Kelompok pendukungnya ini, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) melayangkan tegurannya, agar Presiden tetap berada dalam koridor yang semestinya.

Memerah Suara Rakyat

Masyarakat sebetulnya sudah menyadari betul fenomena politik uang. Hal ini biasa terjadi ketika calon kontestan Pemilu berusaha untuk membeli suara yang mereka miliki. 'Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya'. Demikianlah narasi yang hadir di kalangan masyarakat untuk menghadapi 'serangan Fajar' dari kontestan Pemilu. Namun ketika bansos dipolitisasi oleh penguasa, tidak banyak yang menyadari hal tersebut. Karena memang sudah semestinya negara hadir membantu rakyatnya. Timbul kesan bahwa Penguasa telah melakukan hal yang terbaik bagi rakyatnya atas gelontoran dana bansos yang diberikan pada rakyat. 

Rakyat yang berada dalam garis kemiskinan, memang sudah selayaknya mendapatkan bantuan dari negara. Kebutuhan akan pangan yang murah, lapangan pekerjaan, pendidikan, hingga Kesehatan menjadi hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Sayangnya, para penguasa yang duduk di kursi kekuasaan hanya memandang hal ini sebagai ajang untuk memerah suara rakyat. Rakyat diberikan bansos untuk kemudian diperah suaranya. 

Jika sungguh ingin membantu rakyat miskin keluar dari garis kemiskinan, maka upaya yang dilakukan negara tak cukup dengan memberikan bansos. Dibutuhkan Solusi yang komprehensif untuk mengentaskan kemiskinan. Saat ini, kemiskinan seolah dipelihara. Untuk dimanfaatkan suaranya pada moment-moment lima tahunan. Kesadaran politik masyarakat yang rendah, rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang menimpa menjadikan masyarakat berpikir pragmatis, sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Demikianlah Demokrasi kapitalisme telah diterapkan dalam sistem pemerintahan saat ini. Bantuan sosial yang menjadi hak rakyat telah digunakan untuk alat transaksi politik untuk menaikkan elektabilitas kontestan Pemilu. Tidak hanya politisasi bansos, hal yang lebih buruk sangat mungkin terjadi dalam sistem ini. Segala cara bisa ditempuh untuk bisa sampai pada kursi kekuasaan. Tidak ada standar perbuatan halal-haram dari Sang Pencipta, karena asas demokrasi memanglah demikian, memisahkan agama dari kehidupan termasuk bernegara. 

Sementara ketika kekuasaan diraih, kekuasaan tidak pernah sungguh-sungguh dipergunakan untuk mengurusi kepentingan rakyat. Kekuasaan digunakan untuk mengakomodir kepentingan oligarki yang telah memberikan ongkos kepada mereka untuk sampai pada kursi kekuasaan. Demikianlah watak demokrasi kapitalisme yang tidak pernah bisa berubah siapa pun aktornya. 

Kekuasaan dalam Islam 

Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Pemimpin haruslah amanah dan jujur. Kekuasaan digunakan untuk menegakkan syariat dan mengurusi kepentingan rakyat. Rasulullah saw bersabda, 

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari) 

Islam mewajibkan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Bila memang kondisi rakyat sudah tidak mampu bekerja, maka bantuan sosial layak diberikan. Namun bila rakyat masih tergolong mampu bekerja maka negara wajib memberikan lapangan pekerjaan. Sehingga negara menjamin setiap individu atau kepala keluarga menunaikan kewajibannya mencari nafkah dan memiliki penghasilan yang layak sehingga mampu membeli kebutuhan pokoknya. Di sisi lain, negara juga hadir dengan kedaulatan pangan agar mampu menjamin ketersediaan pangan di pasaran sehingga tidak memicu kenaikan harga yang terus menerus akibat kelangkaan. 

Untuk pendidikan, kesehatan dan keamanan negara wajib memberikan kepada rakyat secara cuma-cuma. Kebutuhan rakyat tidak boleh dikomersialisasi dengan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan. Sumber pendanaan diperoleh dari pos kepemilikan umum dan kepemilikan negara dari Baitul Maal. 

Segala kebutuhan rakyat ini wajib dipenuhi oleh negara dari hari ke hari, tahun ke tahun. Dari kepemimpinan (khalifah) yang satu, maupun harus berganti khalifah yang lain. Kewajiban negara kepada rakyat tetaplah sama. 

Penguasa atau pemimpin yang bertakwa tidak akan lahir dalam sistem demokrasi kapitalisme. Pemimpin yang bertakwa, hanya akan lahir dalam sistem Islam. Sistem Islam akan mengatur pendidikan yang diselenggarakan negara bertujuan untuk membentuk individu-individu yang bertakwa dan berkepribadian Islam, yaitu berpola pikir dan pola sikap Islam. 

Negara akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang muslim yang menjadi pemimpin pun  jelas berkualitas karena iman dan takwanya  kepada Allah serta memiliki kompetensi, tidak perlu pencitraan agar disukai rakyat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun